Menu Close

Jokowi longgarkan aktivitas, rumah sakit berpotensi kembali runtuh jika kita lengah

Sejumlah pasien dirawat di teras gedung Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura, Papua, 16 Juli 2021, karena kamar rumah sakit penuh. ANTARA FOTO/Indrayadi TH/hp

Kebijakan Presiden Joko Widodo melonggarkan aktivitas ekonomi saat perpanjangan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat Level 4 dari 26 Juli hingga 2 Agustus 2021 sangat berisiko.

Pelonggaran aktivitas pada saat kasus COVID-19 belum sepenuhnya terkendali dapat berpotensi membuat efek yoyo atau peningkatan kembali penggunaan tempat tidur rumah sakit dan pada akhirnya akan meningkatkan kembali angka kematian.

Tren penurunan penggunaan tempat tidur di rumah sakit di Pulau Jawa memang menjadi salah satu dasar pemerintah memperpanjang pembatasan setelah 25 Juli. Dalam perpanjangan terbaru ini, pasar rakyat yang menjual kebutuhan pokok diizinkan beroperasi dengan protokol kesehatan yang ketat dan jam buka dan kapasitas yang dibatasi.

Pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM Darurat) mulai 3-20 Juli di Pulau Jawa dan Bali mulai memperlihatkan dampaknya pada penurunan angka penggunaan tempat tidur rumah sakit (BOR RS). Per 20 Juli, angka penggunaan tempat tidur berbagai rumah sakit di Pulau Jawa mulai menurun walau belum terlalu signifikan.

Secara nasional pada 20 Juli 2021, tingkat keterisian kamar tidur rumah sakit (bed occupancy rate, BOR RS) berada pada angka 75,28% dan turun jadi 69,88% pada 27 Juli. Provinsi DKI Jakarta sebagai daerah dengan kasus tertinggi di Indonesia juga mengalami fenomena serupa yakni menurun dari 84% pada 20 Juli menjadi 72,20% pada 27 Juli.

Namun, penurunan keterisian kamar rumah sakit ini dapat meningkat lagi jika pergerakan masyarakat dilonggarkan pada waktu yang kurang tepat. Pengalaman Malaysia menunjukkan hal itu.

BOR dan angka kematian

Salah satu dampak buruk akibat tingginya angka pemanfaatan tempat tidur rumah sakit adalah peningkatan angka kematian.

Sebuah riset di Inggris dengan melibatkan 6.686 pasien ICU antara 2 April-1 December 2020, menunjukkan bahwa angka kematian pasien COVID-19 meningkat pada saat keterisian ICU di atas angka >85%.

Hal ini terbukti di Indonesia.

Pada Juli, saat angka keterisian tempat tidur melebihi standar ideal, beberapa kali angka kematian harian di Indonesia mengalami pecah rekor bahkan menjadi tertinggi di dunia.

Tingkat kematian kasus (case fatality rate) Indonesia hingga per 27 Juli (2,68%) juga masih melebihi rata-rata dunia (2,14%) dan Asia (1,44%).

Positivity rate masih tinggi

Positivity rate, perbandingan antara jumlah kasus positif COVID-19 dengan jumlah tes yang dilakukan, adalah salah satu indikator yang digunakan untuk melihat potensi besarnya kasus di masyarakat. WHO menetapkan batas idealnya di bawah lima persen.

Terhitung pada rentang waktu 16-20 Juli, angka positivity rate pada berbagai provinsi di Pulau Jawa memang mulai memperlihatkan tren turun. Tren ini berkontribusi positif terhadap penurunan BOR RS yang mulai dirasakan mulai 20 Juli.

Namun kita perlu waspada.

Selain karena persentase penurunannya masih sangat jauh di atas angka ideal, angka positivity rate pada beberapa provinsi di Pulau Jawa terlihat mulai kembali naik sejak 21-27 Juli.

Pada periode tersebut, Provinsi Banten kembali meningkat dari 36,98% menjadi 38,08%, Jawa Barat dari 42,3% menjadi 45,27%, Jawa Tengah dari 41,84% ke 48,63% dan selanjutnya Jawa Timur dari 39,81% menjadi 47,09%.

Delta dan risiko perawatan di rumah sakit

Berdasarkan data Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan, saat ini varian virus corona yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah varian Delta.

