Menu Close
Foto karang yang terkena pemutihan di perairan Indonesia. (Shutterstock)

Lebih dari separuh kawasan lindung karang Indonesia bakal alami pemutihan massal pada 2044 akibat perubahan iklim

Artikel ini adalah bagian pertama dari serial peliputan mendalam berbasis sains yang didukung hibah Environmental Reporting from Asia-Pacific Island Countries oleh Internews’ Earth Journalism Network. Bagian kedua dapat dibaca di sini.

Sukding, Kepala Dusun Gili Air di Kawasan Konservasi Perairan Nasional Gili Matra, Nusa Tenggara Barat, tak kesulitan mengenang masa kecilnya kala menyelam di perairan dekat dusun dan bermain-main dengan ikan penghuni terumbu karang. Dahulu, sekitar dekade 80-an, Sukding mengingat kawasan ini kaya akan terumbu karang yang menjadi rumah bagi ikan, udang, maupun biota laut lainnya.

“Seluruh pinggir pantai di pulau ini [Gili Air] dipenuhi karang-karang,” ujar Sukding, 42 tahun, kepada The Conversation Indonesia pada awal Agustus lalu.

Peta Gili Matra di Nusa Tenggara Barat. (Author provided)

Empat dekade berselang, menurut Sukding, kondisi berubah hampir 180 derajat. Terumbu karang di Gili Matra—akronim dari Gili Meno, Gili Air, dan Gili Trawangan, nyaris tumpas. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan 2022 menyatakan luas ekosistem karang di Gili hanya tersisa sekitar 247 hektare (ha) atau sekitar 10% dari total luas kawasan.

Biang keladi kerusakan ini adalah pemanasan suhu laut. Pemutihan karang besar-besaran imbas panas ekstrem dari fenomena El Nino pada 1998 menghabisi tutupan karang yang dahulu mencapai 60-80% di banyak lokasi di Gili Matra. Pemutihan lanjutan kemudian terjadi pada 2010 dan 2016 sehingga kerusakan karang semakin parah.

Masalah tak berhenti sampai di situ. Riset terbaru oleh tim yang dipimpin akademisi University of Edinburgh di Inggris, Laurence De Clippele, memaparkan ekosistem karang Gili Matra akan terdampak pemutihan parah tahunan (annual severe bleaching) akibat perubahan iklim pada 2026. Iklim yang berubah akan memanaskan suhu laut sehingga melampaui daya tahan karang-karang.

Studi yang turut dilakukan Laurence bersama Yayasan World Wildlife Fund Indonesia dan Kementerian Kelautan dan Perikanan ini juga menyatakan pentingnya memasukkan faktor risiko pemanasan suhu laut dalam pengelolaan kawasan konservasi Indonesia.

Apalagi, pemerintah menargetkan perluasan kawasan konservasi dari 28,9 juta hektare (ha) menjadi hampir 100 juta ha pada 2045.

“Tujuan dari riset kami adalah memberikan pengetahuan area-area (konservasi) mana saja yang lebih membutuhkan dukungan,” ujar Laurence kepada The Conversation Indonesia, akhir Juli silam.

Ancaman di tempat perlindungan

Pemutihan karang terjadi karena lepasnya alga zooxanthellae dari permukaan hewan karang. Akibatnya, karang menjadi sekarat lantaran tidak mendapatkan cukup makanan seperti glukosa, asam amino, dan gliserol yang berasal dari alga sehingga karang memutih. Pemanasan laut sekitar 1-1,5°C di atas temperatur normal selama waktu yang lama–sekitar sebulan–merupakan salah satu sebab utama pemutihan karang.

Nah, pemutihan tahunan akan membuat ekosistem karang mengalami masa sekarat setiap tahun. Kejadian ini, menurut Laurence, akan mengancam ratusan ekosistem karang di Indonesia, termasuk di Gili Matra.

Video yang menampilkan proses pemutihan karang dokumentasi National Geographic.

Selain Gili Matra, studi Laurence dan tim menaksir pemutihan tahunan pada 2075 akan terjadi di 160 kawasan konservasi laut lainnya secara bertahap di Indonesia.

Beberapa di antaranya adalah Kawasan Konservasi Perairan Daerah Selat Pantar - Alor di Nusa Tenggara Timur (2026), dan Suaka Alam Perairan Kepulauan Waigeo, Raja Ampat, Papua Barat (2028).

Beberapa kawasan konservasi, termasuk Gili Matra, lebih banyak dihuni oleh karang berjenis acropora. Pakar terumbu karang dari Universitas Mataram, Imam Bachtiar, mengatakan karang jenis ini–meski tergolong yang cepat tumbuh–amat rentan oleh perubahan lingkungan seperti kenaikan temperatur laut.

“Ini jenis karang yang dianggap rentan terhadap panas. Begitu ada bleaching, mati,” ujar Imam.

