Menu Close
Ilustrasi tindak pidana terorisme. Prazis Images/Shutterstock

‘Mantan’ sebagai mitra: bagaimana mantan ekstremis berperan dalam deradikalisasi dan kontraterorisme

Mengingat tingkat kompleksitasnya, upaya untuk mencegah dan menanggulangi ekstremisme kekerasan (preventing and countering violent extremism) perlu melibatkan berbagai pihak. Anjuran ini telah diatur dalam berbagai panduan program P/CVE yang diterbitkan oleh sejumlah lembaga internasional.

Salah satu pihak yang keterlibatannya mulai diperhitungkan oleh pembuat kebijakan dan praktisi adalah para “mantan”.

Mantan di sini merujuk pada dua kategori. Pertama, para mantan narapidana terorisme yang sudah meninggalkan paham ekstremisme mereka dan kini berperan aktif membantu pemerintah dalam upaya deradikalisasi.

Kedua, mereka yang masih berstatus sebagai narapidana, tapi sudah meninggalkan paham dan kelompok lamanya, dan bersedia membantu “memulihkan” narapidana terorisme lain.

Dalam pencegahan dan penanggulangan ekstremisme, para mantan ini mulai dipandang sebagai “agen perubahan sosial” atau “mitra deradikalisasi”.

Keterlibatan mantan ekstremis dalam pencegahan

Mantan ekstremis dapat terlibat dalam tiga jenis pencegahan.

Pertama adalah pencegahan primer, yakni melalui kontranarasi atau penyampaian narasi alternatif kepada komunitas-komunitas yang rentan terpapar ekstremisme.

Di Jerman, praktik ini dapat ditemukan dalam program EXIT-Germany, sebuah inisiatif untuk membantu siapa saja yang ingin lepas dari paham ekstremisme sayap kanan dan memulai hidup baru, dan Project 21 II, program pembekalan ke sekolah-sekolah mengenai bahaya keterlibatan dalam ekstremisme, yang memberdayakan para mantan penganut paham ekstremisme. Untuk konteks Jerman, mayoritas ekstremis biasanya terkait dengan nazisme, meskipun ada pula ideologi jihadisme.

Narapidana tindak pidana terorisme Darwis (tengah) mencium bendera Merah Putih usai mengucap ikrar setia kepada NKRI di Lapas Kelas II B Tegal, Jawa Tengah. Oky Lukmansyah/Antara Foto

Kedua adalah pencegahan sekunder, yakni dilakukan lewat kontra-narasi dan diskusi dengan orang-orang yang terindikasi sudah terpapar tapi belum melakukan tindak terorisme.

Di Amerika Serikat (AS), para mantan ekstremis bergabung dalam program ExitUSA, program yang dijalankan oleh mantan ekstremis kekerasan untuk membantu mereka yang ingin keluar dari gerakan ekstremisme. Program ini untuk meruntuhkan narasi yang dibangun kelompok ekstrem dan berdiskusi secara daring dengan simpatisan atau anggota kelompok ekstrem guna melunakkan ideologi keras mereka atau mencegah mereka “naik tingkat” menjadi pelaku aksi teror.

Ketiga adalah pencegahan tersier. Ini dilakukan terhadap para narapidana teroris, dengan mengundang para mantan ke suatu penjara untuk mengisi program rehabilitasi melalui dialog moderasi.

Peran para mantan di lapas

Dalam sistem pemasyarakatan, mantan dapat terlibat dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi.

Rehabilitasi adalah rangkaian luas program layanan psikososial yang dirancang untuk membantu narapidana mengatasi perilaku kriminal dan membuat hidup mereka lebih bermakna dan produktif.

Sementara reintegrasi adalah dukungan yang diberikan kepada narapidana selama proses mereka berbaur kembali ke masyarakat. Proses reintegrasi hanya dapat diikuti oleh narapidana yang dianggap sudah dapat dikembalikan ke masyarakat.

Pada proses rehabilitasi, mantan ekstremis dilibatkan sebagai narasumber dalam program dialog antara mantan dengan narapidana teroris.

Di lapas-lapas super ketat, misalnya, terdapat program Safari Dakwah (di Nusakambangan) dan Tim Proklamasi (di Gunung Sindur, Bogor), yang memberdayakan narapidana terorisme untuk kooperatif sebagai narasumber. Kedua program tersebut bertujuan untuk mendukung proses perubahan sikap dan perilaku napi teroris berisiko tinggi melalui dialog intensif mengenai berbagai macam hal, mulai dari ideologi, agama, hingga persoalan pribadi.

Di lapas-lapas berpengamanan lebih rendah, biasanya yang dilibatkan adalah para mantan narapidana terorisme. Mereka diberi kesempatan untuk mengunjungi atau menghubungi narapidana terorisme yang sudah mengalami penurunan risiko.

