Menu Close

Jenin lama dikenal sebagai pusat perlawanan dan militansi Palestina – serangan terbaru tidak akan menggoyahkan reputasi ini

Seorang warga Palestina hendak mengibarkan bendera Palestina di kamp pengungsian Jenin pada 4 Juli 2023. Nasser Ishtayeh/SOPA Images/LightRocket via Getty Images

Pasukan Israel mundur dari Kota Jenin, Palestina, pada 4 Juli 2023 setelah dua hari melakukan serangan bom udara dan invasi darat. Menurut laporan, 12 warga Palestina tewas dan lebih dari 100 terluka dalam apa yang militer Israel gambarkan sebagai “operasi kontra-terorisme”. Satu tentara Israel juga dilaporkan terbunuh.

Serangan di lokasi tersebut bukanlah hal baru. Di Kamp pengungsi Jenin, terletak di tepi barat kota Jenin di utara Tepi Barat (wilayah yang diduduki Israel), sering terjadi kekerasan antara tentara Israel dan militan Palestina.

Pada 3 Juli, pemerintah Israel mengatakan pasukannya perlu memasuki Jenin untuk menangkap militan yang mereka tuduh melakukan terorisme, dan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memperingatkan bahwa operasi penangkapan itu tidaka akan menjadi “satu kali tindakan” saja.“

Sebagai pakar sejarah Palestina, saya melihat deretan kejadian baru-baru sebagi bab terakhir dalam sejarah panjang penggusuran dan perlawanan Palestina akibat pendudukan Israel. Memahami sejarah ini membantu menjelaskan mengapa kamp Jenin secara khusus menjadi pusat perlawanan militan Palestina.

Kondisi kamp Jenin

Jenin, kota pertanian sejak zaman kuno, telah lama menjadi pusat perlawanan Palestina. Selama Perang Arab-Israel tahun 1948, para pejuang Arab berhasil memukul mundur upaya Israel untuk merebut kota tersebut.

Saat perang berakhir, Jenin menjadi tempat perlindungan bagi beberapa dari ratusan ribu pengungsi Palestina yang melarikan diri atau diusir dari wilayah-wilayah yang menjadi pendudukan Israel. Jenin, serta wilayah pedalaman berbukit Palestina yang dikenal sebagai Tepi Barat, kemudian dianeksasi oleh Yordania.

Agensi Pekerjaan dan Pemulihan PBB mendirikan kamp Jenin pada tahun 1953, tepat di sebelah barat pusat kota Jenin. Sejak itu, agensi juga telah menyediakan layanan dasar untuk penghuni kamp, termasuk makanan, tempat tinggal, dan pendidikan.

Kondisi di kamp Jenin selalu sulit. Pada tahun-tahun awal berdirinya kamp itu, para pengungsi harus antre panjang untuk menerima jatah makanan, dan selama beberapa dekade, mereka tinggal di rumah sempit yang kekurangan listrik atau aliran air.

Kamp Jenin langsung menjadi kamp termiskin dan terpadat di antara 19 kamp pengungsi di Tepi Barat. Mengingat lokasinya yang dekat dengan ”Garis Hijau“ – garis gencatan senjata yang secara de facto menjadi wilayah perbatasan Israel – penghuni kamp yang dulunya diusir dari Palestina utara benar-benar dapat melihat rumah dan desa tempat mereka diusir. Namun mereka dicegah untuk kembali ke sana.

Bangkitnya militansi

Sejak 1967, Jenin, serta wilayah Tepi Barat lainnya, telah diduduki oleh militer Israel.

Pendudukan Israel di Jenin membuat para pengungsi makin kesulitan. Sebagai warga Palestina tanpa kewarganegaraan, mereka tidak bisa pulang, tetapi mereka juga tidak bisa hidup bebas di Jenin karena wilayah ini ada di bawah pendudukan Israel. Organisasi-organisasi hak asasi manusia (HAM) telah lama mendokumentasikan apa yang mereka sebut sebagai ”penindasan sistematis,“ yang mencakup penyitaan tanah yang diskriminatif, penggusuran paksa, dan pembatasan perjalanan.

