Menu Close

Klaim jaminan kehilangan pekerjaan di Indonesia masih seret, tiga hal ini penyebabnya

JKP berlaku untuk korban PHK
shutterstock. Mamat Suryadi/shutterstock

Survei Agenda Warga dari New Naratif mengundang lebih dari 1.400 orang dari seluruh Indonesia untuk menyampaikan aspirasi mereka tentang apa saja isu yang dianggap paling penting bagi masyarakat. Artikel ini merupakan kolaborasi The Conversation Indonesia dan New Naratif untuk menanggapi hasil survei tersebut.


Dalam survei Agenda Warga yang dilakukan sepanjang tahun ini, isu soal kemiskinan dan kerentanan menjadi salah satu topik yang dianggap paling mendesak oleh para responden. Isu mengenai keamanan kerja dan jaminan sosial, misalnya, adalah bahasan yang banyak mendapat sorotan dari para responden.

Sejak 1 Februari 2022, pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa mengajukan klaim manfaat Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Ini seakan menjadi angin segar pasca-Pandemi COVID-19, bayang-bayang resesi, dan kemelut Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) yang membuka mata masyarakat bahwa tak ada dari kita yang benar-benar aman dari ancaman PHK.

Tercatat, hingga April 2023, BPJS Ketenagakerjaan telah membayarkan manfaat JKP kepada 28 ribu peserta, dengan total nominal mencapai Rp135,99 miliar.

Sayangnya, jumlah ini masih cukup jauh dari estimasi korban PHK yang dirilis oleh Pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker). Sejak 2021 hingga April 2023, ada lebih dari 113 ribu orang yang diberhentikan sepihak dari pekerjaannya.

Dengan perbandingan tersebut, terlihat masih banyak korban PHK yang belum mendapat manfaat dari jaring pengaman ini.

Kami melihat ada tiga faktor yang membuat cakupan JKP masih rendah meski telah hampir dua tahun berjalan: faktor politik dan persepsi publik, faktor administrasi, dan rendahnya literasi.

1. Faktor politik dan persepsi publik

Jaminan kehilangan pekerjaan dan UU Ciptaker
Demo pekerja dan pelajar menolak UU Cipta Kerja di Jakarta pada 2020. Wulandari Wulandari/shutterstock

Persepsi negatif masyarakat terhadap UU Ciptaker-–kerap disebut sebagai omnibus law–-menjadi salah satu faktor di balik masih rendahnya klaim JKP.

JKP lahir dari rahim omnibus law, yang sejak awal diusulkan sudah mendapat penolakan dan perlawanan sangat luas di akar rumput. Masyarakat menilai UU yang bertujuan menarik investasi ini mengabaikan perlindungan hak-hak pekerja, termasuk memperbesar potensi terjadinya PHK.

Bahkan, setelah disahkan pada 2020, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa UU ini inkonstitusional bersyarat pada 25 November 2021. Belum tuntas waktu perbaikan, pemerintah tiba-tiba mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2 Tahun 2022 untuk “menggantikan” UU Ciptaker–meski nyatanya tak banyak perubahan berarti dalam aturan pengganti tersebut.

Rentetan kontroversi ini menjadikan penolakan publik dan pekerja terhadap UU Ciptaker tak kunjung tuntas sampai sekarang.

Sebagai respons terhadap kecaman publik, pemerintah mengeluarkan rentetan aturan untuk mengenalkan JKP pada 2021, termasuk untuk mengatur pelaksanaan, peserta, dan pemberian manfaat program jaminan sosial ini. Peraturan Pemerintah No. 37/2021 terbit untuk mengatur pelaksanaan JKP.

Dalam konteks regulasi dan politik seperti di atas, dapat dipahami jika program JKP kemudian tidak mendapat dukungan dari Serikat Pekerja.

Temuan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 2022 di Kabupaten Bekasi dan Kota Batam–sebagai representasi daerah industri–memperkuat hal ini. Hampir semua serikat pekerja/buruh di wilayah penelitian menolak UU Ciptaker dan secara tegas tidak ikut melakukan sosialisasi manfaat JKP kepada anggotanya. Dalam sebuah diskusi terpimpin, salah satu pimpinan serikat buruh mengatakan:

…yang kami butuhkan adalah jaminan kepastian pekerjaan, bukan jaminan kehilangan pekerjaan! JKP justru menjadi alasan yang mempermudah perusahaan untuk melakukan PHK kepada karyawannya.

Perubahan framing dan relasi JKP dengan UU Ciptaker yang terlanjur buruk ini membutuhkan keberpihakan dan tindakan politik yang berani dari pemerintah dan DPR.


Read more: Dua Tahun UU Cipta Kerja: PHK kian mudah, kenaikan upah jadi paling rendah


2. Faktor administrasi

Secara normatif, JKP dapat diterima oleh warga Indonesia yang telah terdaftar dan belum berusia 54 tahun. Penerima manfaat yang bekerja di perusahaan besar dan menengah wajib menjadi peserta aktif Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kematian (JKM) dari BPJS Ketenagakerjaan.

Tak hanya perusahaan besar dan menengah, pekerja mikro dan kecil juga wajib mengikuti program JKN, JKK, JHT, dan JKM.

