Hampir dua dekade pascareformasi, demokratisasi media yang dicita-citakan setelah rezim otoriter Orde Baru tumbang tidak berada dalam kondisi yang ideal. Oligarki media justru semakin menguat, konsentrasi kepemilikan semakin memusat.
Ini gejala yang sebenarnya bukan khas Indonesia. Kita bisa menengok ke berbagai negara di dunia. Perjumpaan perkembangan teknologi komunikasi yang membuka berbagai kanal informasi dan oligarki media ternyata punya efek kejut sendiri: menurunnya kepercayaan publik terhadap media arus utama. Karena media semakin partisan dan dianggap elitis, publik menemukan ruang alternatif untuk mengakses informasi.
Di Indonesia, gelombang ketidakpercayaan ini mewujud misalnya ketika dalam aksi-aksi demonstrasi Bela Islam di akhir 2016 sampai awal 2017. Saat itu demonstran menolak beberapa media yang ingin meliput. Mereka bahkan menggunakan kekerasan untuk menolak wartawan.
Menurunnya kepercayaan terhadap media arus utama tidak diimbangi dengan keberadaan media alternatif yang kredibel. Maka, sebagian besar jatuh pada informasi hoaks.
Hoaks dan berita palsu memang mudah menyebar karena banyak orang saat ini tidak mencari informasi untuk mencari fakta yang sebenarnya, melainkan hanya untuk mengafirmasi apa yang diyakininya. Terbongkarnya kelompok Saracen yang memproduksi berita-berita palsu menunjukkan ada pihak yang sudah siap memanfaatkan kondisi tersebut.
Di sisi lain, selain membuka kanal-kanal informasi alternatif, internet dan media sosial ikut memberdayakan kaum oligarki media. Tandanya: para pemilik media semakin agresif menggabungkan lini usaha medianya dengan membeli media kompetitor, mengintegrasikan dengan usaha lain, termasuk berinvestasi dalam media digital dan infrastruktur komunikasi.
Selain itu, para pemilik media semakin jauh masuk ke gelanggang politik termasuk membentuk partai dan menempatkan kadernya pada jabatan pemerintahan. Lantas sebagaimana terjadi dalam dunia politik, perusahaan media semakin menyerupai dinasti: pelan-pelan diwariskan kepada anggota keluarganya.
Memahami oligarki media
Susah untuk memahami Indonesia kontemporer tanpa memahami bagaimana oligarki media bekerja. Pangkalnya, ia juga berefek pada pemberitaan media-media yang setiap hari dikonsumsi publik. Berita-berita semakin bias dan partisan dengan cara yang sedemikian dangkal. Contoh yang paling tampak bisa dilihat dalam pemberitaan pemilu 2014. Media yang terbelah menjadi cermin dari polarisasi masyarakat.
Terbit pada 2012, sebuah penelitian oleh Merlyna Lim mencatat ada 13 kelompok yang menguasai kepemilikan media di Indonesia. Sebuah riset yang laporannya terbit 2013 oleh Yanuar Nugroho dan tim menemukan bahwa hampir semua perusahaan media di Indonesia dikuasai 12 kelompok besar.
Angkanya semakin mengecil menjadi delapan di buku Ross Tapsell yang terbit tahun 2017. Tapsell mengatakan mereka adalah kelompok yang dibesarkan oleh sistem politik yang masih dikuasai oligarki Orde Baru dan hukum di Indonesia yang tidak ketat dalam membatasi kepemilikan media.
Perbedaan jumlah kelompok media dalam beberapa studi tersebut terjadi karena perbedaan metode yang digunakan. Sebagai contoh, studi Ross Tapsell hanya melihat media-media yang fokus pada berita dan pengaruhnya terhadap politik sehingga tidak memasukkan konglomerasi Grup Femina dan Grup Mugi Rekso Abadi yang masuk dalam studi Nugroho dan Lim.
Kaum oligarki media ini adalah para pemilik media yang memulai karier kepemilikan medianya dari televisi maupun media cetak. Ketika era digital tiba, mereka mulai mengintegrasikan medianya ke dalam berbagai platform. Salah satunya terlihat ketika beberapa media mulai membuka ruang khusus bagi jurnalisme warga, misalnya saja seperti Kompas dengan Kompasiana, Tempo dengan Indonesiana, Liputan 6 dengan Citizen Journalism, dan seterusnya.
Pada satu sisi, kanal jurnalisme warga itu wajar saja sebagai upaya untuk memberikan tempat bagi opini publik. Namun kalau dicermati lebih jauh, semakin ke sini, kanal-kanal jurnalisme warga tersebut juga mulai memunculkan opinion leader yang mendominasi sehingga mengurangi keberagaman pandangan.
Bahkan pernah ada kejadian di mana tulisan-tulisan yang sudah tayang di Kompasiana dan memicu debat publik kemudian dihapus oleh adminnya. Pada akhirnya berbagai platform tersebut, sebagaimana di kanal arus utamanya, tetap menjadi cerminan persaingan kaum oligarki media. Alih-alih mencerminkan kepentingan publik, keberagaman pemberitaan di media adalah wajah dari berbagai kepentingan aktor oligarki tersebut.
