Menu Close

Kenali jenis-jenis misinformasi Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) ketika pemilu

Misinformasi tidak hanya berpotensi merugikan ODGJ tapi juga merusak integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap pemilu. Black Salmon/shutterstock.

Menjelang Pemilu, masyarakat kerap menjumpai beragam misinformasi di media sosial, salah satunya isu tentang keterlibatan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dalam pemilu secara tidak sah. Bentuk misinformasi seperti ini tidak hanya berpotensi merugikan ODGJ secara langsung, namun juga merusak integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap Pemilu.

Jumlah penderita kesehatan jiwa di Indonesia sendiri cukup banyak. Saat ini prevalensi atau angka kejadian orang dengan gangguan jiwa di Indonesia adalah 1 dari 5 penduduk. Artinya, sekitar 20% populasi di Indonesia mempunyai potensi masalah gangguan jiwa.

Hoaks terkait ODGJ pernah terjadi menjelang Pemilu presiden 2019 lalu. Ketika itu, muncul kabar hoaks berbentuk foto yang menggambarkan proses pembuatan e-KTP sekelompok individu, di WhatsApp (WA). Narasi yang menyertainya mengungkapkan kekhawatiran mengenai praktik-praktik tidak etis untuk meraih suara, khususnya penerbitan kartu identitas bagi individu yang memiliki masalah kesehatan mental. Peristiwa ini diklaim terjadi di Bekasi, Jawa Barat.

Proses perekaman e-KTP merupakan bagian dari pelayanan administrasi kependudukan, termasuk untuk ODGJ. Yudi Angga Kristanu/shutterstock.

Klaim pembuatan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) yang tidak wajar, menunjukkan kekhawatiran adanya praktik tidak etis untuk mendapatkan pengaruh, kendali, atau kekuasaan politik. Situasi ini berpotensi mendorong beredarnya spekulasi dari masyarakat terkait manipulasi suara untuk kandidat tertentu sehingga menciptakan keresahan.

Pasalnya, walaupun kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) sudah mengklarifikasi bahwa proses perekaman e-KTP, termasuk bagi ODGJ, merupakan bagian dari pelayanan administrasi kependudukan yang wajar dan penting, juga penegasan dari pihak KPU bahwa mereka tidak mendata warga yang dinyatakan gila sebagai bagian dari daftar pemilih, isu bahwa orang gila juga didata untuk memilih sudah terlanjur berkembang.

Jadi, apa saja misinformasi terkait ODGJ yang berkembang di masa Pemilu?

ODGJ tidak mampu membuat keputusan

Hoaks yang sering muncul tentang ODGJ biasanya berkaitan dengan kemampuan mereka dalam membuat keputusan yang rasional. Terdapat anggapan bahwa ODGJ tidak mampu memahami proses pemilu atau mudah dipengaruhi. Mereka dianggap tidak memiliki kemampuan untuk berkarya, bersosialisasi, atau menentukan calon mana yang cocok menjadi pemimpin.

Hoaks ini menyebar melalui media sosial, percakapan sehari-hari, dan kadang-kadang, melalui kampanye politik yang tidak bertanggung jawab. Hoaks ini dapat mempengaruhi masyarakat umum yang tidak memiliki informasi yang cukup tentang ODGJ, serta ODGJ itu sendiri yang mungkin merasa terstigmatisasi oleh misinformasi yang tersebar.

Jenis misinformasi di atas juga berkaitan dengan keyakinan bahwa ODGJ tidak memiliki kemampuan untuk membuat pilihan yang tepat. Kesalahpahaman ini dapat berakibat pada tersingkirnya mereka dari proses demokrasi, dan hilangnya hak dasar mereka untuk ikut serta dalam sistem pemilu.

Warga mengamati baliho pasangan capres - cawapres RI Pemilu 2024 di Wonosobo, Jawa Tengah, Kamis (11/1/2024). Misinformasi tentang ODGJ dapat menyebabkan mereka kehilangan hak pilihnya. FOTO ANTARA/Anis Efizudi/tom.

