Menu Close

KPI awasi Netflix dan YouTube: Langkah kembali ke Orde Baru yang tidak perlu bila ada literasi media

Photo by Ben Raynal

Pernyataan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Agung Suprio atas perlunya perluasan pengawasan terhadap dua kanal video di internet, Netflix dan YouTube, memantik polemik.

Suprio berharap KPI mendapat kewenangan tersebut setelah Undang-Undang Penyiaran rampung direvisi oleh Dewan Perwakilan Rakyat .

Tampaknya KPI ingin memperluas definisi terhadap “penyiaran” hingga merambah ke internet dan memperluas praktik pendisiplinan yang selama ini coba diterapkan di televisi dan radio ke kanal-kanal lain.

Suprio sepertinya membayangkan KPI menjadi lembaga pengawasan super yang memiliki kuasa mengawasi semua kanal informasi.

Menurut saya, keinginan KPI untuk memperluas otoritas pengawasan atas informasi patut diwaspadai karena berpotensi mengancam kebebasan berekspresi kita sebagai warga negara, juga merampas hak kita untuk mendapatkan informasi seluasnya.

Ada cara yang lebih efektif bagi pemerintah dalam mengontrol distribusi konten yaitu dengan literasi media.


Read more: Oligarki media dan bagaimana dia menentukan arah pemberitaan


Kembali ke masa lalu

Pada dasarnya otoritas KPI adalah menyusun dan mengawasi berbagai peraturan penyiaran yang menghubungkan antara lembaga penyiaran, pemerintah, dan masyarakat.

Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merujuk kewenangan KPI hanya pada kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancar. Namun Suprio ingin melebarkan kewenangan lembaganya hingga merambah kanal lain yaitu internet.

Ini rencana yang ambisius sekaligus ironis mengingat KPI dinilai beberapa pihak memiliki kinerja buruk. KPI dianggap gagal dalam mengawasi siaran televisi nasional karena sistem pemberian sanksi yang bersifat normatif saja.

Keinginan KPI untuk memperluas cakupan pengawasan ini mengkhawatirkan, mengingat regulasi pemerintah yang belakangan ini berorientasi sensor dan blokir.

Blokir pada akses Vimeo dan Reddit adalah dua contoh bagaimana kebijakan pemerintah membasmi tikus dengan membakar lumbung padi.


Read more: Pembatasan internet setelah kerusuhan 22 Mei: Keamanan publik lebih utama ketimbang kebebasan bermedia sosial


Sensor dan blokir adalah wajah buruk kebijakan kontrol informasi yang diterapkan di Indonesia.

Kedua langkah ini membawa kita ke era sebelum reformasi ketika Indonesia masih di bawah kekuasaan Orde Baru yang menerapkan pembatasan kebebasan berekspresi dan akses informasi yang sangat ketat.

Pada saat itu, negara mempunyai perpanjangan tangan yang kuat lewat Departemen Penerangan yang mengontrol berbagai saluran komunikasi.

Pembredelan dilakukan berulang kali terhadap berbagai media: surat kabar dan majalah, bahkan tinta dan kertas yang menjadi bahan baku penerbitan dimonopoli untuk meningkatkan pengawasan.

Pada era Orde Baru, siaran televisi dan radio harus sesuai dengan batasan-batasan moral yang ditentukan penguasa. Media tak bisa berfungsi sebagaimana mestinya sebagai alat pengawas pemerintah.

Upaya KPI untuk memperluas kewenangannya dalam mengawasi konten akan mendekatkan kita pada totalitarianisme yang membatasi akses informasi sekecil apapun. Bila kemarin Vimeo dan Reddit, hari ini YouTube dan Netflix, esok hari apa lagi?

Pengawasan distribusi dan kesinambungan literasi media

Bisa jadi Suprio akan beralibi bahwa yang disasar oleh KPI nanti adalah konten syur dan kekerasan di YouTube dan Netflix–bukan konten yang memiliki corak politik.

Namun barangkali Ketua KPI lupa bahwa kedua penyedia jasa itu sudah memiliki mekanisme pengawasan internal. Contohnya adanya fitur kontrol dari orangtua, sehingga orangtua dapat membatasi dan menentukan konten apa saja yang boleh diakses oleh anak-anak mereka.

Jika ada anak-anak yang mengakses konten dewasa maka seharusnya yang dibidik oleh pemerintah bukanlah penyedia jasa, namun orangtua yang miskin literasi media dan pengetahuan mendidik.

Kalau pemerintah memang ingin menangani permasalahan akses konten maka yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah adalah pengawasan distribusi dan penguatan literasi media.

Pemerintah dapat meminta YouTube untuk memperketat pengkategorian usia “18+” pada konten-konten yang tidak ramah anak, alih-alih melakukan sensor atau penurunan paksa konten. Pengkategorian akan membuat para pembuat konten menyesuaikan diri, terutama dalam konteks usia pemirsa yang dituju.

Upaya lainnya yang harus dilakukan adalah membangun program literasi media yang berkesinambungan dan bahkan terintegrasi dalam kurikulum pendidikan.

Warga negara yang sudah melek media akan mampu bertindak rasional dan memilah sendiri konten yang tepat. Warga negara yang rasional ini akan menjadi pondasi demokrasi Indonesia di masa depan.

Namun tentu saja kemampuan rasional ini tidak bisa dihasilkan dengan sekadar memberikan seminar literasi media satu arah dengan materi membosankan ala penyuluhan Orde Baru. Literasi media harus disusun secara komprehensif dan melibatkan institusi pendidikan seperti sekolah di berbagai tingkatan.


Read more: Cerdas mengikuti konten media sosial bisa bantu perempuan bangun citra tubuh positif


Indonesia tidak sendiri

George Orwell dalam novelnya 1984 mengilustrasikan bagaimana pemerintah yang memiliki kendali pengawasan terhadap warganya adalah rezim yang represif.

Pengawasan akan berjalan seiring dengan praktik pendisiplinan terhadap perilaku masyarakat, dan satu-satunya pihak yang mendapatkan hak istimewa adalah pihak yang berkuasa.

Walaupun karya Orwell merupakan distopia, praktik ini masih terjadi di dunia.

Negara seperti Cina dan Singapura telah memberlakukan model pengawasan yang ketat terhadap media massa. Cina melakukan pengawasan dengan Internet of Things (IoT) dan model pengawasan yang berjejaring dengan mengandalkan ragam bentuk teknologi .

Kasus pengawasan atas etnis Uighur dan penanganan demonstrasi Hong Kong adalah wujud negara menjadi mesin yang sangat berbahaya atas sistem pengawasan yang menggunakan teknologi.

Singapura juga mengandalkan model pengawasan yang ketat terhadap warganya. Sebagai hasilnya, Singapura berada pada urutan 151 dari 180 negara dalam indeks kebebasan pers tahun 2019. Maka tidak mengejutkan apabila masalah seperti ketimpangan, korupsi, dan seksisme tidak terungkap oleh media Singapura.

Indonesia harusnya bisa menghindari kasus yang terjadi di Cina dan Singapura. Kita sudah berhasil terbebas dari jebakan totalitarianisme pasca reformasi 1998.

Menegakkan demokrasi adalah dengan menjamin akses dan keterbukaan informasi yang seluas-luasnya kepada warga negara.

Fahri Nur Muharom berkontribusi pada penulisan artikel ini

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now