Lima tahun berlalu sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan visi menjadikan Indonesia sebagai kekuatan maritim dunia.
Melalui doktrin “poros maritim dunia”, Presiden Jokowi berharap bisa mempercepat upaya untuk mengintegrasikan sumber daya darat (hinterland) dan laut untuk kesejahteraan bangsa. Sayangnya, belum banyak kemajuan yang dicapai.
Indonesia akan mendapatkan banyak keuntungan apabila bisa meningkatkan konektivitas antarpulau, terutama untuk memperkecil kesenjangan antara Pulau Jawa dengan pulau-pulau lainnya di Nusantara. Lebih lagi, tanpa adanya kedaulatan maritim atas wilayah laut Indonesia beresiko membuat kita menjadi target dari kapitalisme dan eksploitasi global.
Penelitian yang dilakukan bersama tim peneliti, dan sudah dipublikasikan di Marine Policy pada Oktober 2019 lalu, mengkaji penyebab pemerintah Indonesia gagal untuk membangun negara maritim.
Dalam penelitian tersebut, kami menemukan bahwa pemerintah lebih fokus kepada pembangunan fisik, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, namun mengabaikan pembangunan manusia serta industri yang bisa meningkatkan produktivitas barang dan jasa.
Untuk bisa kembali ke jalur menjadi negara maritim yang kuat, maka Indonesia seharusnya merevitalisasi nilai-nilai budaya kemaritiman dan mindset, yang secara historis sudah dipraktikkan oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Lebih lanjut, Indonesia juga mesti mengembangkan teknologi dan kekuatan maritim serta mengintegrasikan potensi sumber daya ekonomi darat dan laut secara sinergis. Teknologi maritim yang dimaksud adalah teknologi aviasi dan satelit. Sementara integrasi ekonomi menekankan pada penyatuan komoditas ekspor dengan aktivitas, eksplorasi, dan kekuatan laut (sea power).
Visi yang belum tercapai
Dalam masa jabatan pertama, Jokowi belum berhasil mentransformasikan Indonesia menjadi pusat maritim dunia karena tiga alasan berikut :
1. Dampak perang dagang AS-Cina terhadap investasi di Indonesia
Strategi Jokowi untuk mencapai kekuatan maritim adalah dengan membangun infrastruktur kemaritiman dengan tanpa mengintegrasikan potensi sumber daya darat dan laut untuk meningkatkan konektivitas antarpulau di Indonesia dan negara lain.
Namun, pembangunan infrastruktur maritim ini sedang melambat sebagai dampak dari Cina – yang masih terlibat perang dagang dengan AS.
Sementara, partisipasi sektor swasta untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur masih relatif rendah.
2. Potensi industri perikanan yang belum maksimal
Indonesia masih belum mampu mengembangkan aneka produk ekspor hasil laut yang kompetitf di pasar global. Indonesia belum berhasil untuk memaksimalkan potensi, baik sumber daya manusia dan alam untuk mendukung perekonomian maritim.
3. Menurunnya kapasitas untuk membangun dan mengembangkan industri perkapalan modern
Pada awal era modern (1450-1750), bangsa Indonesia sudah membuat kapal sendiri secara tradisional dan mampu menjelajahi samodera dunia. Namun di era modern, justru terjadi penurunan kapasitas di mana perusahaan swasta maupun perusahaan negara seperti PT PAL Indonesia, belum berhasil menguasai pangsa pasar global meskipun sudah dikenal di dunia internasional dan mulai diminati produk-produknya oleh beberapa negera. Terjadinya penurunan PT PAL Indonesia ketika krisis finansial di tahun 1997-98.
Pemerintahan Jokowi menginvestasikan dana sebesar Rp 150 miliar untuk pengembangan teknologi kemaritiman agar dapat mengangkat kembali kejayaan PT PAL Indonesia. Ditambah lagi, perusahaan tersebut telah berhasil menandatangani kontrak dengan negara-negara lain dan perusahaan internasional untuk membangun kapal perang, contohnya Strategic Sealift Vessel (SSC), tanker, feri penumpang hingga kapal pembangkit listrik.
