Menu Close

Kasus COVID kembali naik karena subvarian Omicron, riset tunjukkan sampel tes PCR bisa dari air liur

Siswa di sekolah dasar Jakarta Utara mengambil sampel untuk tes PCR dari air liur. Author provided

Tren penurunan kasus COVID-19 di Indonesia sejak Maret lalu – setelah mencapai puncak pada pertengahan Februari – ternyata tak berlangsung lama. Kini, subvarian dari Omicron, BA.4 dan BA.5, menjadi ancaman baru di negeri ini.

Kurang dari dua bulan terakhir, kasus COVID melonjak berlipat-lipat dari sekitar 360 kasus pada 1 Juni ke 4.500 kasus per 17 Juli. Di tengah lonjakan kasus itu, penerapan protokol kesehatan semakin penting guna menjaga keamanan diri dan orang di sekitar. Salah satu cara untuk mengontrol penyebaran infeksi COVID-19 adalah dengan pemeriksaan SARS-CoV-2 secara situasional.

Standar baku pemeriksaan COVID-19 yang paling banyak digunakan adalah tes PCR dengan menggunakan spesimen yang diambil dari usap rongga hidung dan mulut (swab NPOP). Namun, proses pengambilan spesimen swab ini seringkali menyebabkan ketidaknyamanan dan dapat menimbulkan trauma.

Sebagai alternatif, riset terbaru kami menunjukkan bahwa sampel untuk pemeriksaan tes PCR dapat diambil dengan mengumpulkan air liur atau saliva secara mandiri. Selain proses yang lebih mudah dan nyaman untuk orang dewasa, metode tersebut lebih ramah untuk anak-anak, setidaknya bagi siswa SD di Jakarta Utara yang telah merasakan penerapan dari riset ini.

Selain itu, ada beberapa kelebihan pengambilan sampel air liur dibanding dari rongga hidung dan mulut.

Uji coba di SD

Pemerintah sudah mengizinkan para karyawan untuk bekerja di kantor dan menerapkan sistem pembelajaran tatap muka (PTM) untuk sektor pendidikan.

Kebijakan tersebut menimbulkan risiko pembentukan klaster COVID-19 di kantor dan sekolah. Salah satu solusinya adalah melakukan pemeriksaan rutin via laboratorium dengan spesimen saliva yang dikumpulkan secara mandiri.

Hal tersebut sudah kami implementasikan di beberapa sekolah dasar di Jakarta Utara setelah kurang lebih lima bulan sejak dimulainya PTM terbatas akhir Agustus 2021. Kami meminta para siswa untuk mengumpulkan saliva secara mandiri dalam tabung yang disediakan. Kemudian, spesimen dikirimkan ke laboratorium dan diperiksa menggunakan PCR.

Kami berhasil mengumpulkan 588 spesimen saliva pada Desember 2021. Dari sampel itu, ditemukan satu kasus positif infeksi SARS-CoV-2 artinya memiliki 0.2% positivity rate. Sampel berikutnya kami ambil di salah satu sekolah pada pertengahan Februari 2022. Tim kami menemukan tiga kasus dari 77 spesimen yang dikumpulkan (4% positivity rate) dan sampel pada awal Maret 2022 ditemukan dua kasus dari 98 spesimen (2% positivity rate).

Selama pengumpulan spesimen, siswa-siswa SD menyatakan tidak mengalami kesulitan maupun ketidaknyamanan. Ketika ditemukan kasus positif, para tenaga pendidik diminta segera melacak keluarga dan suspek kontak erat.

Hal tersebut sebagai pencegahan terbentuknya klaster COVID-19. Pemeriksaan rutin dengan spesimen saliva yang kami lakukan juga mendapatkan umpan balik yang sangat baik dari para tenaga pendidik maupun orang tua siswa.

