Menu Close

Jokowi akan hadiri KTT BRICS, apa manfaatnya untuk Indonesia?

Bendera negara anggota BRICS.

Presiden Republik Indonesia Joko “Jokowi” Widodo diagendakan akan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS pada 22-24 Agustus 2023 di Johannesburg, Afrika Selatan. Ini menjadi satu langkah diplomasi yang strategis dan akan membawa sejumlah dampak positif bagi Indonesia.

BRICS merupakan aliansi lima negara berkembang (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) yang kini perannya signifikan secara global dan tengah mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat. Kelimanya mewakili 40% dari total populasi dunia, 25% dari ekonomi global, dan 17% dari perdagangan internasional.

Total pendapatan domestik bruto (PDB) negara BRICS mencapai US$22,5 triliun (sekitar Rp 335.746 triliun), melampaui total PDB G7 yang berada di angka US$21,4 triliun pada tahun yang sama. Kelompok G7 terdiri dari negara demokrasi maju, yakni Amerika Serikat (AS), Inggris, Kanada, Jerman, Prancis, Italia, dan Jepang.

Telah beredar luas asumsi dan kemungkinan bahwa Indonesia akan bergabung menjadi anggota BRICS.

Entah wacana tersebut akan terealisasi atau tidak, paling tidak partisipasi Jokowi dalam KTT BRICS menunjukkan signifikansi daya tawar Indonesia dalam menjalin hubungan dengan negara-negara yang menjadi mesin pertumbuhan global.

Setidaknya ada empat keuntungan yang akan didapat Indonesia dengan menghadiri KTT BRICS.

1. Manfaat ekonomi dan investasi

Negara-negara BRICS, terutama Cina dan India, telah membuktikan kemampuannya dalam membangun dan mendanai proyek-proyek infrastruktur tidak hanya di dalam negerinya, tetapi juga di negara-negara mitranya .

Infrastruktur merupakan sektor yang sangat penting bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dan tengah berkembang. Dengan memperkuat hubungan dengan BRICS, Indonesia akan memiliki peluang untuk menarik lebih banyak investasi di sektor infrastruktur.

Investasi di bidang teknologi digital juga menjadi salah satu sektor yang perlu diperkuat Indonesia, terutama dalam memperbaiki aksesibilitas internet, keterampilan digital masyarakat serta perlindungan data pribadi. Melalui KTT BRICS, Indonesia punya peluang menarik investasi, yang bisa juga dalam bentuk transfer pengetahuan, dari negara-negara BRICS.

Ini merupakan momentum yang tepat, karena BRICS, berdasarkan Tindakan Kebijakannya (Policy Action), telah menargetkan untuk berinvestasi lebih banyak dalam infrastruktur digital dan memastikan bahwa kemajuan teknologi terdistribusi secara merata.

Indonesia, sebagai emerging power, tentu merupakan mitra yang menguntungkan bagi BRICS. Di bidang teknologi digital, Indonesia memiliki pasar yang besar dan potensial. Di Asia Tenggara, Indonesia termasuk negara yang memiliki jumlah perusahaan rintisan (startup) paling banyak.

Kerja sama Indonesia dan BRICS akan menjadi hubungan timbal balik yang saling menguntungkan bagi keduanya.

Persis seperti yang disampaikan Jokowi pada Juni 2022 lalu, BRICS dapat berfungsi sebagai katalis dalam memperkuat investasi di negara-negara yang sedang berkembang. Kerja sama BRICS dengan negara-negara mitra harus mendukung transformasi digital yang inklusif, pengembangan industri dan infrastruktur hijau, serta peningkatan akses negara-negara berkembang ke rantai pasok global.

2. Memperkuat peran diplomasi Indonesia di forum global

Kehadiran Jokowi di KTT BRICS akan membuktikan menunjukkan komitmen dan kapabilitas Indonesia dalam berpartisipasi dalam diplomasi global, memperkuat hubungan dengan negara-negara berkembang, dan meningkatkan peran Indonesia di forum internasional.

Pada kesempatan ini, Indonesia akan mendapatkan panggung untuk memengaruhi dialog dan kebijakan global mengenai isu-isu mendesak yang menjadi fokus BRICS, seperti perubahan iklim, kesehatan global, dan upaya penanggulangan kemiskinan serta pembangunan global.

Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara yang sukses memimpin G20 pada 2022, Indonesia perlu memanfaatkan partisipasinya dalam KTT BRICS untuk memperkuat posisi dan peran strategisnya.

Khusus terkait Asia Tenggara, partisipasi Jokowi dalam KTT BRICS akan membuka peluang bagi Indonesia untuk memperluas pengaruhnya di kawasan. Melalui forum ini, Jokowi dapat memperdalam hubungan dengan pemimpin BRICS dan sekaligus mendukung visi Indonesia dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan ini.

