Menu Close

Maraknya ‘joki’ di dunia pendidikan mengancam integritas akademik mahasiswa Indonesia

Jika kamu adalah seorang mahasiswa dan menghabiskan banyak waktu di internet, kemungkinan besar kamu pernah menjumpai akun atau situs yang menawarkan jasa berbayar untuk mengerjakan tugas kuliah.

Beberapa dari layanan tersebut merupakan bisnis yang tertata, sementara beberapa lainnya adalah operasi perorangan. Apapun bentuknya, jasa “joki” atau yang dikenal secara global sebagai “contract cheating” – istilah yang diperkenalkan dalam studi tahun 2006 dari peneliti Inggris, Thomas Lancaster dan Robert Clarke – adalah ketika pelajar menyewa pihak ketiga untuk menyelesaikan tugas akademik mereka.

Layanan-layanan ini menawarkan keahlian dalam meriset, menulis, atau bahkan jasa teknis seperti membuat perangkat lunak, dan bekerja sesuai permintaan sang pelajar yang membayar. Bisnis-bisnis ini bisa menuai ratusan ribu hingga jutaan rupiah sekali transaksi.

Data terkait layanan joki di Indonesia maupun seberapa sering mahasiswa mengandalkan mereka, masih sangat terbatas. Tapi, untuk memberikan sedikit konteks global, suatu riset tahun 2018 dari Swansea University di Inggris mengungkap bahwa sekitar 15% mahasiswa di seluruh dunia pernah menyewa seseorang untuk menyelesaikan setidaknya salah satu tugas mereka.

Di Indonesia, ada kenaikan dalam prevalensi ketidakjujuran akademik oleh mahasiswa. Hal ini pun terlihat dari melejitnya luaran riset dan literatur yang membahas pentingnya menjaga integritas pelajar di lingkup pendidikan.

Ini terutama sangat tampak dalam lingkungan pendidikan tinggi yang menjadi tempat mahasiswa menjalani pembekalan untuk masuk ke lapangan kerja. Mereka pun diharapkan untuk mulai memiliki rasa tanggung jawab layaknya orang dewasa.

Bahkan, beberapa peluang bisnis yang paling menjanjikan bagi penyedia jasa joki tak hanya meliputi ujian masuk untuk perguruan tinggi negeri atau tugas saat kuliah, tapi juga proses rekrutmen bersama di instansi pemerintah setelah mahasiswa lulus. Saking ketatnya kompetisi masuk ke instansi-instansi tersebut, beberapa orang memilih mencari bantuan pihak ketiga. Pada awal tahun ini, misalnya, muncul laporan tentang penggunaan joki dalam proses rekrutmen bersama Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Mengapa joki marak

Industri joki ada untuk memenuhi kebutuhan para pelajar.

Banyak dari bisnis tersebut memanfaatkan mahasiswa yang kehilangan kepercayaan diri untuk meraih nilai tinggi dalam mata kuliah tertentu. Ini bisa semakin diperparah oleh ekspektasi atau bahkan tekanan dari teman sejawat atau keluarga. Beberapa penyedia jasa lainnya bisa juga melayani klien yang kehilangan gairah untuk memenuhi standar akademik, atau tengah berkutat dengan tanggung jawab di luar sekolah seperti pekerjaan paruh-waktu yang telah menyita waktu dan tenaga mereka.

Ada juga aspek psikologis yang berperan. Para joki kerap mengiklankan jasa mereka dengan dalih “layanan pendukung” atau dengan memakai strategi pemasaran yang menjanjikan mahasiswa lebih banyak waktu untuk bersenang-senang karena beban akademik mereka menjadi berkurang.

Pada esensinya, mereka berupaya memanipulasi mahasiswa untuk menginternalisasi bahwa bertindak curang itu hal yang lumrah. Pasar jasa joki yang terus berkembang juga seolah menciptakan kesan di antara para pelajar bahwa mereka tidaklah berbuat curang, namun sekadar mengikuti tren akademik layaknya teman-teman mereka.

Seperti berbagai bisnis lain, kesukesan komersial dari para penyedia jasa joki bergantung pada kemampuan mereka untuk menawarkan beragam jenis layanan serta memenuhi kebutuhan spesifik para klien. Bahkan, iklan joki sangat mudah kita temui lintas media sosial maupun platform belanja daring (e-commerce).

Contoh jasa joki yang bisa kita temui di media sosial. Author provided

Di media sosial, para penyedia jasa bahkan kerap tak segan-segan menandai (tag) akun resmi institusi dan himpunan mahasiswa. Ditambah lagi, penggunaan layanan joki telah tumbuh pesat sejak pandemi COVID-19. Seiring kegiatan pendidikan tatap muka berhenti dan juga ujian rekrutmen institusi pemerintah berubah menjadi daring, penyedia jasa joki punya kebebasan lebih untuk semakin memperkokoh kehadiran mereka dan beroperasi secara diam-diam.

