Umumnya ketika mendengar kata kepemimpinan (leadership), makna yang terbangun selalu positif dan konstruktif. Sebagai salah satu subjek yang sering dikaji oleh peneliti, istilah kepemimpinan memiliki lebih dari 800 definisi.
Namun, ketika disimpulkan, definisi-definisi ini mengerucut pada bagaimana seorang pemimpin memberikan pengaruh pada anak buah atau pengikutnya dan menginspirasi mereka menuju perubahan ke arah yang lebih baik. Meski demikian, di balik citra positif tersebut, banyak yang tidak menyadari ada sisi gelap dalam kepemimpinan.
Para ilmuwan kritis dalam bidang organisasi dan kepemimpinan telah meneliti bagaimana kepemimpinan dapat dilakukan dengan proses yang tercela, memicu luka secara psikologis bahkan fisiologis pada anak buah yang dipimpinnya. Ini menimbulkan dampak berantai berupa lingkungan kerja yang toksik, bahkan kehancuran organisasi yang dipimpinnya.
Read more: Lessons from Donald Trump: Does a toxic CEO ever truly leave?
Anak buah atau pekerja perlu menyadari jika dirinya berada di bawah kepemimpinan toksik, sehingga bisa menerapkan strategi untuk tetap produktif, menjaga kesehatan mental dan mengambil keputusan terbaik untuk dirinya.
Definisi kepemimpinan toksik
Kepemimpinan toksik (toxic leadership) adalah serangkaian tindakan pemimpin, yang disengaja maupun tidak, yang merusak dan mengecilkan semangat para pengikut-anak buah atau karyawan-yang sungguh-sungguh ingin melaksanakan visi, misi, dan tujuan organisasi.
Pemimpin semacam itu cenderung mementingkan diri sendiri dan menempatkan keuntungan pribadi atau kelompoknya di atas kebutuhan organisasi maupun anak buahnya. Kondisi ini dapat menciptakan kondisi demoralisasi anggota organisasi dan merusak organisasi dari dalam.
Pemimpin yang bersifat toksik dapat timbul dari berbagai alasan, seperti keterbatasan kualitas sumber daya, rendahnya tingkat pendidikan, dan adanya tiga kepribadian gelap dalam diri pemimpin, yaitu narsisisme, psikopati, dan Machiavelianisme yang didefinisikan sebagai suatu ciri kepribadian yang ditandai oleh kelicikan, manipulasi, dan penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan politis seseorang.
Pengalaman masa lalu yang penuh dengan perlakuan kasar, bersama dengan adanya nilai-nilai budaya dan lingkungan kerja feodal yang memupuk subur perilaku toksik, juga bisa menjadi faktor penyebabnya.
Misalnya saja, dalam konteks budaya birokrasi di Indonesia yang mendukung jurang kuasa antara atasan dan bawahan, pemimpin toksik dapat tumbuh dengan subur jika tidak ada yang berani mempertanyakannya.
Ciri-ciri pemimpin toksik
Para peneliti menyimpulkan ada kesamaan karakteristik pada kepemimpinan yang toksik. Mereka cenderung intimidatif, manipulatif (Machiavellianisme), kerap melakukan perundungan (bullying), menuntut pekerjaan dilakukan dengan caranya (micromanaging), arogan dan narsis, serta sering melakukan perbuatan yang tidak etis dan kasar (abusive) terhadap anak buah yang dipimpinnya.
Perlu digarisbawahi bahwa pemimpin yang toksik tidak sama dengan pemimpin yang tegas. Pemimpin toksik sering menggunakan kekuasaannya untuk memanipulasi, menyakiti, bahkan memutarbalikkan fakta demi kepentingannya sendiri. Ia juga memiliki kecenderungan bersifat otoriter dan menuntut kepatuhan anak buahnya secara mutlak.
Sebagai contoh, pemimpin toksik cenderung menuntut anak buahnya untuk mengikuti perintahnya tanpa memberikan ruang untuk bertanya atau menyanggah. Jika anak buah atau pengikutnya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya, pemimpin toksik tidak segan mempermalukan mereka di depan umum.
