Menu Close
Sebuah tulisan informasi tidak melayani pembelian obat sirop dipasang oleh petugas Dinas Kesehatan di sebuah apotek di Bandung, Jawa Barat, 26 Oktober 2022. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/rwa

Kasus anak keracunan obat sirup: kenapa lagi-lagi pihak ibu yang disalahkan?

Kementerian Kesehatan menyatakan kasus gangguan ginjal akut terus menurun. Hingga 3 November 2022, kasus ini telah menimpa lebih dari 320 orang dan menyebabkan 190 kematian yang mayoritas anak-anak.

Sejak pertengahan Oktober lalu, Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa penyebab utama dari kasus gangguan ginjal akut atipikal (atypical progressive acute kidney injury) ini adalah keracunan zat kimia etilen glikol dan dietilen glikol yang melebihi batas aman, yang terkandung dalam obat-obatan berbentuk sirup.

Persoalannya, saat penyebab kasus gagal ginjal tersebut masih belum pasti, pihak berwenang saling menyalahkan. Akibatnya masyarakat semakin kebingungan dan berusaha mencari jawabannya sendiri.

Komunikasi risiko bermasalah

Pada masa awal pengumuman tersebut, merebak ketakutan dan kepanikan, terutama di kalangan orang tua yang memiliki anak di bawah lima tahun. Apakah anak saya berisiko? Apa yang harus dilakukan jika anak saya mengalami demam tinggi? Apakah kita tidak bisa lagi mengkonsumsi obat sirup?

Di tengah ketiadaan anjuran yang terarah dan terstruktur dari Kementerian Kesehatan, muncul berbagai informasi dari berbagai media mengisi ruang kosong komunikasi risiko. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan bahwa komunikasi risiko seharusnya disampaikan oleh pemerintah dan para ahli untuk memberikan pilihan-pilihan bagi masyarakat dalam mengambil keputusan terbaik untuk menyelamatkan keluarganya.

Beberapa contoh anjuran yang muncul misalnya alternatif untuk mengkonsumsi obat, baik dalam bentuk tablet atau puyer. Namun, kemudian muncul juga imbauan yang menyampaikan bahwa obat puyer tidak direkomendasikan bagi anak.

Informasi-informasi yang beragam dan saling kontradiktif tersebut menambah kebingungan masyarakat dan memunculkan semakin banyak pertanyaan. Di tengah kebingungan tersebut, muncul pesan di sebuah milis yang disebarkan melalui media sosial dan beberapa grup WhatsApp yang saya ikuti, yang meminta orang tua untuk lebih cerdas dalam memberikan obat bagi anak.

Meski pesan tersebut terdengar tepat, tapi mengandung kalimat yang kurang sensitif pada pengalaman korban dan orang tua. Pesan ini kemudian memunculkan perdebatan di antara para ibu dan orang tua di beberapa grup Whatsapp tersebut. Satu sisi merasa disalahkan sebagai orang tua yang tidak cerdas atau sembrono dalam memberikan obat, di sisi lain turut menyalahkan tindakan pemberian obat pada sakit ringan.

Pesan semacam ini menjadi tidak sensitif pada orang tua korban. Padahal, jika mendalami kisah orang tua korban, kita akan memahami bahwa obat diberikan atas anjuran dokter ataupun puskesmas. Pemberian obat dilakukan setelah melalui beberapa tahapan kondisi sakit pada anak. Belakangan, beberapa perusahaan farmasi dan pemasok bahan baku diduga curang dalam produksi obat dan kini polisi sedang menyelidiki kasus ini.

Korban kerap disalahkan dan faktor gender

Dalam komunikasi risiko, ada kecenderungan dari pemerintah maupun para ahli untuk menganggap bahwa risiko terjadi karena masyarakat tidak memahami berbagai bukti ilmiah, sehingga harus ditingkatkan pemahamannya.

Sayangnya, peningkatan pengetahuan ini seringkali disampaikan dengan cara yang kurang empatik dan cenderung menyalahkan ketidaktahuan masyarakat atas berbagai fakta ilmiah.

Penelitian telah banyak membuktikan bahwa cara ini tidak banyak berhasil meningkatkan pengetahuan masyarakat. Sebaliknya, cara ini bahkan mendorong munculnya konflik di antara masyarakat yang memiliki persepsi berbeda dan menjadi saling menyalahkan, seperti yang terjadi pada percakapan pada grup WhatsApp di atas.

Panduan WHO mengenai komunikasi risiko menyebutkan pentingnya empati untuk memahami berbagai perbedaan persepsi atas risiko yang dialami masyarakat yang mengalami berbagai kondisi yang berbeda.