Kerentanan ini terbukti. Pada Juni lalu, peneliti lembaga penelitian ekosistem laut Yayasan Gili Matra Bersama, Cakra Adiwijaya, mendapati terumbu karang di salah satu titik penyelaman Gili Air, mati karena penyakit skeletal eroding band.

Foto karang yang terkena penyakit ‘skeletal eroding band’ di lokasi penumbuhan karang Han’s Reef Gili Air Lombok pada Mei 2023. (Cakra/Yayasan Gili Matra Bersama)

Penyakit ini menyebabkan karang memutih lalu disertai bintik-bintik hitam–diduga akibat tak tahan panas. Saat itu, menurut Cakra, suhu rata-rata bulanan di perairan Gili matra mencapai 30°C atau lebih tinggi dari suhu rata-rata sekitar 28°C.

“Jadi kayak dia (karang) stres dulu karena suhu terus dia kena penyakit,” tutur Cakra.

Imam mengatakan riset Laurence dan tim menjadi pukulan keras bagi pengelolaan kawasan konservasi perairan. Kawasan ini semestinya menjadi ‘benteng terakhir’ ekosistem penting di laut seperti terumbu karang, hutan mangrove, ataupun padang lamun dari perubahan iklim ataupun aktivitas perikanan.

Imam mengatakan Kementerian harus menyikapi riset ini secara serius. Pasalnya, terumbu karang adalah rumah bagi sekian banyak biota laut termasuk ikan-ikan, hiu, penyu, kepiting, udang, dan sebagainya.

Kerusakan ekosistem karang akan berdampak bagi sektor perikanan dan pariwisata masyarakat setempat. Sebab, sekitar 60% dari total populasi Indonesia bermukim di kawasan pesisir sehingga bergantung pada ekosistem karang yang sehat.

Menjaga karang-karang yang kuat

Studi Laurence dan tim menjadi lampu kuning bagi kelangsungan karang Indonesia di kawasan konservasi. Namun, persoalan ini bukan tanpa jalan keluar.

Studi Laurence menggarisbawahi ada 73 kawasan perlindungan laut dapat berfungsi sebagai thermal refugia–kawasan yang melindungi karang dari pemanasan laut. Beberapa contoh kawasan perlindungan tersebut, yang baru terkena pemutihan setelah 2044, adalah Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Momparang di Provinsi Bangka Belitung dan Suaka Penyu Pesisir Pangumbahan di Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.

Koordinator Nasional Ilmu Kelautan dan Pengelolaan Ilmu Pengetahuan Yayasan WWF Indonesia, Muhammad Erdi Lazuardi, mengatakan bahwa Indonesia juga memiliki 16 dari 50 kawasan ekosistem terumbu karang dunia yang memiliki daya pulih tinggi terhadap pemanasan laut. Ini berdasarkan studi tahun 2018 oleh tim yang dipimpin peneliti University of Queensland Australia, Ove Hoegh-Guldberg.

Salah satu di antara ekosistem terumbu karang kuat tersebut terletak di dalam Kawasan Konservasi Selat Pantar - Alor di Nusa Tenggara Timur. Studi Laurence memperkirakan wilayah ini akan mengalami pemutihan karang tiga tahun lagi.


Read more: Mengenal ARMS: terumbu karang buatan untuk riset keanekaragaman hayati laut


Sementara, studi Hoegh-Guldberg mengatakan karang di Alor lebih tangguh karena lingkungan laut tempat karang tumbuh hanya mengalami sedikit badai dan memiliki risiko kecil terhadap kenaikan temperatur laut. Akhirnya, larva-larva karang dapat tersebar, lalu tumbuh secara optimal.

“Kawasan Konservasi Daerah Alor terletak di kawasan yang mempunyai daya lenting terumbu karang yang tinggi, sehingga jika terjadi coral bleaching di masa depan, diharapkan masih mampu pulih secara alami,” ungkap Erdi.

Walau begitu, Erdi mengingatkan karang yang memutih akan sulit pulih apabila kondisi sekitar tak mendukung. Misalnya terdapat penangkapan ikan tak ramah lingkungan dengan bom dan potasium, polusi perairan, ataupun pariwisata berlebihan dan tidak bertanggung jawab.

Dia menyarankan pemerintah memperkuat patroli dan pemantauan oleh masyarakat di kawasan konservasi, pemulihan karang yang rusak, dan mendorong aktivitas perikanan serta pariwisata yang berkelanjutan.

Pemetaan daya dukung pariwisata di dalam konservasi juga dianggap dia penting untuk memastikan aktivitas manusia tidak mengancam ekosistem terumbu karang.

