Menu Close

Kasus COVID-19 tembus 1 juta, penderita makin sulit akses rumah sakit: pemerintah harus kelola call center terpusat

Sejumlah tenaga kesehatan berjalan menuju ruang perawatan pasien COVID-19 di Rumah Sakit Darurat (RSD) COVID-19, Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, 26 Januari 2021. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj

Pada akhir Januari 2021, jumlah kasus terkonfirmasi COVID-19 di Indonesia menembus angka satu juta kasus dengan jumlah penderita yang masih sakit (kasus aktif) sekitar 160 ribu orang. Ini merupakan kasus aktif terbesar sepanjang terjadinya pandemi COVID-19 di Indonesia dan trennya masih terus bertambah.

Besarnya jumlah kasus aktif membuat ketersediaan tempat tidur rumah sakit di berbagai daerah mulai habis.

Sejak 17 Januari tercatat tiga provinsi telah masuk kategori Zona Merah karena angka keterisian tempat tidur (BOR) perawatan pasien COVID-19 telah lebih dari 80% yaitu Banten, DKI Jakarta dan Yogyakarta.

Selain itu, ada 11 provinsi yang masuk kategori Zona Kuning (BOR 60-80%) yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara.

Sulit dan berkurangnya akses para penderita COVID-19 ke fasilitas kesehatan telah berpengaruh terhadap lonjakan angka kematian, bahkan membuat beberapa kali rekor tertinggi angka kematian pecah pada Januari.

Keadaan ini merupakan dampak dari lambatnya respons pemerintah dan minimnya akses informasi ketersediaan layanan kesehatan. Salah satu solusinya, pemerintah perlu segera memperkuat strategi sentralisasi pusat komando untuk sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT).

Akibat respons yang lambat

Untuk meningkatkan daya tampung rumah sakit, Kementerian Kesehatan mengeluarkan kebijakan agar rumah sakit segera menambah alokasi tempat tidur untuk pasien COVID-19. Dari sebelumnya sebesar 20% menjadi minimal 30-40% dari total tempat tidur rumah sakit.

Respons ini cukup terlambat, mengingat akan terjadinya lonjakan kebutuhan ruang perawatan bagi pasien COVID-19 sebenarnya telah diprediksi jauh hari sebelumnya.

Upaya untuk menambah jumlah tempat tidur bagi pasien COVID-19 juga bukan persoalan mudah dan bisa dilakukan dengan cepat. Perlu standar khusus mulai dari bangunan, peralatan, sumber daya manusia hingga anggaran yang besar untuk menyiapkannya.

Bandingkan dengan kecepatan dan keseriusan yang ditunjukkan oleh Cina. Belajar dari pengalaman gelombang pertama, menghadapi gelombang kedua, ketika kasus aktif mereka baru mencapai 645 kasus, pemerintah Provinsi Hebei segera membangun sebuah rumah sakit untuk pasien COVID-19 dengan kapasitas 3.000 tempat tidur.

Akses informasi terlupakan

Selain terlambat, upaya yang dilakukan oleh pemerintah dengan menambah kapasitas rumah sakit melalui re-alokasi fungsi ruangan, menambah pasokan tenaga dengan melonggarkan surat tanda registrasi atau surat praktik tenaga kesehatan hingga kebijakan menggratiskan biaya pengobatan belum cukup untuk dapat meningkatkan akses para penderita ke fasilitas kesehatan.

Dalam sistem pelayanan kesehatan, akses layanan kesehatan terdiri atas tiga komponen utama yang harus diperhatikan.

Pertama, akses fisik, yakni menyangkut ketersediaan fisik sarana pelayanan kesehatan meliputi ketersediaan ruangan, peralatan hingga sumber daya manusia kesehatan yang melayani.

Komponen kedua, akses finansial, yang berarti negara harus menjamin bahwa tidak ada warga negara yang tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan akibat kendala biaya.

Selanjutnya komponen ketiga, akses informasi, meliputi ketersediaan informasi yang akurat dan mudah diakses seperti informasi ketersediaan layanan, lokasi, harga hingga kualitas pelayanan kesehatan.

Dalam strategi yang dibangun pemerintah saat ini, komponen ketiga ini yang masih terlupakan. Akibatnya banyak pasien COVID-19 maupun pasien non-COVID-19 merasa sangat sulit untuk mengakses layanan kesehatan. Bahkan dalam beberapa kasus masyarakat harus mencari sendiri ketersediaan tempat tidur dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain dan akhirnya ada yang meninggal.