Melihat tidak ada jalan lain ke depannya, banyak pengungsi muda di kamp beralih melakukan perlawanan bersenjata.

Pada 1980-an, kelompok seperti Black Panthers, yang berafiliasi dengan Fatah, organisasi nasionalis Palestina, melancarkan serangan yang menargetkan Israel sebagai upaya mengakhiri pendudukan dan membebaskan wilayah yang mereka anggap sebagai tanah mereka. Sepanjang intifada pertama – pemberontakan Palestina yang berlangsung dari 1987 hingga 1993 – tentara Israel menggeledah kamp Jenin berkali-kali, berusaha menangkap para anggota kelompok militan. Dalam prosesnya, pasukan Israel juga kerap menghancurkan rumah anggota keluarga dan menangkap kerabat mereka. Tindakan hukuman kolektif seperti itu memperkuat gagasan bagi banyak orang Palestina bahwa pendudukan Israel hanya dapat diakhiri dengan kekerasan.

A group of men in headscarves stand in front of flags and banners. One holds a pistol up in the air.
Anggota kelompok militan Fatah di Jenin pada tahun 1991. Esaias Baitel/Gamma-Rapho via Getty Images)

Proses perdamaian Oslo tahun 1990-an – yang terdiri dari serangkaian pertemuan antara pemerintah Israel dan perwakilan Palestina – memberikan harapan bagi mantan anggota kelompok militan bahwa pendudukan dapat berakhir melalui negosiasi. Namun nyatanya penduduk kamp Jenin tetap terpinggirkan di Tepi Barat dan tertutup dari Israel, dan hidup mereka hanya mengalami sedikit perbaikan, bahkan setelah pengalihan administrasi kekuasaan dari Israel ke Otoritas Palestina pada tahun 1995.

Proyek independen seperti The Freedom Theatre memberikan sedikit bantuan kepada anak-anak pengungsi di kamp, tetapi itu tidak cukup untuk mengatasi kemiskinan dan kekerasan yang mereka hadapi. Pada saat intifada kedua pecah pada tahun 2000, banyak remaja kamp yang bergabung dengan kelompok militan. Ini termasuk salah satu pendiri Freedom Theater, Zakaria Zubeidi, yang bergabung dalam Brigade Martir Al-Aqsa yang berafiliasi dengan Fatah. Layaknya para pemuda tahun 1980-an, mereka juga menyimpulkan bahwa hanya perlawanan bersenjata yang akan mengakhiri pendudukan Israel.

Suatu siklus kekerasan?

Pada bulan April 2002, tentara Israel menginvasi kamp Jenin, berharap untuk mengakhiri gerakan kelompok militan bersenjata. Terjadi bentrokan sengit antara tentara Israel dan pemuda Palestina di kamp, yang kemudian memperkuat reputasi Jenin di kalangan warga Palestina sebagai ”ibu kota perlawanan.“

Sedikitnya kemajuan pembicaraan damai sejak saat itu, berkurangnya pembangunan pemukiman ilegal Israel di tanah yang diduduki, dan masuknya politikus garis keras Israel dalam pemerintahan telah memperburuk kebencian di kamp Jenin. Jajak pendapat menunjukkan semakin banyak orang Palestina mendukung perlawanan bersenjata.

Tampak khawatir dengan peningkatan militansi dan penimbunan senjata di kamp, Israel secara dramatis meningkatkan penyergapannya ke kamp pada tahun 2022. Selama penyergapan itulah jurnalis Palestina-Amerika, Shireen Abu Akleh, terbunuh oleh seorang tentara Israel.

Penyergapan terbaru, seperti yang dilaporkan oleh banyak jurnalis, mungkin menjadi operasi terbesar di kamp dalam 20 tahun terakhir. Namun, kondisi ini tercipta dari puluhan tahun perlawanan kelompok militan yang, saya percaya, hanya akan meningkat ketika saat kematian dan kehancuran.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now