Menu Close

Maraknya TNI terlibat kriminal dan terkena depresi, hasil dari proses seleksi calon prajurit militer yang buruk

Sebanyak 10 unit Meriam Cesar 155 dan 10 unit kendaraan taktis Komodo didatangkan sebagai alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI dalam menjaga kawasan perbatasan Indonesia Timor Leste dan Indonesia Australia.
Kendaraan Meriam Cesar 155 milik Batalyon Artileri Medan. Kornelis Kaha/Antara Foto

Dalam beberapa pekan terakhir, media massa melaporkan sejumlah kasus kriminal yang melibatkan oknum Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan memakan korban jiwa – baik dari institusi TNI sendiri maupun masyarakat sipil.

Contoh kasusnya, seorang prajurit TNI di Maluku menembak dua orang, yakni rekannya sesama anggota TNI – yang tewas di tempat – dan seorang polisi yang merupakan anggota Kepolisian Daerah (Polda) Maluku – yang menderita luka parah dan hingga kini kondisinya masih kritis.

Menurut tim penyelidik dari pihak TNI, dugaan sementara penyebab penembakan itu adalah karena pelaku mengalami depresi berat.

Contoh kasus lain, seorang anggota TNI, Kolonel (Inf) Priyanto, terancam hukuman mati atau penjara seumur hidup atas kasus pembunuhan berencana terhadap dua korban kecelakaan. Kasus ini sempat menggegerkan publik karena kronologinya yang dianggap tidak manusiawi.

Saat itu, pelaku tidak sengaja menabrak kedua korban di daerah Nagreg, Jawa Barat, namun pelaku tidak membawa korban ke rumah sakit terdekat, melainkan membawa keduanya ke Jawa Tengah untuk kemudian membuang tubuh korban di Sungai Serayu. Padahal, menurut hasil autopsi, salah satu korban masih hidup, namun tak sadarkan diri, saat dibuang ke sungai.

Adanya catatan terkait oknum-oknum militer yang bermasalah kemudian menimbulkan pertanyaan terkait kesiapan mental para anggota militer untuk benar-benar menjadi prajurit TNI.

Pertanyaan tersebut kemudian bermuara ke penegasan apakah dari awal proses perekrutan, seleksi hingga penempatan personil TNI sudah efektif?

Minat calon TNI tidak terdeteksi dari awal

Pelanggaran disiplin oleh anggota TNI dapat dikatakan sebagai adanya gejala ketidaksiapan mengikatkan diri dengan tugas-tugas kedinasan. Penyebabnya: proses rekrutmen dan seleksi yang kurang dapat mendeteksi minat dan bakat para calon anggota TNI.

Dalam organisasi publik, proses rekrutmen dan seleksi lebih dikenal dengan istilah pengadaan pegawai, seperti yang tercantum dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Proses ini merupakan tahapan penting, karena akan menentukan individu-individu seperti apa yang nantinya menduduki posisi sebagai abdi negara.

Menurut Professor Samsul Ma’arif, dosen senior bidang Manajemen Sumber Daya Aparatur yang pernah mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi-Lembaga Administrasi Negara (STIA LAN), apabila proses pengadaan pegawai dilakukan dengan benar, maka 70% masalah personalitas calon pegawai, terutama yang terkait kemauan untuk memberikan kontribusi penuh pada pencapaian tujuan organisasi, sudah terselesaikan.

Nantinya, hasil akhir rekrutmen dan seleksi bertujuan untuk mendapatkan personil yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang pas dengan nilai-nilai dasar bela negara yang dianut korps, sehingga personil tersebut dapat menjadi agen perubahan organisasi.

Proses rekrutmen yang baik biasanya terlihat ketika lamaran yang masuk untuk tahap administrasi melebihi jumlah formasi yang dibutuhkan.

Dalam seleksi administrasi, peserta yang bisa lolos ke tahap berikutnya haruslah yang benar-benar terbukti memenuhi kualifikasi awal yang dibutuhkan. Kualifikasi itu sendiri diperoleh dari hasil analisis jabatan yang merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi pelamar.

Dalam tahap ini, tim rekrutmen harus segera menggugurkan pelamar yang tidak memenuhi syarat jabatan, tanpa pandang bulu.

Setelah melalui tahap rekrutmen, maka pelamar yang lolos akan melalui tahap seleksi, di mana ada dua hal penting yang harus diperhatikan oleh tim penyeleksi dalam prosesnya.

Pertama, tim seleksi harus bisa dengan tepat menilai dan memprediksi apakah pelamar nantinya dapat berkembang menjadi prajurit profesional pada masa yang akan datang, dan apakah calon prajurit tersebut memiliki bakat.

Bakat menjadi modal utama bagi calon anggota militer untuk dapat mempelajari dengan cepat tugas dan fungsinya sebagai prajurit TNI. Hal ini karena tugas dan fungsi sebagai prajurit lebih kompleks dan berbeda dengan ASN lain.

Kedua, tim seleksi harus bisa menentukan apakah pelamar memiliki minat atau passion terhadap pekerjaan atau profesi yang akan dijalani ini. Minat pelamar menjadi prajurit harus menjadi panggilan jiwa, sehingga ia rela mengikatkan diri kepada kesatuan sepanjang masa tugas dengan penuh kesadaran dan kebanggaan.

Prajurit yang terpilih berdasarkan bakat dan minat yang tepat akan dapat melaksanakan tugas keprajuritan dengan ikhlas tanpa paksaan, dan itu satu bentuk panggilan dari alam bawah sadar.

Pelaksanaan tugas yang dijalankan tanpa paksaan dapat berkembang menjadi passion yang harmonis, sehingga prajurit tersebut akan merasakan bahwa hidupnya berarti. Dengan demikian, ia akan dengan sendirinya merasa bahagia menjalankan tugas-tugasnya sebagai prajurit. Kondisi ini diyakini ampuh untuk meminimalisir depresi.

Proses seleksi yang ketat dan tepat akan mendukung terciptanya prajurit yang profesional dan merakyat. Prajurit yang merakyat akan mengembalikan kepercayaan rakyat kepada institusi militer.

Kondisi di atas, hanya mungkin dicapai apabila proses rekrutmen dan seleksi calon prajurit benar-benar melihat potensi minat dan bakat mereka, tidak hanya fisik. Proses yang profesional diharapkan akan menghasilkan prajurit-prajurit TNI yang profesional, yang minim keinginan untuk melanggar aturan dan tidak disiplin, tangguh dalam kondisi seburuk apapun, jauh dari depresi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now