Ketidakjelasan aturan

Penawaran dan permintaan (supply and demand) bukanlah satu-satunya hal yang memuluskan jalan para bisnis joki. Pengaturan layanan semacam ini dalam hukum Indonesia pun masih abu-abu.

Saat ini, tidak jelas apakah penyedia jasa joki maupun klien mereka bisa dihukum.

Pengamat hukum berpendapat bahwa mahasiswa yang mengumpulkan tugas yang dikerjakan orang lain di bawah nama mereka, bisa jadi telah melakukan suatu bentuk pelanggaran kekayaan intelektual. Namun, ini kemungkinan tak berarti banyak mempertimbangkan bahwa joki bersifat transaksional dan logikanya, para penyedia jasa tak mungkin menuntut kekayaan intelektual mereka mengingat mereka telah dibayar.

Sementara, beberapa pihak lain beranggapan bahwa mereka yang curang bisa dituntut atas penipuan atau pemalsuan di bawah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karena telah mengakui karya orang lain sebagai miliknya demi keuntungan pribadi.

Meski logis, hal ini patut membuat kita bertanya: apakah kriminalisasi adalah solusi yang terbaik? Saat ini, misalnya, masih ada ketidakjelasan terkait definisi spesifik dari contract cheating atau kecurangan akademik menggunakan joki, maupun apakah hukumannya menjerat para penyedia layanan dan/atau pelajar yang membayar.

Selain itu, di tengah maraknya kecurangan berbasis joki yang beroperasi dalam skala kecil maupun besar, sulit membayangkan bahwa aparat penegak hukum akan menggunakan sumber daya mereka yang terbatas untuk mengejar setiap penyedia jasa.

Oleh karena itu, tidak mengagetkan jika praktik-praktik yang serupa dengan joki juga masih ada di negara-negara Persemakmuran yang bahkan telah menerbitkan aturan hukum yang melarangnya. Australia menerbitkan legislasi semacam ini pada 2020 – namun hingga 2022 hanya ada satu penetapan pengadilan (injunction) yang dilayangkan terhadap suatu “pabrik esai” di luar negeri.

Mekanisme dan kerangka etika akademik di Indonesia pun belum sepenuhnya mengakui kecurangan berbasis joki. Istilah terdekat yang digunakan dalam beberapa peraturan menteri adalah “plagiarisme” – yang didefinisikan sebagai pengakuan karya orang lain sebagai karya sendiri.

Tapi plagiarisme dan contract cheating adalah dua konsep yang berbeda; plagiarisme tidak berorientasi pada kesepakatan transaksi jasa dan uang antara kedua pihak.

Plagirasime bisa saja masuk sebagai bagian dalam pengerjaan tugas oleh joki – misalnya ketika joki amatiran mengolah kembali karya mereka untuk berbagai klien berbeda – yang kemudian bisa membuat para mahasiswa ketahuan lewat suatu sistem pengecekan plagiasi kemudian dihukum secara akademik. Tapi, para penyedia jasa joki kini semakin ahli dalam mengantisipasi ini, dan membuat layanan mereka semakin sulit dideteksi.

Meski aturan hukum yang lebih spesifik terkait kecurangan berbasis joki bisa saja membantu, ia tak akan sepenuhnya menghilangkan akar masalahnya. Walaupun hukum bisa jadi mencegah bisnis untuk mengiklankan layanan ilegal dan tidak etis, regulasi tak serta merta mengubah cara pikir atau budaya pelajar dalam melakukan ketidakjujuran akademik.

Yang bisa dilakukan perguruan tinggi

Terlepas dari kompleksitas membasmi kecurangan berbasis joki, ada cara-cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi prevalensinya.

Pelanggaran akademik harus diregulasi dengan jelas di level universitas, ditambah dengan layanan konseling mahasiswa yang dapat diandalkan, agar mereka bisa mengkomunikasikan berbagai kegelisahan akademik ketimbang mencari bantuan eksternal. Institusi juga bisa membuat suatu sistem laporan pelanggaran (whistleblowing system) untuk mengidentifikasi kejadian kecurangan.

Terakhir, penting bagi lingkungan pendidikan tinggi Indonesia untuk mempertimbangkan lebih banyak metrik pengukuran capaian mahasiswa, dan mengeksplorasi beragam metode yang bisa mengevaluasi pemahaman mereka terkait suatu topik – misalnya melalui ujian presentasi (oral exam) – serta melatih kemampuan praktis mereka sehingga bisa sukses menjalani kehidupan setelah lulus.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now