Menu Close

Layakkah prioritas vaksin COVID-19 untuk tahanan korupsi?

Petugas medis menyuntikkan vaksin COVID-19 Sinovac kepada tenaga medis di Puskesmas Setiabudi, Jakarta.
Petugas medis menyuntikkan vaksin COVID-19 Sinovac kepada tenaga medis di Puskesmas Setiabudi, Jakarta. Reno Esnir/Antara Foto

Bulan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian Kesehatan melakukan vaksinasi terhadap 39 dari 61 tahanan. Kebijakan itu cepat menimbulkan polemik.

Masyarakat mempertanyakan apa urgensinya tahanan KPK mendapat vaksin lebih dulu ketimbang dibandingkan tahanan dan narapidana yang berada di lembaga pemasyarakatan (lapas) lain.

Selain itu masalah prioritas vaksin di luar penjara pun belum usai.

Tahanan KPK seharusnya bukan penerima vaksin prioritas baik berdasarkan situasi penahanan yang mereka jalani ataupun atas kejahatan yang telah mereka lakukan.

Prioritas vaksin

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan – lembaga di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mengurusi pemasyarakatan – baru sampai tahap melakukan identifikasi kebutuhan penerima vaksin baik untuk petugas, pejabat dan tahanan serta narapidana di lingkungan lapas.

Per Februari lalu, data Ditjen Pemasyarakatan mencatat jumlah tahanan dan narapidana mencapai 252.999 orang dengan komposisi jumlah tahanan 48.509 dan jumlah narapidana 204.805.

Sementara kapasitas rumah tahanan (rutan) dan lapas sebesar 135.704 orang. Maka saat ini narapidana yang ditahan jumlahnya 86% melebihi dari kapasitas (overcrowding) yang ada, sebuah kondisi yang jauh dari kata layak.

Dari 525 rutan dan lapas yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, 395 di antaranya mengalami overcrowding.

Prioritas pemberian vaksin seharusnya diberikan pada tempat yang memang mengalami overcrowding karena mengalami risiko penularan wabah lebih besar.

Skala prioritas untuk tahanan selanjutnya dapat dilakukan berdasarkan kerentanan dalam konteks kelompok usia misalnya kelompok lanjut usia dan – dalam beberapa jenis vaksin – anak, serta ibu menyusui.

Kondisi kesehatan para narapidana kemudian menjadi kriteria berikut untuk menentukan prioritas.

Vaksin produksi Sinovac yang digunakan pemerintah, misalnya, tidak dapat diberikan kepada orang-orang yang memiliki kondisi atau riwayat medis, seperti diabetes melitus, asma dan TBC, kecuali dalam kondisi tertentu.


Read more: Setelah vaksinasi, apakah COVID-19 akan segera terkendali?


Piramida kejahatan

Selain situasi penahanan, ada juga pertimbangan derajat perbuatan jahat yang telah dilakukan.

John Hagan – profesor sosiologi dan hukum di Northwestern University, Illinois, Amerika Serikat (AS) – pada tahun 1985 membuat alat ukur kejahatan yang kemudian disebut piramida kejahatan.

Menurut Hagan, perbedaan keseriusan kejahatan bergantung pada tiga dimensi yang masing-masing mempunyai rentang dari peringkat rendah/ringan hingga peringkat tinggi/berat.

Dimensi pertama adalah agreement about the norm atau persetujuan, yaitu derajat benar atau salah suatu tindakan berdasarkan kesepakatan atau konsensus oleh masyarakat.

Dimensi kedua adalah severity of societal response yaitu keseriusan respons masyarakat yang tercantum dalam hukum.

Respons sosial ini mulai dari pengabaian, pemberian peringatan, denda, penghukuman penjara, bahkan hukuman mati. Menurut Hagan, semakin serius ancaman hukuman yang dirumuskan, semakin luas dukungan masyarakat terhadap sanksi tersebut, dan semakin serius penilaian masyarakat terhadap tindakan tersebut.

Dimensi ketiga adalah evaluation of social harm yang dirumuskan Hagan sebagai dampak relatif suatu kejahatan berdasarkan akibat yang dihasilkannya.

Ada pelanggaran hukum yang dampaknya hanya diderita pelanggar, seperti penyalahgunaan narkotika, berjudi, pelacuran dan perilaku lain-lain yang menyimpang.

Ada pula pelanggaran hukum yang merugikan orang lain baik dalam jumlah sedikit hingga pelanggaran hukum yang merugikan banyak orang, misalnya kerugian yang diakibatkan oleh perusahaan yang menjual produk membahayakan kesehatan atau bahkan mematikan.

Piramida kejahatan Hagan dapat menjadi masukan tambahan untuk penentuan pemberian prioritas vaksin bagi tahanan dan narapidana.

Prioritas dapat diberikan dengan memberi vaksin pada pelaku kejahatan ringan terlebih dulu sebelum diberikan kepada pelaku kejahatan berat seperti terorisme dan kejahatan luar biasa seperti korupsi.

John Rawls – seorang filsuf politik asal AS – dalam buku A Theory of Justice mengusung “justice as fairness”, yakni sebuah kondisi yang membutuhkan hadirnya keadilan dalam suatu masyarakat plural yang setara.

Menurut Rawls, keadilan merupakan kebajikan utama dalam sebuah institusi sosial. Hal ini juga berlaku pada konteks pemberian vaksin; dalam hal ini negara memiliki peran.

Jika prioritas vaksin untuk tahanan dan narapidana dilakukan dengan layak dan tepat, tentu tidak akan timbul kegaduhan.

Kementerian Kesehatan yang membidangi isu kesehatan dan penanganan COVID-19 haruslah proaktif dan mengedepankan asas keadilan ini dalam distribusi dan pemberian vaksin terhadap tahanan dan narapidana.


Read more: 5 hal penting terkait pengaruh virus corona varian baru dari Inggris masuk Indonesia


Kebijakan yang didukung

Pemberian vaksin terhadap tahanan dan narapidana perlu didukung karena walau bagaimanapun mereka yang sedang menjalani masa hukuman adalah warga negara Indonesia juga. Termasuk di dalamnya adalah tahanan kasus korupsi.

Hanya saja pada kasus ini, tahanan KPK bukan merupakan prioritas penerima vaksin baik berdasarkan situasi penahanan atau dalam konteks berat-ringan kejahatan.

Pemerintah sendiri telah menetapkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

Selanjutnya perlu ada pemeriksaan terlebih dahulu untuk memastikan tahanan KPK masuk dalam kategori kelompok rentan yang perlu segera menerima vaksin.

Kesadaran bersama diperlukan untuk pentingnya memelihara keadilan, dalam hal ini dalam pertimbangan pemilihan prioritas penerima vaksin.

Segala kebijakan pemerintah yang baik, layak, dan terukur tentu akan mendapat dukungan dari masyarakat tanpa keraguan sedikit pun.

Rinaldi Ikhsan Nasrulloh, seorang manajer program di Yayasan Ruang Damai, berkontribusi pada penulisan artikel ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now