Menu Close

Isu “lulusan UI tolak gaji Rp8 juta” tunjukkan ketidakjelasan standar gaji di Indonesia

Photo by Credit Score Blog

Jagat maya Indonesia baru-baru ini dihebohkan kisah seseorang yang mengaku lulusan universitas ternama yang tidak puas ditawari gaji Rp 8 juta saat wawancara kerja.

Walaupun tak jelas kebenaran sumbernya, kisah itu viral dan mencatat angka lebih dari 5.000 penelusuran di Google per 26 Juli 2019, sekaligus menenggelamkan berita tentang turunnya ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Rencana pemerintah untuk memajaki pekerja berpenghasilan di bawah Rp 4,5 juta per bulan seharusnya lebih menyedot perhatian karena berdampak pada kelompok pekerja dengan bayaran minimalis (sesuai Upah Minimum Regional).

Menurut kami, tanggapan masyarakat yang begitu besar ini hanyalah puncak dari gunung es permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia.

Masalah ini utamanya terkait ketiadaan otoritas independen yang mengatur mekanisme standar gaji dan iklim ketenagakerjaan yang sangat berorientasi pada pasar.

Standar gaji

Menyimak komentar-komentar di media sosial, tampak bahwa gaji merupakan wacana yang sensitif, tabu, dan patut dirahasiakan di Indonesia.

Pemahaman soal gaji tidak dapat dilepaskan dari konteks tingginya pengangguran dan elemen budaya yang kental, seperti soal arogansi dan konsep bersyukur. Budaya orang Indonesia (baca: Jawa) yang kental dengan sikap nrimo nampaknya berperan signifikan dalam hal ini.

Di saat yang sama, sedikit sekali informasi publik yang bisa diakses terkait gaji pekerja. Data yang tersedia hanya dari Badan Pusat Statistik atau data riset universitas yang menampilkan rerata gaji pekerja. Data-data ini sayangnya tidak memisahkan antara jenis pekerjaan yang beragam berikut tingkat keahlian maupun pengalaman.

Sebetulnya, ada sumber data lain dari perusahaan swasta penyedia jasa pengelolaan pekerja seperti Kelly Services yang berbasis di Singapura atau Robert Walters yang berbasis di Inggris yang memiliki acuan gaji pekerja Indonesia untuk berbagai jenis pekerjaan di beberapa sektor.

Namun demikian, data-data di atas tidaklah ideal untuk dijadikan panduan untuk menentukan gaji pekerja karena ia merupakan data survei yang tidak mengenal konsep kelayakan dari sisi pekerja dan tidak memiliki kekuatan dari segi hukum.

Di negara maju seperti Australia, standar gaji pekerja berlaku lintas pekerjaan dan lintas industri serta ditetapkan lewat standar nasional yaitu National Employment Standards (Standar Pekerjaan Nasional). Standar ini berisi sepuluh poin yang memuat di antaranya jumlah jam kerja maksimal per minggu, dan ketentuan tentang cuti dan pemecatan.

Di sana, gaji seorang teknisi komputer di rumah sakit, misalnya, akan berada di rentang yang sama dengan gaji posisi serupa di perusahaan otomotif.


Read more: Perawat migran Indonesia di Jepang gajinya tinggi, apakah mereka bahagia?


Selain itu, Australia juga memiliki sistem enterprise agreement atau perjanjian perusahaan yang mirip dengan mekanisme Perjanjian Kerja Bersama di Indonesia. Ini semua diatur lewat panduan yang dikeluarkan oleh Fair Work Commission (Komisi Kesetaraan Kerja), sebuah lembaga independen yang menjembatani kepentingan pekerja dan pemberi kerja, dan memiliki peranan sentral dalam melindungi hak-hak pekerja.

Ketiadaan standar yang spesifik dan otoritas yang dapat diandalkan inilah yang membuat praktik ketenagakerjaan di Indonesia masih jauh dari ideal.

Selain itu, pandangan masyarakat bahwa mempersoalkan gaji bertentangan dengan nilai-nilai bersyukur, nrimo, dan empati terhadap sekitar, menurut kami, juga menjadi tantangan tercapainya keadilan dan kesetaraan antara pekerja dan pemberi kerja.

