Menu Close

Jokowi resah tabungan mengendap Rp 690 triliun di bank, betulkah masyarakat yang harus belanja?

Tabungan mengendap Rp 690 triliun, Jokowi dorong konsumsi masyarakat
Presiden Joko Widodo menyapa warga saat mengunjungi Pasar Pagi Batuphat Timur, Lhokseumawe, Aceh, bulan lalu. Ia baru-baru ini mewanti-wanti masyarakat untuk menggunakan membelanjakan tabungannya demi mendorong pertumbuhan ekonomi. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/aww.

Pada Kamis, 23 Februari 2023, Presiden Joko “Jokowi” Widodo membuka pertemuan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) Tahun 2023 di Balikpapan, Kalimantan Timur. Dalam pidatonya, Jokowi menekankan pentingnya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi pascapandemi dengan cara mempercepat izin acara dan konser, mempercepat izin investasi, dan menjaga inflasi daerah.

Dari keseluruhan pidato tersebut, fokus media terpusat pada pernyataan Jokowi soal adanya dana masyarakat sebanyak Rp 690 Triliun yang tertahan di bank. Jokowi berharap agar para kepala daerah mengoptimalkan adanya dana ekstra ini untuk mendorong masyarakat belanja daripada menabung, termasuk dengan menghadiri acara dan konser yang perizinannya dimudahkan. Tujuannya, menggerakan ekonomi melalui konsumsi masyarakat, yang memang merupakan komponen penting dalam menyusun pendapatan negara.

Jokowi berkata:

Masyarakat ngerem. Tidak ingin belanja, tidak ingin ke restoran, ke pasar, ke mall, ke toko, belanja tidak. Lebih baik disimpan di bank… Ini tidak boleh. Kita harus mendorong masyarakat agar belanja bisa sebanyak-banyaknya untuk men-trigger pertumbuhan ekonomi kita.

Namun, tepatkah imbauan Jokowi ini ditujukan ke masyarakat? Apakah endapan dana ini memang perlu perhatian khusus?

Paradoks penghematan

Pemikiran Jokowi sejalan dengan teori paradox of thrift (paradoks penghematan) yang dipopulerkan oleh ekonom Inggris John Maynard Keynes. Menurut argumen paradox of thrift, menabung pada saat resesi justru berpotensi memperparah resesi itu sendiri.

Sederhananya, resesi merupakan kondisi ketika aktivitas ekonomi mengalami penurunan signifikan dan orang-orang kesulitan mencari pekerjaan. Ketika resesi, ketidakpastian akan kondisi ekonomi ke depan akan membuat orang cenderung menahan pengeluaran dan menabung. Perusahaan juga akan ragu untuk berinvestasi dan menunggu kondisi ekonomi membaik dulu.

Namun jika semua orang dan perusahaan berpikir seperti itu, maka roda ekonomi justru tidak berputar akibat mandegnya konsumsi dan malah mempercepat datangnya resesi itu sendiri.

Kekhawatiran Jokowi soal dana yang tertahan di bank dan potensi melambatnya konsumsi cukup beralasan. Pasalnya, ekonomi Indonesia baru saja dilanda resesi pada 2020 dan 2021 akibat COVID-19 dan kenaikan tingkat suku bunga global. Belum lagi, ia kerap mewanti-wanti potensi resesi global tahun ini, walau tetap optimis perekonomian Indonesia tetap bertumbuh.

Jokowi juga mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa kontribusi konsumsi masyarakat ke pendapatan domestik bruto (PDB) tahun 2022 hanya sebesar 51,87%. Angka ini di bawah tahun 2021 yaitu 54,40%.

Meski demikian, kontribusi konsumsi mungkin bukan merupakan indikator yang cukup tepat. Bagaimanapun juga, konsumsi rumah tangga pada 2022 tumbuh sebesar 4,93%, jauh lebih cepat ketimbang tahun 2021 yaitu sebesar 2,02%.

Terlepas dari kelamnya perekonomian pada dua tahun pertama pandemi COVID-19, Indonesia pada 2022 dapat dikatakan jauh dari resesi. Pertumbuhan ekonomi 2022 tercatat sebesar 5,31%, tertinggi sejak Jokowi menjabat presiden pada 2014 dan jauh melampaui pertumbuhan tahun 2021 yang hanya sebesar 3,70%.

Kontribusi konsumsi tahun lalu turun bukan karena konsumsi melambat, tapi karena pertumbuhan ekspor yang tinggi – sampai-sampai membuat surplus neraca perdagangan tertinggi dalam sejarah. Hasilnya, kontribusi ekspor ke PDB naik dan membuat porsi konsumsi ke perekonomian terlihat lebih kecil.

Kekhawatiran akan resesi adalah poin penting dalam paradox of thrift. Dalam kondisi resesi, kita akan melihat melambatnya pertumbuhan ekonomi, pesimisme masyarakat, dan meningkatnya jumlah uang di sektor perbankan walau tanpa ada perubahan tingkat suku bunga yang berarti.

Akan tetapi, dalam kondisi ekonomi yang normal, menabung adalah hal yang wajar untuk menjaga konsumsi masa depan, bahkan untuk sekadar keperluan transaksi. Dalam kondisi normal, naiknya dana di sektor perbankan juga mungkin saja terjadi, dan belum tentu diakibatkan kekhawatiran masyarakat.