Syarat lainnya, peserta harus memenuhi memiliki masa iuran paling sedikit 12 bulan dalam 24 bulan dan telah membayar iuran paling singkat 6 bulan berturut-turut sebelum terjadi PHK.

Dengan persyaratan administratif seperti di atas, JKP masih bias pekerja formal dan hanya bisa diperoleh mereka yang pemberi kerjanya (perusahaan) tertib dan jujur dalam membayar iuran bulanan pekerjanya. Sementara itu, banyak kasus di lapangan menunjukkan perusahaan-perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya dan menunggak iuran BPJS Ketenagakerjaan. Akibatnya, karyawan perusahaan-perusahaan tersebut tidak bisa mendapatkan manfaat JKP jika diberhentikan sepihak.

Pekerja juga harus mengurus dan mendapatkan sendiri surat rekomendasi dari Dinas Tenaga Kerja/Mediator Hubungan Industrial. Pekerja dengan status kontrak dan mengundurkan diri (resign), tidak berhak mendapat JKP. Ditambah lagi, bagi yang memenuhi syarat, banyak juga yang tidak melakukan klaim JKP karena mereka memilih menunggu untuk mendapat pekerjaan atau pembaharuan kontrak kerja lainnya.

Tak hanya itu, pekerja yang proses PHK-nya harus menunggu keputusan Pengadilan Hubungan Industrial, kemungkinan besar sulit mendapatkan manfaat dari JKP. Sebab, proses pengadilan kerap memakan waktu lebih dari tiga bulan. Padahal, batas maksimum mengakses JKP adalah 3 bulan setelah putusan PHK oleh perusahaan.

Persyaratan yang bias dan administrasi yang berbelit ini membuat pekerja sulit mengakses jaring pengaman yang mereka butuhkan saat kehilangan pekerjaannya.

3. Faktor literasi dan kesiapan teknis

Manfaat JKP sebenarnya cukup positif, seperti pemberian uang tunai selama enam bulan, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja. Namun, minimnya sosialisasi resmi membuat berbagai manfaat baik ini belum dikenal atau diketahui oleh publik secara luas..

Selain itu, pelaksanaan program ini pun tampaknya kurang kesiapan. Baru manfaat uang tunai yang memiliki alur cukup jelas, baik besaran maupun mekanisme penyalurannya. Sementara itu, manfaat akses informasi lapangan kerja dan pelatihan kerja–-yang berada di bawah tanggung jawab Kemenaker–-masih kurang jelas prosedur, proses, dan teknisnya.

Program Pelatihan yang diselenggarakan dalam JKP dapat dikelompokkan berdasarkan kluster, okupasi/jabatan, atau kualifikasi nasional dengan minimal 40 jam pelatihan (JP) atau sesuai dengan program yang telah ditetapkan Kemnaker. Pelatihan ini juga dapat diselenggarakan secara online, offline, atau blended.

Namun demikian, kecocokan jenis pelatihan dengan kebutuhan pekerja masih dipertanyakan. Belum ada evaluasi yang terukur dan transparan untuk melihat apakah program-program tersebut betul-betul membantu korban PHK untuk bisa kembali masuk ke lapangan kerja.

Memperbaiki JKP

Melihat berbagai temuan dan argumentasi di atas, kami memiliki beberapa catatan dan rekomendasi agar pelaksanaan JKP lebih efektif.

Pertama, Pemerintah perlu meringankan persyaratan penerima JKP. Persyaratan kepesertaan wajib dalam program jaminan sosial untuk pekerja mandiri atau informal sebaiknya dikurangi menjadi dua saja, misalnya JKK dan JKM. Hal ini akan meringankan beban administrasi mereka dan meningkatkan peluang bagi lebih banyak pekerja untuk mendapatkan manfaat JKP.

Kedua, anggaran dan jenis manfaat pelatihan kerja tidak boleh sama rata. Program yang ada sebaiknya menyesuaikan antara kompetensi dan keahlian individu dengan jenis pelatihan yang diikuti agar memberikan nilai tambah bagi penerima manfaat JKP.

Ketiga, pekerja yang di-PHK saat mendekati usia pensiun perlu mendapatkan nilai manfaat lebih besar dibandingkan pekerja muda (<35 tahun). Sebab, ketika mendekati usia senja, kemungkinan pekerja mendapatkan pekerjaan formal semakin mengecil.

Keempat, pemberian akses data dan informasi status penerima manfaat JKP yang lengkap kepada Dinas Ketenagakerjaan di setiap wilayah. Sejauh ini, hanya pemerintah pusat dan penerima manfaat saja yang dapat mengakses sistem atau aplikasi untuk JKP.

Kelima, cakupan JKP perlu diperluas kepada pekerja kontrak dan pekerja yang mengundurkan diri. Pemerintah bisa mencontoh Thailand, yang tetap memberikan manfaat JKP bagi pekerja yang resign.

Di tengah kondisi ketenagakerjaan yang semakin rentan, JKP menjadi pengaman yang semakin penting bagi masyarakat. Dengan melakukan perbaikan di atas, maka tujuan JKP sebagai alat untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak bagi korban PHK sekaligus membantu mereka untuk mendapatkan pekerjaan baru akan lebih efektif, tepat sasaran, dan terasa manfaatnya

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now