Menu Close
Wisatawan di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali pada 29 November 2017. Ribuan wisatawan terdampar dan tidak dapat pulang setelah Gunung Agung meletus. Johannes Christo/Reuters

Letusan Gunung Agung: otoritas wisata Bali mengambil risiko rusaknya reputasi demi dolar turis

Gunung Agung di Bali telah aktif sejak September 2017. Intensitas keaktifan gunung api tersebut telah meningkat secara signifikan sepanjang bulan November, hingga pada akhirnya gunung tersebut mulai mengeluarkan asap dan abu pada tanggal 21 November. Namun, Bali Tourism Board baru pada tanggal 27 November 2017 mengumumkan informasi terbaru tentang aktivitas gunung api tersebut dan kemungkinan dampaknya bagi wisatawan.

Sementara itu, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi telah mengeluarkan peringatan tingkat tinggi mengenai Gunung Agung selama lebih dari sebulan. Banyak di antara maskapai penerbangan internasional yang menyediakan layanan ke Bali terpaksa harus membatalkan penerbangan ke dan dari Bali akibat sangat banyaknya abu vulkanik di langit dan di sekitar Bali

Penumpang terdampar

Menurut laporan media, ribuan wisatawan dari luar dan dalam negeri terdampar di Bali menantikan penerbangan keluar baik untuk tujuan internasional atau alternatif tujuan domestik Indonesia.

Maskapai penerbangan memang tunduk pada peraturan ketat berkait terbang di langit yang penuh abu vulkanik. Organisasi Sipil Penerbangan Internasional (ICAO), lembaga PBB yang mengatur tentang keselamatan penerbangan global, melarang maskapai penerbangan untuk terbang di langit dengan abu vulkanik pada tingkat tertentu.

Bahkan banyak maskapai penerbangan menjalankan aturan yang lebih ketat lagi berkait terbang di langit berabu vulkanik. Dalam beberapa hari ini, Qantas, Japan Airlines, KLM, Jetstar, Air Asia, dan Virgin Australia telah menghentikan penerbangan ke dan dari Bali.


Baca juga: Letusan Gunung Agung bisa menghasilkan tanah tersubur di dunia


Otoritas wisata Bali menuai kritik

Bali Tourism Board dan Kementerian Pariwisata Indonesia menerima banyak kritik dari media internasional dan banyak industri perjalanan atas petunjuk mereka yang mengutamakan kepentingan pasar, bukannya para wisatawan.

Sebelum pengumuman 27 November, kedua lembaga masih memberi tahu wisatawan untuk tidak khawatir dengan kondisi Gunung Agung. Memang Gunung Agung berjarak 70 kilometer dari kebanyakan tujuan wisata terkenal Bali, tetapi adalah salah untuk mengatakan bahwa aktivitas gunung api yang terus meningkat tidak akan menimbulkan dampak bagi para wisatawan.

Bali sangat bergantung pada uang wisatawan. Lebih dari 60% perekonomian dan pekerjaan di Bali bergantung secara langsung atau tidak langsung pada industri pariwisata. Di tahun 2016 hampir 5 juta wisatawan internasional berkunjung ke Bali dan wisatawan domestik dapat mencapai 7 juta setahun.

Tetapi, dalam pengelolaan risiko ada dua hal yang tak terpisahkan: kemungkinan dan akibat. Seperti yang disadari oleh banyak ahli gunung api, saat ini terdapat sebuah kemungkinan besar letusan besar Gunung Agung. Akibat dari sebuah letusan adalah pengungsian besar-besaran dari daerah sekeliling gunung.

Akibat lainnya meliputi tercemarnya persediaan air, debu di atmosfer dalam jumlah besar, kerusakan tanaman, dan gangguan transportasi. Selain itu, tantangan menampung pengungsi lokal dan pengunjung yang terdampar akan menciptakan sebuah pengaturan darurat skala raksasa.

Banyak orang menganggap pendekatan otoritas Bali yang mengabaikan ini tidak bertanggung jawab. Bagi banyak pengamat, nampaknya industri pariwisata Bali lebih tertarik dengan aliran uang wisatawan dibanding melaksanakan menjaga keselamatan wisatawan.

Maka tidak heran, banyak wisatawan dibikin bingung oleh pesan tidak jelas dari Kementerian Pariwisata dan Bali Tourism Board bahwa segalanya baik-baik saja. Padahal maskapai penerbangan dan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi telah memberikan peringatan bahaya.


Baca juga: Gunung Agung di Bali berpotensi meletus untuk pertama kalinya dalam 50 tahun


Reputasi jangka panjang lebih penting

Banyak wisatawan di Bali yang mengalami kesusahan atau terdampar di bandar udara, dengan pahit mengeluh di media sosial dan media tradisional. Mereka bersikap kritis terhadap petunjuk menyesatkan yang mereka terima dari agen perjalanan dan Bali Tourism Board yang bertentangan dengan petunjuk dari maskapai penerbangan, penasihat perjalanan pemerintah, dan perusahaan asuransi perjalanan.

Hal ini membuat publik mempertanyakan kualitas dan kejujuran petunjuk dari Kementerian Pariwisata dan Bali Tourism Board bagi wisatawan, agen perjalanan, dan operator wisata. Modal terpenting dewan pariwisata baik nasional atau lokal adalah kepastian bahwa informasinya jujur, tepat, dan dapat dipercaya. Hal ini termasuk memberikan peringatan tentang kemungkinan bahaya bagi wisatawan dan perkiraan yang dapat mereka pakai untuk memperkecil kemungkinan terkena bahaya tersebut.

Ironisnya, saya sedang berada di Bali pada bulan Mei 2017 memberikan sebuah presentasi tentang masalah ini. Waktu itu saya berbicara di Konferensi Anti-terorisme dan Pariwisata milik APEC, yang diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia. Saya mengusulkan otoritas pariwisata agar memberi peringatan pada wisatawan yang berencana berkunjung tentang risiko menyangkut keselamatan (termasuk bencana alam). Pendekatan saya dijadikan salah satu anjuran pokok bagi pemerintah APEC sebagai inti dari konferensi tersebut.

Bali Tourism Board harus belajar dari respons menyesatkan mereka berkait Gunung Agung. Lebih baik mengorbankan bisnis pariwisata untuk jangka pendek dibandingkan selamanya merusak nama baik sebagai penyedia informasi tujuan pariwisata dan pemasaran yang tepercaya dan terhormat.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now