Tabungan milik siapa?

Sayangnya, Jokowi tidak menyebut sumber data dari angka Rp 690 Triliun yang ia sebutkan. Jika menilik data Bank Indonesia, angka yang dimaksud oleh Jokowi tampaknya berasal dari posisi simpanan masyarakat pada bank umum dan bank perkreditan rakyat.

Jika kita hitung gabungan rupiah dan valuta asing milik masyarakat, pemerintah pusat dan warga asing, didapat peningkatan nilai simpanan sebesar Rp 682,30 triliun rupiah dari 2021 ke 2022.

Memang jumlah peningkatan ini masih berada di atas angka sebelum pandemi. Namun peningkatan ini justru turun jika dibandingkan dengan peningkatan jumlah simpanan pada tahun 2021 yaitu sebesar Rp 828,48 triliun. Ingat juga bahwa tahun 2021 adalah tahun ketika kontribusi konsumsi rumah tangga ke PDB lebih tinggi dibandingkan kontribusi pada tahun 2022. Artinya, turunnya kontribusi rumah tangga ini tak melulu terkait dengan endapan dana di bank.

Namun, pertanyaan terpenting adalah, siapa pemilik dari peningkatan tersebut?

Dari hampir Rp 690 triliun peningkatan kepemilikan simpanan di bank umum dan bank perkreditan rakyat, kepemilikan individu hanya meningkat sebesar Rp 178,55 triliun rupiah. Mayoritas peningkatan justru berasal dari perusahaan swasta yaitu sebesar Rp 525,05 triliun. Sementara, BUMN memiliki tambahan dana Rp 102,25 triliun di bank.

Mayoritas endapan dana di sektor perbankan bukan milik masyarakat, tapi milik perusahaan. Jika dimiliki masyarakat, besar kemungkinan dana tersebut didominasi oleh kepemilikian orang kaya yang memang memiliki kecenderungan menabung yang lebih besar dibanding masyarakat pada umumnya.

Jika dana mengendap ini merupakan masalah, langkah yang lebih tepat adalah mendorong perusahaan berinvestasi atau mengoptimalkan simpanannya untuk pekerja, sehingga dapat dimanfaatkan untuk konsumsi masyarakat.

Hal lain yang semestinya menjadi fokus pemerintah adalah, mengingat besarnya nilai ekspor Indonesia pada 2022, peran devisa negara yang diparkir di luar negeri. Jokowi pernah meminta eksportir untuk yang menahan dana di luar negeri untuk memarkir devisa hasil ekspor di dalam negeri.

Masih segar juga di ingatan kita keterlibatan beberapa orang kaya Indonesia di Pandora Papers yang juga menyimpan uangnya di luar Indonesia demi menghindari pajak. “Uang-uang nganggur” ini bisa jadi lebih besar dibandingkan tabungan masyarakat.

Beberapa nama di Pandora Papers tersebut bahkan duduk di kabinet Jokowi, dan mungkin lebih mudah diajak untuk membelanjakan uangnya di dalam negeri daripada masyarakat.

Fokus ke investasi perusahaan

Tambahan dana sebesar Rp 690 triliun di sektor perbankan memang dapat digunakan untuk mendorong ekonomi. Namun strategi penggunaannya tergantung siapa yang memiliki aset tersebut. Sebagian besar pemilik dana tambahan tersebut adalah korporat dan orang kaya. Karena itu, resep menyuruh masyarakat untuk belanja mungkin tidak terlalu efektif.

Pemerintah mungkin dapat memikirkan bagaimana porsi dana dari perusahaan dapat dimaksimalkan untuk pekerjanya, apalagi bagi perusahaan eksportir yang uangnya ditahan di luar negeri.

Di samping itu, dalam pidatonya, Jokowi berpesan pada para kepala daerah untuk mensukseskan program hilirisasi mendorong investasi, sebuah strategi yang tepat mengingat tingginya uang perusahaan yang parkir di sektor perbankan. Tinggal, bagaimana perusahaan mau meningkatkan investasinya dengan memanfaatkan permintaan domestik maupun luar negeri.

Meski demikian, Jokowi sudah tepat dengan mengatakan bahwa izin-izin untuk pentas seni, musik dan olahraga untuk tidak dihambat. Dengan dihapuskannya kewajiban masker, sektor jasa akhirnya dapat bergeliat lagi dan menjadi salah satu penggerak konsumsi dan ekonomi pascapandemi, terutama di daerah-daerah yang secara tradisional memang mengandalkan sektor jasa.

Kita juga tidak boleh melupakan fakta bahwa 2023-2024 merupakan tahun pemilu. Kemungkinan besar perusahaan-perusahaan masih mempersiapkan uang tunai untuk turut meramaikan pesta demokrasi yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Tahun 2024 juga akan menentukan siapa yang akan meneruskan tongkat estafet kepemimpinan dari Jokowi, sesuatu yang juga mungkin masih ditunggu sebelum perusahaan-perusahaan memutuskan untuk menginvestasikan uangnya yang saat ini ada di sektor perbankan.

Jokowi sudah berhasil mengembalikan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke jalurnya di pertumbuhan sekitar 5% tahun, dan sepertinya tepat untuknya bersikap optimis.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now