Dalam konteks rivalitas AS-Cina, hubungan Indonesia yang semakin erat dengan negara-negara BRICS dapat memosisikan Indonesia sebagai penyeimbang dan fasilitator dialog antara dua kubu besar tersebut -— salah satunya melalui ASEAN.

3. Memperkuat soft power Indonesia

Tidak hanya dari segi ekonomi dan diplomasi, partisipasi Jokowi dalam KTT BRICS juga bisa menjadi cara untuk meningkatkan soft power Indonesia di kancah internasional. Soft power adalah upaya diplomasi suatu negara untuk memengaruhi negara lain yang bukan melalui kekuatan, melainkan melalui pendekatan seperti daya tarik budaya.

Kehadiran Jokowi dalam KTT ini bisa menjadi medium untuk memperkenalkan lebih jauh tentang Indonesia, baik dari segi budaya, sejarah, maupun potensi ekonominya kepada dunia. Dengan membagikan pengalaman dan pencapaian Indonesia dalam menangani berbagai tantangan, baik di tingkat nasional maupun internasional, Indonesia bisa menunjukkan dirinya sebagai contoh positif bagi negara-negara berkembang lainnya.

Ini bisa menjadi langkah agar Indonesia berhasil dalam politik dunia. Sebab, salah satu kunci kesuksesan utama dalam perpolitikan dunia adalah dengan menggunakan soft power.

4. Menghindari perangkap polarisasi AS-Cina

Di tengah rivalitas dan polarisasi dua kubu kekuatan besar AS-Cina, Indonesia harus mencegah dirinya terperangkap dalam pilihan biner.

Partisipasi dalam organisasi seperti BRICS bukan berarti Indonesia harus mengesampingkan hubungan dengan pihak lain. Sebaliknya, keikutsertaan ini dapat memberikan manfaat strategis dan memperluas jaringan diplomasi.

Dengan mengaplikasikan pendekatan “Machiavellian Way” — politik luar negeri yang pragmatis dan realistis — Indonesia bisa menjaga dan memanfaatkan hubungan baik dengan semua pihak untuk kepentingan nasionalnya, tanpa harus mengabaikan prinsip-prinsip etik dan nilai-nilai yang dianutnya.

Ini sesuai dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif yang selama ini menjadi pilar diplomasi Indonesia. Dengan memilih untuk tidak bergabung dalam satu blok kekuatan pun, Indonesia dapat menjaga fleksibilitas dan kemandiriannya dalam merespons dinamika global yang cepat berubah.

Dengan menerapkan pendekatan Machiavellian Way, Indonesia dapat memanfaatkan setiap peluang yang muncul dari hubungan dengan kedua blok kekuatan itu, memperkuat kerja sama ekonomi dan perdagangan dengan Cina sekaligus memperdalam hubungan pertahanan dan keamanan dengan AS.

Namun, penting bagi Indonesia untuk selalu waspada dan adaptif terhadap setiap perubahan dalam dinamika geopolitik global. Selain itu, strategi ini juga memerlukan kebijakan yang tepat dan penyeimbangan yang cermat antara berbagai kepentingan dan prioritas, baik dalam konteks bilateral maupun multilateral.

Langkah yang pragmatis dan berani

Partisipasi Jokowi dalam KTT BRICS pada akhirnya akan menggiring Indonesia untuk semakin mampu menyesuaikan diri dan merespons dinamika global.

Jika sebelumnya Indonesia mungkin terlalu fokus pada prinsip-prinsip idealis seperti menjaga hubungan erat dengan negara G7 – pendekatan yang mungkin membatasi peluang Indonesia untuk mengoptimalkan kepentingan nasionalnya – pendekatan terhadap BRICS diharapkan akan lebih bermanfaat bagi Indonesia untuk meningkatkan posisi dan pengaruhnya di panggung global.

Ini juga menunjukkan bahwa Indonesia berani mengambil langkah-langkah pragmatis untuk memajukan kepentingan nasional, bahkan jika itu berarti harus bermain dalam permainan politik yang lebih kompleks dan berpotensi kontroversial.

Ini adalah tanda bahwa Indonesia sedang mempersiapkan diri untuk menjadi aktor global yang lebih berpengaruh dan berdaya saing.

Kesediaan Indonesia untuk memanfaatkan KTT BRICS sebagai sarana untuk memperluas pengaruh dan kepentingan nasionalnya adalah langkah yang berani dan pragmatis. Namun, penggunaan kekuasaan dan pengaruh harus dilakukan dengan bijaksana dan hati-hati. Untuk itu, Indonesia harus terus membangun kapasitasnya dan memperkuat diplomasi multilateralnya, serta memastikan bahwa tindakannya tetap sejalan dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh bangsa ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now