Menu Close

Ketimpangan global harus turun demi menjaga keamanan iklim dan hidup yang layak - sebuah tantangan besar

Tangkapan cahaya di permukaan bumi dari luar angkasa. NASA/unsplash, CC BY-SA

Konsumsi energi penting bagi kesejahteraan manusia, tapi tingkat pemakaiannya di seluruh dunia amat timpang. Sekitar 10% pengguna teratas menggunakan energi 30 kali lipat lebih banyak dari 10% pengguna terbawah.

Konsumsi energi kita juga mendorong perubahan iklim. Karena itu, untuk menjaga iklim yang aman bagi kehidupan bumi, kita mungkin harus menggunakan lebih sedikit energi di masa depan. Upaya mencapai ini – sekaligus memastikan semua orang menikmati standar hidup yang layak – harus selaras dengan usaha menekan ketimpangan energi global.

Dalam studi terbaru, kami membuat pemodelan serendah apa ketimpangan energi seharusnya agar dapat menjaga kesejahteraan manusia dan keselamatan iklim. Kami menemukan bahwa jarak antara konsumsi energi terendah dan tertinggi dunia harus dikurangi hingga delapan kali lipat pada 2050.

Jika kesenjangan energi tidak dikurangi, lebih dari 4 miliar populasi Negara-negara “Selatan” (global south) dan lebih dari 100 juta orang di Negara-negara “Utara” (global north) tak akan dapat menikmati standar hidup layak pada 2050.

Selatan merujuk pada negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Sementara Utara merujuk pada negara-negara Barat uang yang dianggap “maju”. Kawasan ini juga termasuk negara-negara kaya di Asia seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura.

A map of the world split by geographic region.
Negara-negara Utara (biru) sebagian besar terdiri di dari negara-negara di utara garis khatulistiwa dan beberaoa di selatannya. Negara-negara Selatan (merah) melingkupi negara di selatan khatulistiwa dan sebagian di utaranya. Kingj123/Gendered Lives, CC BY-NC-ND

Rendah energi, standar layak

Kebanyakan skenario iklim untuk level aman pemanasan global tidak memasukkan asumsi bahwa konsumsi energi akan turun. Skenario-skenario ini justru mengandalkan teknologi emisi negatif seperti pembakaran biomassa dengan penangkapan karbon (carbon capture) atau penangkapan CO2 langsung dari udara (direct air capture).

Namun, teknologi-teknologi ini belum terbukti ampuh mengatasi permasalahan dan dapat bertabrakan dengan alam liar dan produksi pangan. Studi menemukan bahwa produksi bioenergi berskala besar dapat meningkatkan laju deforestasi dan harga pangan secara substansial.

Ilmuwan iklim merespons ini dengan menelusuri skenario-skenario pengurangan permintaan energi.

Salah satu yang paling menonjol adalah “skenario permintaan rendah”. Skenario ini menyarankan penggunaan energi dikurangi 40% pada 2050 melalui perubahan sistem energi. Beberapa di antaranya adalah efisiensi energi, pengurangan mobilitas, dan pemangkasan penggunaan material beremisi tinggi seperti baja. Dengan cara seperti ini, standar hidup dapat meningkat di Selatan dan terjaga di Utara.

Sebuah studi menakar “energi hidup layak” (decent living energy) berdasarkan teori-teori kebutuhan manusia. Ini merujuk pada kebutuhan energi minimal untuk mencukupi kondisi-kondisi material yang diperlukan untuk mendapatkan standar hidup layak.

Jumlah kebutuhan energi kemudian dihitung menggunakan data efisiensi teknologi yang telah ada. Sebuah studi pada 2020, di mana kami ikut serta menuliskannya, memperkirakan kebutuhan energi tiap orang untuk bisa hidup layak sebesar 15 gigajoules per tahun. Angka ini hanyalah 1/10 dari konsumsi energi tahunan orang Amerika Serikat (AS) dalam setahun.

A man driving a car at rush hour.
Energi hidup layak adalah tolak ukur jumlah energi minimum yang dibutuhkan untuk kesejahteraan manusia. ambrozinio/Shutterstock

Kabar baik yang menantang

Kami menggabungkan dua lini riset ini dengan data ketimpangan energi global untuk menelusuri isu-isu penting terkait dengan pembangunan berkelanjutan.

