Menu Close

Ketimpangan gender di Jepang: bagaimana patriarki menghambat pertumbuhan ekonomi

Pemandangan jalanan di Tokyo. Siriwat Sriphojaroen/Shutterstock

Perekonomian Jepang tengah berada di bawah tekanan, disebabkan mulai dari kenaikan harga energi dan biaya pertahanan sampai dampak pandemi. Menurunnya tingkat kelahiran dan populasi yang menua semakin mengancam keberlanjutan pasar tenaga kerjanya. Sebuah studi tahun 2023 oleh think-tank independen, Recruit Works Institute, memprediksi bahwa Jepang akan kekurangan pasokan tenaga kerja sebesar 3,41 juta orang pada tahun 2030, dan lebih dari 11 juta pada tahun 2040.

Ketidaksetaraan gender menjadi tekanan paling signifikan.

Penelitian menunjukkan bahwa masyarakat dan tenaga kerja yang inklusif gender akan mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun, Jepang ternyata menunjukkan tingkat kesetaraan gender terendah di antara negara-negara G7.

Berdasarkan Global Gender Report terbaru oleh Forum Kesehatan Ekonomi Dunia, peringkat kesetaraan gender Jepang merosot menjadi salah satu yang terendah, terutama terkait perempuan dalam posisi kepemimpinan.

Perdana Menteri Fumio Kishida baru-baru ini menyatakan bahwa Jepang perlu segera menaikkan angka kelahiran. Ia pun berjanji untuk meningkatkan persentase perempuan di sektor eksekutif perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa saham Tokyo, dari 11,4% menjadi 30% atau lebih, pada tahun 2030. Rancangan kebijakan yang dirilis pada bulan Juni menunjukkan bahwa hal ini akan dicapai melalui kuota kepemimpinan yang diberlakukan secara legal pada perusahaan yang terdaftar.

A woman office worker in an office setting.
Perempuan menghadapi diskriminasi dan kebijakan yang membatasi ruang gerak mereka di tempat kerja. Gbbot/Shutterstock

Jepang telah berkali-kali mencoba menerapkan kebijakan yang mendorong kesetaraan gender, tetapi hampir selalu gagal. Seperti yang ditunjukkan oleh penelitian saya, hal ini karena adanya norma gender yang tertanam kuat dalam masyarakat Jepang.

Sosialisasi norma gender

Norma gender dalam masyarakat Jepang terkait erat dengan hierarki patriarki yang secara historis berevolusi dari pengaruh Konfusianisme. Laki-laki dianggap berperan sebagai pencari nafkah dan kepala keluarga. Sebaliknya, perempuan dipandang sebagai istri dan pengasuh, yang harus tunduk pada kepala keluarga.

Anak-anak diajari norma-norma ini sejak usia dini. Penelitian menunjukkan bahwa guru pada tingkat prasekolah (setingkat TK) di Jepang memosisikan anak-anak dalam berbagai peran gender, salah satunya dengan mendorong cara bicara dan perilaku yang menurut mereka ‘sesuai gender’.

Anak perempuan diajarkan berbicara dengan lembut dan bertindak dengan cara yang lucu dan tidak boleh mengancam. Sebaliknya, anak laki-laki diajarkan menggunakan bahasa dan perilaku yang lebih dominan. Buku anak-anak dan program TV berkontribusi melanggengkan pola dan perilaku linguistik hierarkis seperti ini.

Keyakinan dan nilai-nilai ini memengaruhi praktik perekrutan dan perilaku organisasi di tempat kerja di Jepang–menerapkan pola “pencari nafkah adalah laki-laki dan perempuan bergantung pada laki-laki”.

Preschool children on a day trip.
Anak-anak diajarkan peran dan perilaku berbasis gender sejak usia dini. Sally B/Shutterstock

Dari tahun 1945 hingga 1991, periode yang oleh para ekonom disebut sebagai tahun keajaiban ekonomi, sebagian besar perempuan Jepang diisolasi dari jalur karier kepemimpinan. Hal ini mengakibatkan rendahnya pelibatan perempuan Jepang dalam posisi pengambilan keputusan utama.

Saat ini, kepemimpinan masih dipandang sebagai lingkungan yang didominasi laki-laki, bahkan ketika membahas tentang isu pemberdayaan perempuan. Jepang adalah satu-satunya negara yang mengirim delegasi laki-laki ke pertemuan G7 baru-baru ini yang mendiskusikan tentang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.

Mendapatkan promosi untuk posisi dengan gaji lebih tinggi bergantung pada jam kerja yang panjang dan komitmen terhadap perusahaan, apa pun jenis kelaminnya. Oleh karena itu, norma gender menghasilkan beban ganda yang signifikan pada perempuan Jepang.

