Menu Close
Sekumpulan anak muda berpartisipasi dalam Jakarta Climate Strike pada tahun 2019. (The Conversation Indonesia/Luthfi T. Dzulfikar), CC BY-NC-ND

Khalifah di bumi: bagaimana anak muda Muslim di Indonesia memperjuangkan isu lingkungan berlandaskan nilai agama

Riset kami menemukan anak muda Muslim di Indonesia yang memperjuangkan isu lingkungan menggunakan nilai agama sebagai landasan yang kuat bagi aktivisme mereka. Mereka menganggap diri mereka sebagai “khalifah” – atau wakil Tuhan di dunia – yang mengemban tugas sakral untuk menjaga alam.

Temuan ini sejalan dengan meningkanya popularitas “Islam hijau” sebagai agenda yang penting bagi anak muda secara global.

Indonesia selama ini punya rekam jejak yang buruk terkait perlindungan alam. Ada berbagai masalah terkait polusi hingga deforestasi yang masih terus berlangsung hingga kini. Perekonomian yang pesat tampaknya tumbuh seiringan dengan kerusakan lingkungan.

Di tengah tren mengkhawatirkan tersebut, sebagian aktivis lingkungan Muslim berusia muda berkomitmen dan bersemangat untuk meningkatkan kesadaran rekan-rekan mereka tentang krisis ekologi. Mereka memandang polusi dan perusakan lingkungan sebagai hal yang haram.

Aktivisme yang dijiwai ayat suci

Dalam penelitian, kami mewawancarai 20 aktivis lingkungan berusia 19-23 tahun dari berbagai kampus di Jawa dan Sumatra. Para aktivis muda Muslim ini memiliki wawasan akademik yang kokoh – mereka menggunakan ini sebagai jembatan antara teologi Islam dengan praktik konservasi lingkungan.

Misalnya, Pertiwi di Palembang, Sumatra Selatan, merupakan lulusan pesantren. Ia belajar tentang pesan-pesan dalam Al-Quran secara mendalam.

Pada saat kuliah, ia bergabung dengan suatu organisasi yang berkampanye melawan polusi Sungai Musi dengan cara meningkatkan kesadaran komunitas di pesisir sungai, melobi korporasi besar yang menjadi pencemar, dan mengadakan program bersih-bersih sungai.

Pertiwi mengatakan bahwa aktivisme yang ia lakukan berlandaskan ayat-ayat Al-Quran yang membahas kehancuran kondisi alam.

“Lihat saja banyak nenek moyang kita, Allah murka pada mereka kan? Ia tidak hanya marah karena sifat manusia yang merusak lingkungan, tapi juga karena tindakan manusia yang secara langsung mengganggu ciptaan Allah,” katanya.

Ia mengamini bahwa perusakan lingkungan adalah hal yang haram, termasuk membuang sampah sembarangan.

“Ini melanggar Sang Pencipta. […] Tuhan melihat, mendengar, dan mengetahui apa saja yang dilakukan manusia,” ungkapnya.

Sementara, rekannya yang bernama Fahmi mempelajari teknik kimia. Ia bergabung dengan Sobat Bumi – suatu gerakan hijau yang diinisiasi oleh Pertamina.

Fahmi mengalami suatu pencerahan saat ia sedang mendaki melewati hutan pegunungan di suatu taman nasional. Ia menyadari kebenaran yang terkandung dalam Al-Quran.

“Barang siapa yang menjaga lingkungan di sekitarnya, maka Allah akan menjaganya juga baik di dunia ini maupun di akhirat,” terangnya.

“Manusia bisa benar-benar merasakan rahmat-Nya. Rasa syukur itu betul-betul [bisa berwujud] penyesalan atas kesalahan seperti mencemari lingkungan segar yang memberikan kita udara untuk bernapas.”