Riset menunjukkan tingkat permintaan energi global yang berkelanjutan sebenarnya berada melebihi angka kebutuhan energi terendah sebesar 15 gigajoules per orang. Ini kabar baik, tapi tak ada jaminan setiap orang-orang bisa mencapainya demi hidup yang layak.

Kondisi ini mirip dengan fakta bahwa, ada cukup makanan untuk seluruh populasi dunia, tapi masih banyak orang yang kelaparan.

Angka rata-rata penggunaan energi juga tak berlaku untuk semua orang. Jika kita menggunakan skenario permintaan rendah sementara ketimpangan energi berlanjut, miliaran orang akan hidup di bawah ambang batas energi yang dibutuhkan untuk hidup layak.

Energi hidup layak adalah ambang batas yang sulit di mana tidak seorang pun boleh jatuh di bawahnya. Karena itulah - juga demi menjaga iklim bumi - ketimpangan energi harus turun secara drastis.

Perubahan yang belum terjadi sebelumnya

Besarnya tantangan ini menjadi jelas ketika kita mempertimbangkan hubungan erat antara ketimpangan energi dan pendapatan. Sebagai contoh, sekitar 1% populasi dunia bertanggung jawab pada 23% emisi global sehak 1990.

Untuk mengurangi ketimpangan energi, kita perlu mengurangi ketimpangan pendapatan ke level yang setara dengan negara yang tingkat pendapatannya lebih berimbang seperti Norwegia. Negara ini memiliki sistem kesejahteraan yang cukup baik.

A graph comparing rates of income inequality between the world, USA and Norway.
Ketimpangan pendapatan mesti turun ke level yang setara dengan negara yang tingkat pendapatannya lebih berimbang seperti Norwegia. World Inequality Database, CC BY-NC-ND

Level kesenjangan pendapatan yang harus dikurangi untuk menjaga standar hidup layak dalam iklim yang aman harus berada di bawah penurunan level kesenjangan “era keemasan kapitalisme” setelah Perang Dunia II. Selama periode ini (1950–1975), porsi pendapatan 1% orang-orang berpenghasilan tertinggi di AS turun dari 17% ke 10% dibandingkan total pendapatan seluruh penduduk. Namun, perubahan kesenjangan pendapatan karena goncangan ekonomi masih sulit ditebak dan dikontrol.

Seecara rata-rata, tingkat ketimpangan pendapatan global sepanjang 150 tahun kapitalisme secara persisten berada di level yang tinggi. Ketimpangan antarnegara sedikit menurun, tapi kesenjangan di dalam negara justru naik. Pendapatan di negara yang berkembang cepat seperti Cina kini setara dengan negara-negara Eropa Barat. Namun, ketimpangan pendapatan terutama di negara-negara kaya, semakin melebar. Pada 2021, 10% penduduk berpendapatan tertinggi di AS menerima 45.6% dari pendapatan nasional, dibandingkan 33.5% pada 1970.

Tren ini mungkin membuat kita mempertanyakan apakah kerusakan iklim dan deprivasi sosial dapat dikurangi tanpa perubahan sistem ekonomi. Tapi perubahan ini tak bisa dihindari.

Mungkin ekonomi akan berubah dengan cara yang memungkinkan orang-orang kaya dunia tetap berharta, tapi menggunakan lebih sedikit energi. Dengan cara ini, orang-orang yang konsumsi energinya rendah dapat meningkatkan pemakaian energi mereka. Pasokan energi dunia juga dapat ditingkatkan secara lebih berkelanjutan di masa depan, sehingga konsumsi di lapisan bawah dapat meningkat meskipun ketimpangan energi tetap ada.

Atau mungkin pengurangan ketimpangan dapat dicapai melalui transformasi ekonomi, menuju sistem yang tidak perlu terus bertumbuh secara tidak berkelanjutan untuk meredam ketimpangan.

Apa pun jawabannya, skenario bisnis seperti biasa tidak akan berhasil.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now