Sifat narsis dan mengagungkan diri sendiri sering membutakan pemimpin toksik dari dampak buruk dari perbuatannya kepada anggota organisasi. Alih-alih berefleksi diri, seorang pemimpin yang toksik akan selalu menyalahkan kolega, anak buah, atasan atau sistem atas kegagalannya dalam memimpin organisasi tersebut.
Penelitian menunjukkan bahwa banyak dampak negatif dari sebuah kepemimpinan toksik, di antaranya adalah menurunnya semangat kerja anak buah, menimbulkan stres anggota organisasi, menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat dan penuh persaingan beracun, tingginya perputaran pegawai dan pengunduran diri, serta hancurnya organisasi.
Menghadapi pemimpin toksik
Berada di bawah kepemimpinan toksik menjadikan anak buah sering merasa tidak berdaya, terutama jika ada ketimpangan kuasa yang tinggi, misalnya perbedaan gender, usia, abilitas/disabilitas, dan kelas sosial. Sebab, pemimpin toksik cenderung bersifat menekan, sehingga anak buah sering tidak berani mengungkapkan pengalamannya kepada kolega mereka karena takut dianggap membantah atasan, menjadi bahan gosip, dan justru semakin menjadi bulan-bulanan pemimpin yang toksik.
Terlebih lagi, pemimpin toksik biasanya mengelilingi dirinya dengan anak buah yang memiliki karakter serupa atau mereka yang mendukung tindakan-tindakannya tanpa mempertanyakan sisi etis dari perbuatannya.
Oleh karena itu, jika kita berada dalam posisi tidak beruntung karena bekerja di bawah kepemimpinan toksik, para ahli menyarankan beberapa strategi untuk menjaga kewarasan kita:
Pertama, berikan batasan profesional yang jelas. Karena pemimpin yang toksik sering meminta kepatuhan tanpa batas, belajarlah berkata tidak jika diperintahkan untuk melakukan hal-hal yang tidak etis atau di luar nalar. Catatlah jika ada kejadian-kejadian yang tidak wajar dan selalu cek kebijakan organisasi terkait.
Kedua, fokuskan diri pada pengembangan diri dan profesional. Pemimpin toksik cenderung mengintimidasi mereka yang dianggap lemah atau kurang berketerampilan. Kompetensi dan keterampilan tinggi akan membuat kita menjadi percaya diri dan tidak mudah termanipulasi.
Ketiga, carilah dukungan yang luas. Pastikan kamu tidak berjuang sendirian dengan menghubungi rekan kerja, mentor, dan memperluas jaringan sosialmu. Jaringan yang luas akan memberikan dukungan penting, terutama jika kamu perlu merancang rencana keluar (exit plan) ketika hubungan dengan pemimpin toksik semakin sulit untuk diperbaiki.
Keempat, apabila memungkinkan, putuskan rantai perilaku toksik di lingkungan kerjamu. Carilah alternatif pekerjaan yang menawarkan lingkungan yang lebih sehat dan memberikan peluang bagi perkembangan pribadi dan profesional dirimu.
Terakhir, kehadiran pemimpin toksik harusnya menjadi evaluasi bagi organisasi maupun masyarakat di mana kita berada.
Sudahkah kita memberikan evaluasi terhadap standar kepemimpinan yang baik, yang selama ini selalu identik dengan maskulinitas dan senioritas yang menjadi ladang subur bagi munculnya pemimpin toksik? Sudahkah organisasi memberikan peluang terhadap keberagaman dan inklusivitas yang berdampak pada diterimanya berbagai macam gaya kepemimpinan?
Secara keseluruhan, pemimpin toksik cenderung memanfaatkan posisi kepemimpinannya untuk menyembunyikan kelemahan dan keterbatasan kemampuan memimpinnya. Penting untuk tidak terjebak dalam manipulasi yang dilakukan oleh pemimpin toksik ini.
Mengingat kita menghabiskan sebagian besar waktu di tempat kerja, sangatlah krusial untuk tidak membiarkan hal negatif di lingkungan kerja memengaruhi kualitas hidup dan kesejahteraan mental kita.