Padahal, sebuah penelitian tahun 2020 yang terbit di jurnal BMC Psychiatry, menunjukkan bahwa pasien psikiatri yang stabil memiliki kapasitas yang sama dengan pasien nonpsikiatri dalam membuat keputusan terkait perawatan kesehatan.

Selain itu Health Science Report juga melaporkan bahwa individu dengan skizofrenia dan gangguan bipolar terbukti memiliki kompetensi yang sama dengan individu nonpsikiatri dalam mengambil keputusan tentang pengobatan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Skizofrenia yang bisa dikategorikan sebagai ODGJ berat dianggap masih bisa pulih dan stabil. Penderita seperti ini tetap mampu berpikir, memahami situasi, menentukan pilihan dan bersikap dengan baik.

Kedua hasil penelitian tersebut mendukung gagasan bahwa individu dengan gangguan mental memiliki kapasitas untuk membuat keputusan yang tepat. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk memusatkan upaya kita dalam memberikan bantuan yang diperlukan agar mereka dapat menggunakan hak dasar mereka untuk memilih. Terlebih, hak pilih ODGJ pada dasarnya dijamin dalam UUD 1945, UU Hak Asasi Manusia, dan UU Pengesahan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas.

Memang ada beberapa ODGJ yang tidak diperbolehkan memilih dalam Pemilu yaitu ODGJ yang sedang mengalami halusinasi dan delusi yang kuat sehingga tidak dapat membedakan kenyataan. Biasanya kondisi ini membuat ODGJ kesulitan berpikir, dan harus disertai juga dengan surat keterangan dari Dokter Spesialis Kejiwaan (Psikiater).

Situs resmi Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menyebutkan, seseorang boleh dicoret dari daftar peserta Pemilu jika dibekali surat keterangan dari profesional bahwa, orang tersebut menderita gangguan jiwa permanen.

Artinya, selama ODGJ dalam kondisi stabil dan cukup baik, maka individu tersebut masih boleh memilih secara langsung sesuai ketentuan yang berlaku. Surat dari psikiater juga tidak diperlukan, karena surat keterangan dari psikiater hanya untuk menegaskan bahwa yang bersangkutan tak bisa memilih karena kondisinya.

ODGJ rentan melakukan penyerangan

ODGJ merupakan kelompok yang sering mendapat stigma dan diskriminasi. Stigma ini menimbulkan kekerasan dan ketakutan, yang bahkan bisa berdampak pada keluarga penderita.

Contoh dari misinformasi ini adalah maraknya isu penyerangan terhadap kaum ulama, yang menyudutkan ODGJ sebagai pelaku penyerangan tersebut.

Kasatgas Nusantara, yaitu satuan tugas yang dibentuk oleh Polri untuk mencegah terjadinya polarisasi hingga pemberantasan hoaks pada Pemilu 2024, Gatot Eddy Pramono, mengatakan prihatin dengan adanya pemberitaan maupun isu yang menyudutkan ODGJ sebagai pelaku penyerangan terhadap kiai maupun pesantren.

Apa dampaknya?

Isu-isu yang menyudutkan ODGJ sering kali menjadi bahan bakar untuk penyebaran hoaks. Masyarakat yang tidak kritis terhadap informasi dapat lebih mudah terpengaruh oleh narasi negatif, sehingga memperkuat persepsi buruk terhadap ODGJ. Situasi ini dapat menciptakan perpecahan sosial antara ODGJ dan masyarakat umum.

Selain berdampak pada masyarakat umum yang tidak memahami fakta-fakta terkait ODGJ, ODGJ sendiri juga mungkin menginternalisasi misinformasi tersebut, yang membuat kesehatan mental mereka justru semakin buruk. Misinformasi tentang ODGJ tidak hanya menghambat masyarakat untuk memberikan kesempatan kedua kepada mereka agar dapat hidup harmonis dan produktif, tapi juga membatasi hak-hak mereka, termasuk hak untuk memilih dalam pemilu.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now