Menu Close

Kurikulum Merdeka beri ruang bagi murid untuk bereksplorasi–tapi jangan jadikan ini alasan untuk guru lepas tangan

Dalam Kurikulum Merdeka yang tengah digalakkan pemerintah, salah satu pendekatan yang direkomendasikan untuk memenuhi capaian belajar (CP) adalah proses pembelajaran aktif atau pembelajaran yang berorientasi pada murid.

Di dalamnya, misalnya, ada sejumlah metode pengajaran yang mengedepankan interaksi sosial, seperti pembelajaran kooperatif. Bentuk paling sederhananya adalah murid-murid bekerja dalam kelompok dan masing-masing memiliki tanggung jawab.

Ada juga metode pembelajaran berbasis projek yang mendorong murid menjalankan projek untuk memecahkan persoalan di dunia nyata.

Menurut riset, metode-metode pembelajaran aktif tersebut memang berpotensi memberi sejumlah manfaat bagi murid. Ini termasuk interaksi sosial yang lebih baik dengan rekan sejawat, pengasahan keterampilan seperti refleksi ataupun kolaborasi, dan pemecahan masalah.

Meski demikian, kami mengkhawatirkan pendekatan pembelajaran aktif ini–tanpa panduan yang tepat–berpotensi mengesampingkan keterlibatan guru sehingga mengancam penguasaan materi dasar yang merupakan salah satu tujuan utama Kurikulum Merdeka.

Dengan kata lain, pembelajaran aktif dalam Kurikulum Merdeka boleh saja memberikan ruang bagi murid untuk bereksplorasi. Namun, jangan sampai ini jadi alasan untuk membolehkan guru serta merta lepas tangan.

Pentingnya penguasaan materi dasar terlebih dahulu

Salah satu karakteristik utama Kurikulum Merdeka adalah fokusnya pada “materi esensial.”

Materi esensial adalah materi yang diperlukan untuk menguasai mata pelajaran (mapel) di setiap jenjang secara berkelanjutan. Dalam Matematika, ini seperti penjumlahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian untuk meyelesaikan persoalan.

Contoh lainnya, pengetahuan tentang dasar-dasar garis, warna, tekstur, dan komposisi untuk mengerjakan projek melukis dalam pelajaran Seni Budaya.

Menurut John W. Thomas, peneliti pendidikan dari University of California-Berkeley di Amerika Serikat (AS), pembelajaran berbasis projek tidak boleh luput untuk mendorong murid berinteraksi dengan konsep-konsep kunci tiap mapel dan juga terlibat dalam pembentukan pengetahuan mereka.

Sayangnya, analisis kami pada berbagai dokumen pengenalan, contoh pelaksanaan, dan panduan pembelajaran berbasis projek yang disediakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi belum memuat aspek-aspek di atas. Guru juga belum diarahkan untuk melibatkannya dalam kegiatan-kegiatan projek tersebut.

Dalam pembelajaran tematik tingkat SD, panduan pembelajaran berbasis projek masih terlalu menekankan “pengetahuan prosedural” (tentang “bagaimana”, contoh: langkah-langkah menanam kangkung agar tumbuh subur). Panduan ini mengesampingkan “pengetahuan proposisional” (tentang “apa”, contoh: proses fotosintesis dan manfaatnya bagi tumbuhan).

Jika murid tidak memiliki pengetahuan proposisional tentang fotosintesis, misalnya, mereka berisiko kesulitan memahami peran tanaman sebagai penyerap karbon dioksida dan kedudukannya dalam ekosistem. Apabila itu terjadi, mereka akan kesusahan memahami konsep lain yang lebih besar: dampak penggundulan hutan terhadap perubahan iklim. Ini justru menghilangkan makna dari projek yang mereka garap.

Ibarat pengetahuan proposisional sebagai sebuah tangga, kehilangan beberapa anak tangga saja bisa membuat mereka gagal mencapai tingkat pemahaman konsep yang lebih tinggi, luas, ataupun baru.

Guru sekadar jadi fasilitator

“Kami, guru, adalah fasilitator pembelajaran.”

Kalimat ini biasanya disampaikan guru ketika diminta menceritakan tentang peran mereka di kelas.