Saat ini dan ke depan, PT PAL Indonesia dihadapkan kepada persaingan yang semakin kompetitif dan untuk itu diperlukan SDM yang semakin handal, serta dukungan dana dan inovasi yang progresif untuk bisa merespon kebutuhan pasar global.
Jalan menuju negara maritim yang kuat
Memasuki babak kedua pemerintahannya, Jokowi memiliki kesempatan untuk mencapai impian menjadi poros maritim dunia. Selain pembangunan infrastruktur maritim, pemerintah juga harus membangun mindset sebagai bangsa maritim, berinvestasi dalam teknologi lanjut dan mengintegrasikan potensi sumberdaya ekonomi darat dan laut sebagai kekuatan ekonomi nasional.
1. Investasi teknologi
Jokowi perlu memajukan teknologi aviasi dan teknologi satelit dalam negeri untuk mendukung pengembangan industri perkapalan dan aktivitas ekonomi kemaritiman. Memiliki beragam jenis kapal laut, baik untuk keamanan atau aktivitas ekonomi kemaritiman, tidak akan banyak manfaatnya tanpa didukung oleh kekuatan airpower (seperti penggunaan jet tempur yang dilengkapi radar untuk mendeteksi keberadaan kapal asing dalam wilayah teritorial laut Indonesia ) dan teknologi satelit yang maju.
Ada sinyal baik di mana baru-baru ini, pemerintah Indonesia menyatakan akan investasi sebesar 1,1 miliar dolar AS untuk teknologi airpower.
2. Integrasi potensi sumberdaya darat dan laut untuk pertumbuhan ekonomi nasional
Daerah-daerah di Indonesia, yang memiliki jaringan dan konektivitas laut dengan daratan, perlu menciptakan struktur kebijakan ekonomi yang khusus, seperti manajemen pelabuhan dengan dwelling time yang singkat, sehingga mobilitas komoditas di wilayah darat (pertanian, perkebunan, dan pertambangan) dapat dengan mudah sampai di pulau-pulau lain. Hal ini perlu dilakukan untuk mendinamisasi aktivitas ekonomi nasional yang semakin merata antarpulau.
Harapannya, daerah-daerah dari berbagai pulau di Nusantara mampu mengembangkan sendiri mekanisme supply and demand, sehingga bisa berujung pada kemajuan dan kemandirian ekonomi.
Lebih lanjut, langkah ini dapat menjadi katup penyelamat bagi Indonesia dalam menghadapi market downturns dan resesi ekonomi global, serta secara signifikan membangun perekonomian maritim yang kuat yang bisa memanfaatkan potensi-potensi lokal dan regional.
Membangkitkan budaya maritim Indonesia
Secara historis, dua kerajaan besar Nusantara yaitu, Sriwijaya dan Majapahit, sudah menjadi kekuatan maritim dengan kekuasaan yang luas mencakup beberapa negara Asia Tenggara saat ini. Kekuasaan itu ditunjukkan dengan dominasi dan hegemoni dalam aktivitas pelayaran dan perdagangan dengan Cina, India, Arab, dan sebagainya.
Dalam konteks ini, kedua kerajaan tersebut mampu menginisiasi Jalur Rempah, yang menghubungkan dunia Timur dan dunia Barat, sehingga memiliki kekuatan ekonomi yang kompetitif dan mandiri.
Bahkan hingga kini, beberapa etnik di Indonesia masih mengidentifikasi diri sebagai pelaut yang ulung dengan kepemilikan nilai budaya kemaritiman yang kuat. Sebagaimana tercermin pada pengetahuan navigasi dan kemampuan pembuatan kapal.
Ironisnya, saat ini Indonesia masih jauh dari kejayaan kemaritiman yang pernah dimiliki kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk bisa membangkitkan budaya dan mindset sebagai bangsa maritim, sehingga Indonesia menjadi pemain penting dari jaringan maritim global, bukan sekadar penonton atau objek dari beroperasinya jaringan kekuatan ekonomi global.