Kelebihan spesimen saliva dibanding swab rongga hidung

Pengambilan spesimen pemeriksaan COVID-19 berbasis PCR umumnya memerlukan tenaga kesehatan profesional untuk memasukkan batang swab ke dalam saluran pernapasan. Selain rasa tidak nyaman, kegiatan pengambilan spesimen tersebut juga meningkatkan risiko penularan kepada tenaga kesehatan.

Oleh sebab itu, spesimen saliva yang dapat dikumpulkan secara mandiri menjadi alternatif yang lebih nyaman dan mengurangi risiko transmisi.

Riset kami berhasil membuktikan bahwa saliva yang diproses dengan metode direct PCR, dikerjakan langsung menggunakan spesimen, berjalan lebih cepat karena diproses tanpa melalui tahap ekstraksi materi genetik virus.

Berdasarkan penelitian kami, pemeriksaan COVID-19 berbasis PCR dengan spesimen saliva memiliki persentase kesesuaian hasil sebesar 97% dibandingkan swab rongga hidung dan mulut.

Secara klinis, Badan Obat-obatan dan Makanan (FDA) Amerika Serikat menyetujui penggunaan spesimen saliva sebagai alternatif.

Dengan demikian, selain untuk pemeriksaan rutin dan kebutuhan para pelaku perjalanan jarak jauh, metode tersebut juga dapat diaplikasikan di rumah sakit.

Kelebihan untuk laboratorium

Selain memberikan kemudahan untuk para pasien dan tenaga kesehatan, saliva yang diproses menggunakan metode direct PCR dapat menghemat biaya dan waktu sesuai dengan pengembangan yang dilakukan oleh tim kami.

Cukup dengan memanaskan saliva pada suhu 95°C selama 10 menit sebagai proses inaktivasi virus, spesimen siap diproses pada tahapan PCR. Dengan demikian, pemeriksaan dapat diselesaikan dalam rentang waktu 1-2 jam saja.

Selain itu, diperkirakan metode tersebut dapat menghemat sepertiga dari keseluruhan biaya pemeriksaan dikarenakan tidak memerlukan reagen ekstraksi untuk mendapatkan materi genetik virus.

Kelebihan di layanan kesehatan

Sebagian besar laboratorium pemeriksaan COVID-19 yang terafiliasi dengan Kementerian Kesehatan terpusat di kota besar. Hal tersebut dapat diatasi dengan mengirimkan spesimen dari daerah pelosok ke pusat kota untuk diproses.

Spesimen saliva cukup stabil hingga lima hari dalam kondisi suhu ruang untuk pemeriksaan SARS-CoV-2. Namun, spesimen swab rongga hidung dan mulut yang disimpan dalam alat khusus, viral transport medium (VTM), harus selalu dijaga dalam suhu rendah, sehingga proses transportasi spesimen harus sangat diperhatikan.

Dengan demikian, spesimen saliva dapat dibawa dari seluruh daerah Indonesia ke kota-kota besar tanpa kebutuhan suhu tertentu. Hal ini bisa menunjang pemerataan kapasitas pemeriksaan COVID-19 yang selama ini timpang antara kota besar dan kota kecil, Jawa dan luar Jawa.

Sebagai penutup, riset ini menunjukkan bahwa saliva dapat digunakan untuk pemeriksaan COVID-19 berbasis PCR karena pengumpulan spesimen ini telah terbukti mudah untuk dilakukan, meminimalkan rasa tidak nyaman, baik pada orang dewasa, anak-anak maupun pasien dengan penyakit saluran pernapasan atas.

Kami berharap pemeriksaan rutin dengan metode PCR saliva dapat diterapkan secara merata di seluruh wilayah Indonesia untuk mengontrol lonjakan kasus positif yang terjadi dalam dua bulan terakhir.


Sheila Jonnatan, sarjana bioteknologi dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; Tria A. Widowati, sarjana biologi dari Universitas Indonesia; dan Helen Kristin, sarjana biologi dari Universitas Sebelas Maret; terlibat dalam penelitian ini dan berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now