Studi terbaru di Skotlandia yang dipublikasi di Lancet menemukan bahwa varian ini menyebabkan risiko penderita untuk dirawat di rumah sakit meningkat hampir dua kali lipat dibanding varian Alfa.

Studi lain di Inggris dengan menganalisis 38.805 sempel mengungkapkan bahwa varian Delta dikaitkan dengan risiko rawat inap 2,61 kali lebih tinggi dalam 14 hari daripada varian Alpha dan 1,67 kali lebih tinggi meningkatkan perawatan kegawatdaruratan.

Mengingat hal tersebut, pemerintah dan masyarakat hendaknya masih harus berhati-hati. Potensi kembali rebound-nya jumlah penderita yang akan memerlukan perawatan di rumah sakit saya prediksi masih akan tinggi.

Belajar dari Malaysia

Efek yoyo atau rebound-nya kembali kasus COVID akibat kelengahan dapat kita lihat saat ini terjadi di Malaysia.

Tercatat sejak Januari 2021 hingga akhir Juli, telah terjadi tiga kali gelombang puncak menerjang Malaysia.

Di Malaysia, pada 4 Februari 2021 puncak kasus harian pertama terjadi dengan jumlah kasus harian mencapai 146.87 per satu juta orang. Angka ini kemudian menurun tajam hingga hanya sekitar 37 kasus positif per satu juta orang pada 1 April.

Namun setelah pemerintah melonggarkan, kasus harian kembali naik, bahkan gelombang kedua ini jauh lebih tinggi dari puncak pertama yakni 239 kasus harian per satu juta orang pada 3 Juni 2021.

Selanjutnya kasus harian kembali turun. Hal ini menyebabkan kelengahan yang berakibat munculnya hantaman gelombang ketiga. Puncaknya pada 25 Juli dengan 427.69 kasus harian per satu juta orang dan angka ini masih berpotensi terus meningkat.

Sebagai perbandingan, kasus harian tertinggi di Indonesia selama ini hanya 182.94 per satu juta orang yang terjadi pada 18 Juli kemarin.

Hal yang terjadi di Malaysia dapat menjadi pembelajaran bagi pemerintah dan masyarakat bahwa kita tidak boleh lengah. Bahkan Malaysia yang telah memiliki jumlah cakupan masyarakat yang telah divaksin 2-3 kali lebih besar dibanding Indonesia masih bisa merasakan hantaman tiga kali gelombang peningkatan kasus.

Persentase masyarakat yang telah divaksin di Malaysia hingga 27 Juli 2021 mencapai 20% untuk dosis lengkap dan 18% untuk dosis pertama. Sedangkan di Indonesia baru mencapai 6,8% untuk dosis lengkap dan 9,7% untuk dosis pertama.

Bahkan untuk beberapa provinsi di Pulau Jawa, pada kelompok lansia cakupan vaksinasi masih sangat rendah. Padahal kelompok ini memiliki risiko tinggi untuk dirawat di rumah sakit dan kematian yang lebih tinggi ketika mereka terinfeksi.

Data per 27 Juli, cakupan persentase untuk dosis pertama vaksinasi lansia di Provinsi Banten hanya 17,42%, Jawa Barat 17,34%, Jawa Timur 20%, Jawa Tengah 29,24% dan Yogyakarta 48%.

Hanya DKI Jakarta yang telah berhasil melakukan vaksinasi pada lansia lebih dari setengah populasi yakni 79,41%.

Tempat isolasi terpusat

Selain pengetatan pergerakan masyarakat, pendirian berbagai tempat isolasi terpusat (isoter) bagi penderita tanpa gejala dan bergejala ringan seperti di DKI Jakarta, DIY, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur merupakan kebijakan yang sangat efektif untuk menekan semakin tingginya penggunaan tempat tidur rumah sakit pada masa puncak pandemi seperti saat ini.

Strategi ini hendaknya tetap dipertahankan dan terus dikembangkan di berbagai daerah di luar Pulau Jawa. Sebab saat ini ledakan kasus juga mulai bergeser keluar Pulau Jawa.

Pemerintah perlu juga memperbarui kebijakan dan panduan teknis terkait standar fasilitas isolasi terpusat bagi daerah. Hal ini penting agar tempat isolasi terpusat yang didirikan di berbagai daerah memiliki standar minimal dan kualitas yang sama, nyaman dan aman baik bagi para pasien dan petugas kesehatan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now