Tidak heran, banyak praktik ketenagakerjaan yang masih jauh dari ideal, misalnya saja soal status kepegawaian yang rentan manipulasi, gaji tidak dibayar, hingga fakta bahwa pekerja Indonesia hanya digaji 12 kali dalam setahun sementara di negara maju sekurangnya 13 hingga 26 kali (mekanisme gaji dua mingguan).


Read more: Orang magang di perusahaan: perlu dibayar atau tidak? Telaah hukum dan etika


Orientasi pasar

Ketiadaan standar ini menurut kami diperparah dengan kuatnya roh neoliberalisme dalam iklim ketenagakerjaan kita yang menekankan pada kemampuan individu untuk “bersaing” lewat mekanisme pasar yang minim intervensi pemerintah. Keberadaan standar yang berkekuatan hukum tentu tidak diperlukan jika mekanisme pasarlah yang menentukan segalanya.

Tak sedikit pengguna media sosial dan juga pakar yang berkomentar bahwa gaji lebih erat kaitannya dengan keahlian yang dimiliki pekerja.

Dari penelusuran kami, kata kunci yang banyak disebut adalah “skill” (kemampuan), “kompetensi”, “kapasitas”, dan “kontribusi untuk perusahaan”.

Hal ini seirama dengan konsep pendidikan yang memperlakukan perguruan tinggi layaknya mesin pencetak robot yang memiliki kemahiran dan daya saing yang tinggi untuk melayani kepentingan bisnis, tetapi tidak punya sifat-sifat humanis dan tidak peka terhadap isu ketidakadilan di tempat kerja dan kesenjangan sosial di masyarakat.

Pendidikan neoliberal sangat menjunjung tinggi kompetisi antarindividu dan meminggirkan solidaritas sosial dan empati–karakter sosial yang justru masih tinggi di masyarakat negara-negara dunia ketiga.

Ini diperburuk pula oleh logika human capital (modal manusia) perusahaan yang membedakan antara pekerja unggul dan tidak unggul hanya dalam meraih laba dan cenderung mengabaikan kesejahteraan pekerja.

Konsep ini menegaskan bahwa besaran gaji pekerja merupakan tanggung jawab individu, agar mereka bisa menunjukkan “kualitas” dirinya.

Sementara, di antara para pakar yang bersuara di media arus utama belum ada yang mengungkit persoalan ketiadaan standar penggajian nasional selain lewat Upah Minimum Kabupaten/Kota dan Upah Minimum Provinsi.


Read more: Kepingan pengalaman hidup pekerja perempuan rumahan


Langkah ke depan

Menurut kami, yang pertama perlu dilakukan adalah membentuk otoritas independen yang menyusun standar gaji nasional yang spesifik, sekaligus menjadi mediator antara pihak pekerja dan pemberi kerja di Indonesia.

Penentuan gaji pekerja perlu diatur dengan mempertimbangkan apa saja hak-hak pekerja, termasuk besaran minimum yang menjamin kelayakan hidupnya, berdasarkan standar sosial yang terus berubah–yang sering disebut sebagai living wage atau upah hidup layak.

Dengan adanya standar gaji nasional yang mencakup beragam jenis pekerjaan, para pekerja memiliki landasan ketika menuntut jumlah gaji di tertentu.

Nantinya, persoalan gaji tak lagi hal tabu. Di belahan dunia lain, pekerja justru didorong untuk meminta kenaikan gaji. Ini sejalan dengan pendapat ahli bahwa pertumbuhan gaji berdampak positif untuk perekonomian.

Barangkali, sifat-sifat pekerja milenial yang penuh percaya diri akan berkontribusi positif pada upaya ini.

Kedua, para pakar dan praktisi lintas bidang perlu memberikan saran produktif untuk perbaikan kelas pekerja di Indonesia dan tidak larut dalam pembentukan opini oleh media yang cenderung melindungi kepentingan bisnis demi pemasukan.

Ada satu hikmah dari kisah 8-juta-rupiah ini, yaitu desakan pada pemerintah untuk membuat standarisasi gaji para pekerja yang komprehensif dan menyediakan mekanisme yang lebih kuat dalam melindungi hak-hak pekerja.

Agar persoalan yang kini nampak tabu dan gaib dapat samar-samar tersingkap, kemudian nyata di masa depan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now