Peneliti sumber daya pesisir dan pengelolaan lingkungan di Institut Pertanian Bogor, Yonvitner, mengemukakan bahwa akar penyebab pemutihan karang di laut yang disebabkan oleh pemanasan adalah akibat aktivitas manusia di darat, seperti penebangan hutan yang melepaskan gas rumah kaca. Oleh karena itu, untuk memerangi pemutihan karang, mengambil tindakan untuk mengekang degradasi lingkungan dan emisi karbon dioksida menjadi hal yang sangat penting.

“Mengurangi emisi sangatlah penting, tidak hanya dengan mengurangi deforestasi tetapi juga dengan mengurangi penggunaan energi berbasis karbon,” ujarnya.

Langkah ke depan

Kepala Subdirektorat Penataan Kawasan Konservasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Amehr Hakim, mengaku belum membaca seputar riset ini. Namun, dia mengatakan pihaknya menyadari krisis iklim turut mengancam kelestarian karang.

Area karang sehat di Kawasan Konservasi Perairan Nasional Gili Matra. (Robby Irfany Maqoma/TCID)

Untuk mengantisipasi kemerosotan ekosistem karang, Amehr mengatakan Kementerian berusaha meredam aktivitas manusia di dalam kawasan konservasi. Tujuannya agar karang tidak cepat stres sehingga karang yang memutih masih ada kemungkinan untuk pulih.

Kementerian Kelautan menjajal beberapa strategi. Misalnya dengan mengidentifikasi ekosistem karang yang kuat di seluruh Indonesia berdasarkan hasil riset oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 2017 silam.

Hasil riset ini, kata Amehr, digunakan Kementerian sebagai salah satu pertimbangan penentuan kawasan konservasi laut yang baru.

“BRIN menyampaikan beberapa kawasan area di Indonesia yg punya daya lenting tinggi seperti di Anambas (Kepulauan Riau),” kata Amehr.

Usaha lainnya adalah pembatasan kedatangan wisatawan di dalam kawasan konservasi sesuai daya dukung kawasan. Kebijakan ini sedang dirumuskan dalam rencana pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Gili Matra.

Wisatawan antre menaiki kapal di pelabuhan Gili Air. (Robby Irfany Maqoma/TCID)

Pembatasan diperlukan agar kerusakan karang Gili Matra tidak semakin parah. Namun, usaha ini tidak mudah karena berisiko mengganggu perekonomian masyarakat. Apalagi Gili Matra termasuk kawasan pariwisata strategis yang menyumbangkan 45% pendapatan asli daerah Kabupaten Lombok Utara.

“Makanya perlu sosialisasi. Pilihannya mau hancur [ekosistem karang] mau terus usaha?” ujar Amehr.

Kendati demikian, rencana pembatasan ternyata didukung oleh masyarakat setempat. Bahkan, menurut Kepala Dusun Gili Air: Sukding, pembatasan ini pertama kali diusulkan warga pada akhir tahun lalu. Alasannya, masyarakat juga mengkhawatirkan dampak dari serbuan wisatawan yang datang merusak lingkungan dalam jangka panjang.

Menurut Sukding, masyarakat mengusulkan wisatawan harus mendaftar secara daring sebelum masuk ke kawasan Gili Matra. Aktivitas snorkelling ataupun diving juga, kata dia, wajib dibatasi pada jam-jam tertentu saja dengan sistem kuota. Kedatangan wisatawan pun tak boleh hanya di satu titik penyelaman ataupun snorkeling tertentu, tapi tersebar di titik lainnya.

Selain mencegah kerusakan ekosistem karang, Sukding menganggap usulan ini juga dapat memeratakan pendapatan wisata ke warga tiga desa: Gili Trawangan, Gili Air, dan Gili Meno. “Sangat banyak komplain dari teman-teman di Gili Meno karena penumpukan wisatawan (di titik penyelaman dan snorkelling) juga dan tempat mereka rusak semuanya. Terus mereka cuma menonton saja (tidak kedatangan wisatawan),” tutur Sukding.

Jurnalis lepas Moyang Kasih Dewimerdeka turut berkontribusi sebagai penulis dalam artikel ini.

Sukding (warga Dusun Gili Air); Amehr Hakim (Kepala Subdirektorat Penataan Kawasan Konservasi Kementerian Kelautan dan Perikanan); dan Muhammad Erdi Lazuardi (National Coordinator for Marine Science and Knowledge Management Yayasan WWF Indonesia) turut diwawancara untuk kepentingan penulisan artikel ini.

-

CATATAN EDITOR: Paragraf 12 telah mengalami perbaikan pada 17 November 2023 Pukul 11.54 WIB. Sebelumnya tertulis “Selain Gili Matra, studi Laurence dan tim menaksir pemutihan tahunan akan terjadi di 11 dari 161 kawasan konservasi laut lainnya di Indonesia setidaknya mulai 2026.” Kami mohon maaf atas kekeliruan ini.

Ada perubahan judul dan penambahan informasi seputar “thermal refugia” untuk menambah kelengkapan artikel.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now