Sebuah risiko yang sama dapat dimaknai berbeda oleh orang yang berbeda. Misalnya, ada orang cepat panik ketika mendapati informasi mengenai tingkat kematian balita yang mendadak tinggi karena gagal ginjal. Namun ada orang yang masih merasa tenang karena menganggap risiko tersebut berada jauh dari dirinya.

Salah satu hal yang berperan besar dalam perbedaan persepsi terhadap sebuah risiko adalah gender. Dalam krisis kesehatan, perempuan seringkali dihadapkan pada posisi yang lebih rentan, karena kesehatan seringkali dikategorikan sebagai persoalan domestik yang dianggap adalah urusan perempuan.

Data dari Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada 2020 menyebutkan tanggung jawab perawatan kesehatan cenderung jatuh pada perempuan, baik di rumah maupun di lingkungan pekerjaan. Ini terjadi karena 70% pekerjaan di ranah kesehatan dan perawatan sosial di seluruh dunia dilakukan oleh perempuan.

Dengan demikian, perempuan, terutama yang bertanggung jawab mengurus keluarga, dianggap dan merasa memiliki tanggung jawab lebih tinggi untuk memberikan perawatan dan solusi kesehatan bagi keluarganya.

Penelitian menemukan bahwa perempuan cenderung mempersepsikan risiko lebih tinggi dan lebih berpotensi berbahaya daripada laki-laki. Banyak yang menduga bahwa persepsi ini disebabkan oleh kondisi biologis perempuan yang menjadikan perempuan lebih emosional.

Namun demikian, penelitian bertajuk “Gender, race, and perceive risk: the white male effect” (2010) menemukan bahwa persepsi perempuan yang lebih waswas terhadap risiko lebih disebabkan oleh hal-hal sosio-politis ketimbang biologis.

Penelitian tersebut menemukan bahwa perempuan cenderung merasa lebih tidak punya kuasa dalam mengontrol keadaan atau melakukan perubahan, sehingga merasa dunia jauh lebih berbahaya.

Sebagai contoh, kekhawatiran perempuan yang sangat besar terhadap kekerasan berbasis gender atau penculikan anak, sebetulnya disebabkan oleh pengalaman dan pengetahuan tentang rentannya perempuan dalam mengalami kekerasan.

Kecenderungan tersebut tidak terjadi begitu saja, melainkan telah terbentuk sekian lama melalui ketidakseimbangan kuasa dan akses antara perempuan dan laki-laki. Ketidakseimbangan kuasa yang membuat perempuan merasa lebih tidak berdaya tersebut masih ditambah dengan pesan penanggulangan risiko yang membebankan tanggung jawab pada perempuan.

Peneliti feminisme telah lama mengkritik upaya-upaya pengurangan risiko yang memandang sempit kebutuhan perempuan dalam menghadapi risiko. Pengurangan risiko bagi perempuan hanya dipandang sempit sebagai kebutuhan yang dapat langsung mengurangi risiko yang terlihat. Pandangan tersebut tanpa melihat akar permasalahannya, melainkan justru membebankan solusi pada hal-hal yang harus atau tidak boleh dilakukan oleh perempuan.

Misalnya bagaimana perempuan dikondisikan untuk tidak menggunakan pakaian tertentu atau tidak keluar malam untuk menghindari kekerasan pada perempuan. Namun pengondisian ini mengabaikan solusi-solusi lain seperti peningkatan kesadaran pada laki-laki mengenai consent atau perbaikan infrastruktur yang mendukung keamanan.

Hal yang sama juga terjadi pada kondisi kesehatan. Misalnya, bagaimana perempuan dikondisikan untuk melakukan atau tidak melakukan hal-hal tertentu untuk melindungi bayi dalam kandungan atau bayi yang baru lahir. Ada tekanan agar perempuan memastikan agar bayi dalam kandungan tidak stres, atau agar air susu ibu (ASI) selalu tersedia, atau seperti dalam contoh di atas, selalu cerdas dalam memberikan obat bagi bayi dan balita.

Berhenti menyalahkan perempuan

Pesan-pesan yang melimpahkan tanggung jawab pada perempuan ini kemudian membentuk masyarakat yang cenderung menyalahkan perempuan dan ibu jika terjadi sesuatu pada kesehatan, seperti kehamilan atau pada anak.

Hal ini tidak saja membebani kondisi mental perempuan, tapi juga kecenderungan luputnya penanganan persoalan tersebut secara lebih sistematis.

Saat Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan perusahaan farmasi sedang sibuk saling melempar kesalahan, perempuan dibebani tanggung jawab mencari solusi untuk menyelamatkan anaknya.

Persoalan komunikasi yang tampak remeh ini, bukan saja persoalan mengemas pesan yang lebih empatik, tapi juga berdampak pada pola pikir masyarakat dan pengambil keputusan yang enggan mengurai permasalahan untuk mencari solusi yang lebih sistemik.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now