Berlakukan sentralisasi pusat komando

Dari segi aturan, sebenarnya kita telah memiliki sebuah instrumen kebijakan untuk mengatasi permasalahan ini yakni Peraturan Menteri Kesehatan No. 19 Tahun 2016 tentang sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT).

Kebijakan ini mengatur mekanisme pelayanan korban/pasien gawat darurat yang terintegrasi dan berbasis call center dengan menggunakan kode akses telekomunikasi 119 yang dibentuk di level pusat, provinsi hingga kabupaten/kota.

Potensinya ada, karena call center 119 saat ini telah ada di beberapa kabupaten/kota namun belum sepenuhnya berfungsi efektif. Pada tingkat pusat, selama pandemi Covid-19 fungsi call center milik Kementerian Kesehatan juga mulai dikembangkan untuk menangani kasus covid-19 melalui nomor telepon 119 ext 9.

Namun karena belum terintegrasinya sistem dan data dengan berbagai rumah sakit baik itu rumah sakit milik kementerian, provinsi, kabupaten kota dan swasta, maka call center ini belum bisa menjadi sebuah pusat sentralisasi komando yang efektif.

Efisiensi dan Efektifitas pengembangan sistem sentralisasi pusat komando dalam mengatur alur lalu lintas masyarakat ke fasilitas kesehatan telah dibuktikan oleh Johns Hopkins Hospital di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat.

Dengan adanya sentralisasi pusat komando, mereka dapat meningkatkan kecepatan menjangkau pasien yakni 63 menit lebih cepat, mengurangi waktu penundaan operasi akibat ketidaksiapan sebanyak 70% dan membuat pasien gawat darurat 30% lebih cepat mendapatkan tempat tidur perawatan di rumah sakit.

Sama halnya di Kota Pune India, sentralisasi manajemen tempat tidur rumah sakit yang diterapkan telah berhasil meningkatkan akses informasi masyarakat. Kebijakan ini juga membantu para penderita Covid-19 untuk memilih rumah sakit yang dapat mereka akses baik di rumah sakit pemerintah maupun swasta.

Perlu penataan kembali

Dalam konteks pandemi dan mulai kewalahannya fasilitas kesehatan di beberapa daerah menghadapi lonjakan, pemerintah perlu memperkuat strategi sentralisasi pusat komando, yang sedikitnya memiliki lima keuntungan.

Pertama, kapasitas daya tampung sistem kesehatan akan semakin besar dan distribusi beban akan lebih merata. Contoh kasus yang dilakukan di Amerika Serikat, di daerah Minnesota, eastern North Dakota, dan Western Wisconsin bergabung ke dalam pusat komando bersama untuk memperbesar dan memudahkan akses para penderita COVID-19 ke pelayanan ICU.

Kedua, mempermudah sistem koordinasi antar-rumah sakit untuk melakukan rujukan baik secara vertikal dan horizontal. Ketika suatu rumah sakit memiliki keterbatasan peralatan atau pelayanan tertentu, maka rumah sakit akan lebih mudah mencari dan berkoordinasi dengan rumah sakit lain yang bisa membantu untuk melakukan pemeriksaan hingga merawat pasien.

Ketiga, dengan adanya proses pemilahan awal yang telah dilakukan oleh sistem pre-hospital ini, maka nantinya hanya pasien yang benar-benar memerlukan layanan kesehatan saja yang akan diarahkan dan mendapat tempat di rumah sakit.

Keempat, pasien akan menjadi lebih mudah untuk menghubungi dan mendapatkan informasi mengenai jenis hingga lokasi layanan kesehatan yang mereka butuhkan tanpa harus menghubungi satu persatu rumah sakit.

Terakhir, dengan adanya sentralisasi pusat komando maka kegiatan analisis untuk prediksi dan perencanaan dan pemantauan kebutuhan ruangan, peralatan, obat-obatan hingga sumber daya manusia kesehatan akan lebih cepat dan mudah dilakukan karena tersedianya big data yang saling terintegrasi.

Jika hal itu dilakukan, maka akan meningkatkan akses layanan kesehatan darurat bagi penderita COVID-19 dan dengan demikian harapannya lebih banyak pasien yang bisa diselamatkan nyawanya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now