Pengalaman dari banyak negara menunjukkan ketika oligarki media menguat para pemilik media masuk ke gelanggang politik dengan menggunakan medianya sebagai arsenal utama. Apalagi jika mereka memiliki stasiun televisi.
Di Indonesia, tingkat penetrasi penonton televisi mencapai angka lebih dari 90% dari total populasi. Ketika pemilik media masuk ke gelanggang politik tidak melulu dalam kerangka politik elektoral. Ada kepentingan bisnis juga di sana. Masuk ke gelanggang politik memungkinkan pemilik media selangkah lebih maju dalam mempengaruhi regulasi agar menguntungkan bisnis media. Sulitnya merevisi Undang-Undang Penyiaran (yang sudah diajukan sejak 2009) menjadi salah satu contoh paling gamblang dari hal tersebut.
Hubungan antara politik, media, dan bisnis bisa dilihat dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta. Dalam kasus yang ramai dua tahun belakangan, dua stasiun televisi berita Metro TV dan TV One berada dalam posisi yang saling berhadap-hadapan, bukan karena ideologi tapi lebih karena kepentingan politik pemilik yang berada pada posisi politik yang berseberangan. Ini lazim terjadi, dari perkara pemilu, lumpur Lapindo, penggusuran di Jakarta, dan sebagainya.
Yang panas hari ini: reklamasi dan Meikarta
Dalam kasus reklamasi, Metro TV dan Media Indonesia yang dimiliki Surya Paloh—pendukung pemerintah—mendukung reklamasi. Grup media tersebut memberikan ruang khusus bagi Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Pandjaitan menjelaskan tentang pentingnya reklamasi dilakukan.
Metro TV dan Media Indonesia juga beberapa kali mengeluarkan editorial mendukung reklamasi. Salah satu bunyi editorial tersebut, “tidak ada satu pun dalih dan pembenaran untuk tidak menyegerakan kelanjutan reklamasi Teluk Jakarta”. Ketika pemerintah pusat menghentikan sementara proyek tersebut, mereka menulis “ketidakpastian akan merugikan investor” dan bahwa “reklamasi untuk semua”.
Sementara TV One yang dimiliki Aburizal Bakrie kritis terhadap reklamasi. Ketika Basuki Tjahaja Purnama menjadi gubernur, TV One bersikap oposan terhadap pemerintah DKI Jakarta terkait reklamasi. Begitu Anies Baswedan—yang didukung TV One—terpilih sebagai gubernur, mereka mendukung sikap pemerintah daerah untuk menghentikan reklamasi.
Contoh lain bisa kita lihat dalam iklan dan pemberitaan Meikarta yang di bulan Agustus-Oktober muncul setiap hari di media seperti harian Kompas dan Koran Tempo. Meikarta dimiliki Lippo Group yang juga memiliki perusahaan media yang menerbitkan, antara lain, Suara Pembaruan, Investor Daily, dan Jakarta Globe.
Roy Thaniago menghitung secara kasar bahwa Kompas dan Koran Tempo masing-masing berpotensi mendapatkan pemasukan sebesar Rp170,2 milyar dan Rp69 milyar.
Ketika saya meminta konfirmasi mengenai jumlah yang didapatkan dari iklan Meikarta, pemimpin redaksi harian Kompas Budiman Tanuredjo menjawab tidak tahu urusan iklan dan meminta saya menghubungi bagian periklanan. Begitu juga dengan Arif Zulkifli, pejabat teras di redaksi grup Tempo. Pesan yang saya kirimkan ke bagian iklan kedua media tidak berbalas sampai artikel ini ditulis. Satu fakta kecil yang menarik, wakil pemimpin umum Kompas Rikard Bagun hadir dalam peresmian tower Meikarta.
Secara keseluruhan sepanjang tahun 2017 Meikarta menghabiskan Rp1,2 triliun untuk iklan di televisi dan media cetak.
Ada yang ironis di sini. Besarnya angka iklan adalah kabar baik bagi media cetak di Indonesia. Apalagi di era ketika senjakala media cetak muncul di Indonesia. Satu-satu surat kabar bertumbangan.
Namun, studi analisis konten sederhana yang dilakukan Remotivi menemukan bahwa efek iklan yang demikian besar telah mempengaruhi pemberitaan media soal Meikarta. Dari analisis isi, kami kesulitan menemukan berita-berita yang kritis tentang Meikarta. Yang banyak justru tulisan-tulisan advertorial. Dari hitungan saya, sejak Oktober setidaknya rata-rata per hari tiga artikel advertorial Meikarta muncul di kompas.com.
Contoh di atas hanya gambaran sekilas bagaimana oligarki media menentukan pemberitaan. Yang kita butuhkan adalah upaya dari atas dan dari bawah untuk lepas dari jebakan oligarki media yang diberdayakan internet dan media sosial.
Literasi media adalah ikhtiar yang bisa didorong agar era keterbukaan tidak menjerumuskan publik ke dalam belantara hoaks. Literasi media tidak sekadar bisa memilah mana fakta mana fiksi, lebih dari itu ia membantu kita memahami apa-apa yang tersembunyi di balik berita.