Komunikasi dengan para mantan ekstremis ini diyakini dapat menjaga dan bahkan menguatkan perubahan sikap dan perilaku yang sudah terjadi. Beberapa mantan ekstremis datang dengan status sebagai ahli agama, beberapa yang lain sebagai teman atau tokoh.

Gelar perkara pengungkapan kasus terorisme oleh Polri. Mohammad Ayudha/Antara Foto

Sementara itu, pada proses reintegrasi, mantan ekstremis turut mendukung program bimbingan dan pengawasan. Beberapa dari mereka secara suka rela mengajak klien teroris lainnya untuk mengikuti program yang diselenggarakan negara.

Di Malang, contohnya, seorang mantan ekstremis yang menjalani hidup sukses setelah keluar penjara berhasil meyakinkan seorang rekannya yang bebas murni (yang kerap diasumsikan masih berisiko tinggi) untuk mengikuti program pebimbingan.

Selain itu, ada organisasi bentukan para mantan napi terorisme bernama Yayasan Dekat Bintang dan Langit (DeBintal) yang menyediakan rumah singgah bagi mantan napi terorisme yang menjalani proses reintegrasi.

Tujuan utama dari adanya rumah singgah ini adalah agar para mantan ekstremis yang menemui masalah selama proses kembali ke masyarakat memiliki komunitas sementara yang dapat menerima mereka. Keberadaan rumah singgah sangatlah penting untuk mencegah mereka mengalami penolakan di masyarakat luas yang ditakutkan akan membuat mereka kembali ke kelompok ekstremisnya.

Apakah para mantan ini kredibel?

Kredibilitas adalah atribut yang harus melekat pada komunikator sehingga pesan yang disampaikannya dapat dipercaya. Kredibilitas ini menjadi faktor pertimbangan kunci bagi stakeholder untuk melibatkan mantan ekstremis dalam program deradikalisasi.

Berangkat dari hal tersebut, mereka dapat dilibatkan sebagai credible voice” atau suara yang kredibel.

Meskipun ukuran kredibilitas dapat didefinisikan secara bervariasi dalam berbagai literatur, elemen-elemen yang hampir selalu terasosiasi dengan kredibilitas adalah persepsi, kompetensi, kepercayaan, keyakinan, karakter, kemampuan, kepakaran, ketergantungan, dan kejujuran.

Pada konteks pencegahan dan penanggulangan ekstremisme kekerasan, dan hasil wawancara dengan sejumlah narapidana teroris, petugas, dan praktisi, kredibilitas mantan ekstremis biasanya dilihat dari beberapa hal, seperti kesamaan mazhab, kedalaman pemahaman agama, pengalaman, dan posisi dalam gerakan atau kelompok.

Olah TKP rumah terduga teroris di Boyolali, Jawa Tengah. Aloysius Jarot Nugroho/Antara Foto

Pada program dialog moderasi di lapas-lapas berpengamanan super ketat, di samping syarat utama sudah kooperatif, mantan ekstremis yang dilibatkan adalah mereka yang memiliki pemahaman agama yang mumpuni, mempunyai posisi penting dalam kelompok, berpengalaman dalam gerakan, berkemampuan persuasi yang baik, serta memiliki garis ilmu yang sama dengan narapidana terorisme peserta program.

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa para mantan ekstremis bisa memainkan berbagai peran penting dalam upaya deradikalisasi; mulai dari sebagai ahli agama, tokoh masyarakat (dalam konteks gerakan teror), teman, hingga pemberi dukungan moril dan psikologis.

Mereka juga dapat membantu perubahan bagi mereka yang masih bimbang apakah mau meninggalkan paham kekerasan dan kelompok lamanya. Bagi mereka yang sudah mengubah sikapnya, para mantan ekstremis juga dapat membantu mempertahankan dan memperkuat perubahan tersebut.

Pertimbangan dalam pelibatan mantan ekstremis

Terlepas dari hal-hal di atas, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelibatan mantan program deradikalisasi.

Pertama, terkait keselamatan. Tidak jarang, mantan ekstremis dianggap sebagai sosok kafir dan dimusuhi oleh mereka yang masih menganut paham ekstremisme karena dianggap telah mengkhianati kelompoknya.

Ketika mereka keluar dari kelompoknya itu, mereka dipandang kehilangan kredibilitasnya. Yang paling berbahaya, mereka juga menerima serangan atau ancaman serangan fisik dari narapidana teroris.

Kedua, adanya kekhawatiran mengenai monetisasi status sebagai mantan ekstremis. Mau tidak mau, harus diakui bahwa para mantan ini mendapatkan insentif dari negara dalam partisipasi mereka. Kebiasaan tersebut dapat berujung pada keengganan untuk terlibat dalam program seandainya tidak ada insentif yang akan mereka peroleh.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now