Meskipun memiliki aturan tentang cuti ayah yang paling ‘dermawan’ di dunia, hanya 14% laki-laki Jepang yang mengambil cuti ayah pada tahun 2021, dibandingkan dengan tingkat penyerapan cuti ayah di Swedia yang mencapai 90%. Laki-laki Jepang juga menghabiskan waktu paling sedikit untuk melakukan pekerjaan rumah–hanya sekitar 41 menit sehari–di antara 38 negara-negara menengah-maju yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD).

Tempat kerja dengan kesenjangan gender yang tinggi dan pembagian kerja rumah tangga yang tidak setara membuat perempuan lebih mudah kehilangan kesempatan untuk mendapat promosi daripada laki-laki, digaji rendah, dan/atau mempertimbangkan untuk hanya memiliki satu anak.

A woman hangs up washing in an indoor setting.
Pembagian tugas rumah tangga masih tidak setara. Kazoka/Shutterstock

Harapan kehidupan kerja tidak realistis. Dan di tempat kerja, perempuan menghadapi diskriminasi dan pelecehan, serta dipaksa memenuhi ekspektasi yang membatasi perilaku dan penampilan mereka.

Yoshiro Mori, misalnya, mengundurkan diri sebagai ketua panitia penyelenggara Olimpiade Tokyo pada 2021, setelah pernyataan seksis yang ia sampaikan dalam pertemuan Komite Olimpiade Jepang yang menghebohkan pemberitaan internasional. Mori dilaporkan mengatakan bahwa perempuan berbicara terlalu banyak, dan ketika “diizinkan” terlibat di pertemuan tingkat tinggi, mereka membuang terlalu banyak waktu.

Solusi yang gagal

Inisiatif pemerintah Jepang sebelumnya untuk menaikkan angka kelahiran dan meningkatkan kesetaraan gender lebih banyak dilakukan dengan membuka kuota untuk perempuan dalam posisi pimpinan dan dewan eksekutif, membuka lebih banyak tempat penitipan anak, dan memperpanjang periode cuti orang tua. Namun, ternyata langkah-langkah tersebut gagal mencapai target karena penerapannya cenderung tokenistik (setengah hati).

Berita buruk berikutnya, inisiatif-inisiatif terbaru justru memperburuk ketidaksetaraan gender dan menjerumuskan perempuan ke jurang kemiskinan.

Singapura baru-baru ini memulai misi serupa sebagai bagian dari tinjauan kesetaraan gender nasional. Pemerintah Singapura telah mengumpulkan ide dan umpan balik dari kelompok perempuan dan pemuda, organisasi swasta, akademisi, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas. Langkah tersebut menghasilkan daftar keinginan dan laporan kebijakan, yang temuannya akan diimplementasikan ke dalam kebijakan dan pendidikan.

Sports day in a Japanese primary school.
Menumbuhkan kesetaraan gender harus dimulai dari pendidikan dasar. Maruco/Shutterstock

Penelitian saya menunjukkan bahwa pendekatan serupa mungkin akan berhasil juga diterapkan di Jepang. Ini dapat memungkinkan orang untuk menyuarakan pendapat dan keinginan mereka dalam debat terbuka–-yang sejalan dengan preferensi budaya Jepang dalam pengambilan keputusan yang dicapai melalui konsensus-–daripada membuat kritik langsung terhadap tatanan patriarki.

Namun, cara tinjauan semacam itu perlu melihat semua tahapan kehidupan dan aspek masyarakat yang terlibat dalam sosialisasi peran gender, dan dampaknya, baik dari perspektif hak asasi manusia maupun ekonomi. Sudah terbukti bahwa ketidaksetaraan gender mengarah pada masalah kesehatan mental di Jepang, terutama bagi pasangan yang sudah bercerai dan ibu tunggal.

Review tersebut dapat membuka kesempatan bagi generasi muda untuk memberikan masukan. Penelitian menunjukkan bahwa banyak generasi muda Jepang yang kecewa dengan peran gender yang dianggap tradisional. Mereka mencari cara hidup baru dengan memilih karier di luar formasi kekuasaan dalam masyarakat Jepang. Mereka pun menolak institusi pernikahan.

Jepang memiliki kesempatan untuk mengatur ulang upaya kesetaraan gendernya, yang mencakup representasi gender dan keragaman lain yang sejauh ini belum diterima secara luas dalam masyarakat Jepang dan belum punya payung hukum yang komprehensif. Pernikahan sesama jenis masih inkonstitusional di beberapa wilayah prefektur.

Mengubah pola pikir masyarakat pada tingkat ini akan memakan waktu satu generasi. Diskusi harus dimulai sekarang.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now