Salah satu responden kami yang lain di Bandung, Jawa Barat yakni Iin, merupakan anggota aktif dari gerakan Youth for Climate Change (YFCC) Indonesia. Ia percaya bahwa manusia memegang amanat dari sebagai khalifah, atau wakil Tuhan di muka bumi.

“Istilah khalifah disebut dalam suatu ayat yang menyatakan, ‘Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah [wakil atau utusan] di muka bumi’‘,” katanya mengutip Al-Quran 2:30.

Ia juga punya kebanggaan atas aspirasi karirnya dalam konservasi lingkungan.

“Kalaupun saya berkarir di bidang lingkungan, saya tahu gajinya tidak akan sebesar bekerja untuk perusahaan minyak dan gas,” katanya.

“Tapi, saya tidak masalah dengan itu, karena saya selama ini digaji oleh Tuhan dengan napas, makanan, dan anugerah untuk menjalani kehidupan sehari-hari.”

Sementara itu di Jakarta, responden lain dalam studi kami yang bernama Heri bergabung dengan gerakan kampusnya untuk membersihkan Sungai Ciliwung – salah satu sungai yang paling tercemar di dunia.

“Ajaran agama yang saya dapat [di madrasah (sekolah Islam)] memuat wawasan tentang lingkungan. Harmoni itu harus vertikal dan horizontal, hablum minallah‘ dan ’hablum minannas. Ini mengatur bagaimana kita harus berinteraksi dengan lingkungan,” kata Heri.

Ungkapan Heri sejalan dengan pesan Mustofa Bisri (sering disapa “Gus Mus”), seorang tokoh agama populer yang terafiliasi dengan organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU). Gus Mus pernah mengunggah cuitan bahwa kehidupan manusia di dunia tidak hanya berkaitan dengan Allah (hablum minallah), tapi juga sesama manusia (hablum minannas) dan lingkungan (hablum minal alam).

Ini merupakan wujud paradigma dalam Al-Quran yang mengajarkan pentingnya berpegang teguh pada keimanan yang melampaui batas ruang dan waktu. Ini juga merupakan keyakinan umum di banyak agama, bahwa amalan seseorang di dunia akan terbawa hingga akhirat (“as above, so below”).

Para aktivis muda ini berlandaskan pada berbagai referensi Quran tersebut untuk menjelaskan kewajiban moral mereka untuk terlibat dalam konservasi dan perbaikan kondisi alam. Kemurnian alam dipandang sebagai cerminan dari kesempurnaan ciptaan Tuhan yang penuh dengan kebaikan.

Mereka merasa memiliki tugas moral untuk mencegah orang Indonesia lain melakukan pencemaran lingkungan. Mereka juga berkampanye secara aktif untuk kembali mengajak para pencemar yang beragama Islam di daerah mereka untuk kembali pada nilai agama.

Misalnya, responden menunjukkan suatu kaos yang menggambarkan bulan sabit dan bintang, dengan tulisan: “Bahkan saat kiamat tiba, jika seseorang memegang tunas kelapa di tangannya, ia sebaiknya menanamkannya.”

Para aktivis muda terkadang mengibaratkan perjuangan lingkungan mereka sebagai suatu perjalanan menantang yang dipandu oleh Tuhan. Namun, mereka tidak berkecil hati karena mereka percaya akan diberikan imbalan di akhirat karena telah berupaya sebaik mungkin menjadi khalifah.

Landasan moral untuk aksi hijau

Dalam gerakan “Islam hijau” yang baru, aktivis Muslim muda menggunakan wawasan keagamaan mereka untuk membangun suatu komunitas yang kritis dan bersemangat untuk menjaga dunia alam.

Gerakan “Islam hijau” kini semakin penting karena menawarkan logika moral untuk memajukan aksi lingkungan di dunia.

Sebaliknya, banyak strategi sekuler untuk mitigasi krisis iklim sekadar berlandaskan pada klaim ilmiah yang sulit dijelaskan pada masyarakat, atau nilai global yang abstrak, yang bisa jadi susah diresapi secara personal dan spiritual.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,000 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now