Sebagai ilustrasi, dalam materi recount text (menceritakan kembali), seorang guru bahasa Inggris meminta murid-muridnya untuk membuat projek pengalaman liburan. Alih-alih mengajarkan terlebih dahulu tentang kata kerja lampau sebagai fitur penting dalam teks tersebut, sang guru meminta murid-muridnya mempelajari contoh-contoh teks sejenis saja di internet secara mandiri, tanpa mendiskusikan hasil eksplorasi.

Walhasil, kita seperti melihat anak-anak tangga yang bertebaran, belum disusun, bahkan tidak lengkap.

Elizabeth Rata dari University of Auckland di Selandia Baru menggambarkan hal ini sebagai bentuk “facilitation teaching”. Artinya, apapun yang dibawa murid (baik jawaban, pendapat, atau pengalaman) dianggap baik dan valid oleh guru.

Efek facilitation teaching memang bisa membuat murid merasa “diterima dan berkontribusi”. Namun, ini mengorbankan sebuah agenda penting di kelas: interaksi intensif mereka dengan konsep dan pengetahuan beserta urutan dan logikanya. Interaksi ini mustahil berlangsung tanpa adanya pengajaran.

Hasil analisis kami menimbulkan kekhawatiran: penerapan pembelajaran berbasis projek saat ini masih mengarah pada sekadar memfasilitasi. Sebab, murid tidak berinteraksi dengan materi dasar yang harusnya jadi fokus penguasaan.

Peran tradisional guru masih relevan

Sebagaimana yang dikatakan Paul A. Kirschner dari Open University di Belanda beserta koleganya dalam buku How Teaching Happens (2022): “Jika semua yang harus diajarkan ke murid dilakukan dengan cara yang real-world, lalu apa makna sekolah?”

Sebuah konsep tidak selalu bisa dipelajari melalui konteks keseharian (sosial budaya) atau didapatkan melalui pengalaman maupun projek.

Penguasaan murid atas pengetahuan dasar, yang biasanya abstrak, akan membantu mereka melihat aplikasi konsep dalam berbagai konteks di dunia nyata. Guru berperan besar dalam proses ini. Tugas guru adalah mendesain kegiatan yang membantu murid melihat keterkaitan ini, utamanya lewat pengajaran instruksional.

Jika pemahaman pengetahuan dasar ingin dicapai melalui projek, ada banyak jalan untuk melakukannya. Salah satunya melalui “inductive learning” sebelum projek berlangsung. Kegiatan pembelajarannya meliputi: eksplorasi contoh-contoh baik yang dipilih guru, memformulasikan rules atau konsep (pengetahuan proposisional) dengan panduan guru, menguji atau mencoba aplikasinya (pengetahuan prosedural), mendapat umpan balik dari guru, merevisi rules atau konsep agar makin kukuh, dan mendapat konfirmasi dari guru.

Tanpa proses ini, pengetahuan berisiko tersampaikan melalui cara yang ambigu atau projek berjalan sekadar “coba-coba” saja.

Sayangnya, panduan yang tersedia tidak melibatkan kegiatan-kegiatan serupa sebagai bagian dari pembelajaran berbasis projek dan tidak menggarisbawahi peran guru dalam prosesnya. Tanpa hal ini, bisa terwujud kekhawatiran bahwa banyak guru menggunakan Kurikulum Merdeka untuk kemudian lari dari tanggung jawab mengajar.

Bukan membatalkan pembelajaran berbasis projek, tapi meyempurnakannya

Kemdikbudristek memang tengah bergairah menggaungkan pembelajaran aktif. Oleh karena itu, tuntutan kami agar guru menyisipkan pengajaran instruksional barangkali akan dipandang beberapa pihak sebagai anjuran untuk “kembali pada pembelajaran yang berpusat pada guru”. Bisa juga, mereka akan melihat pembelajaran berbasis projek menjadi kurang berorientasi pada murid.

Namun, solusi yang kami tawarkan bukan menunda penerapannya tetapi memastikan bahwa panduan yang digunakan itu berbasis riset dan praktik baik.

Harapannya, pengajaran instruksional menjadi bagian penting dalam prosesnya. Ini penting agar murid menguasai materi esensial yang diperlukan supaya projek yang mereka jalani jadi lebih bermakna.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now