Menu Close
Sejumlah warga antri untuk merekam data Kartu Tanda Penduduk Elektronik saat kegiatan Bhakti Sosial Pemerintah Aceh di Desa Bintah, Kecamatan Pasie Raya, Aceh Jaya, Aceh. ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/hp.

Memperbaiki sistem administrasi kependudukan di Indonesia harus mulai dari desa

Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari serial empat artikel tentang pencatatan sipil dan pengelolaan data penduduk di Indonesia yang berjudul “Data yang Mencatat dan Melindungi Semua”

Masih ada sekitar 10,7 juta penduduk atau sekitar hampir 4% dari jumlah total penduduk Indonesia belum tercatat dalam sistem administrasi kependudukan dan belum memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang merupakan kunci pada berbagai dokumen identitas hukum.

Meski jumlahnya relatif kecil, hal ini berakibat fatal karena individu-individu yang tidak tercatat tersebut akhirnya tidak bisa mengakses layanan dan bantuan dari pemerintah. Mereka tidak bisa mengakses layanan kesehatan yang disediakan pemerintah hingga tidak bisa mendapat bantuan sosial dari pemerintah kala pandemi karena keberadaan mereka tidak diakui.

Penelitian kami dari Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA) menjelaskan bahwa penyebab masalah ini bersifat struktural berupa faktor ekonomi, sosial, dan ditambah kurang meratanya kesiapan tata kelola pemerintah yang menghambat warga untuk dapatkan dokumen kependudukan.

Pemerintah sudah mulai mengatasi tantangan ini, dan melalui kerja kami, kami melihat potensi besar desa sebagai pondasi utama dalam menyelesaikan beberapa masalah mendasar. Sebagai unit pemerintahan terkecil dan terdekat dengan masyarakat, desa punya posisi paling strategis untuk membantu warganya memperoleh hak identitasnya, dan mendukung pemerintah untuk memperkuat layanan pencatatan sipil yang juga menghasilkan dan mengelola data administrasi kependudukan.

Artikel ini akan menjelaskan bagaimana mewujudkan identitas hukum universal bisa dimulai dari desa.

Inovasi desa

Penelitian kami menemukan beberapa desa di Aceh Barat dan Pekalongan di Jawa Tengah mulai berinovasi membantu memberikan layanan kepada masyarakat untuk mengurus dokumen kependudukan.

Salah satu desa di Aceh Barat, Gampong Peribu, menggunakan anggaran belanja desa untuk menyediakan layanan administrasi penduduk.

Anggaran tersebut digunakan salah satunya untuk mengangkat, melatih dan membiayai petugas khusus di desa untuk menemukan warga yang belum memiliki dokumen identitas hukum, mendata kebutuhan mereka, membantu proses registrasi, dan menghubungkan kebutuhan ini dengan layanan administrasi kependudukan di Kabupaten/Kota. Anggaran juga digunakan untuk melengkapi kantor desa dengan komputer dan printer.

Fasilitas tersebut bertujuan agar warga tidak perlu bersusah payah ke kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) yang jaraknya mencapai 45 kilometer dari desa tersebut karena terletak di Ibu Kota Kabupaten Aceh Barat.

Dengan anggaran di atas, petugas khusus juga bisa mendatangi warga di tempat tinggalnya.

Walau Disdukcapil telah menggratiskan biaya pengurusan semua jenis dokumen kependudukan, namun penduduk yang ingin mengurus dokumen kependudukan tetap harus mengeluarkan biaya untuk transportasi, konsumsi, dan biaya-biaya lainnya pada saat ke kantor Disdukcapil.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2016 menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga responden (34%) belum memiliki akta kelahiran karena terkendala masalah biaya termasuk biaya untuk transportasi, fotokopi, dan materai.

Jarak yang jauh, minimnya transportasi umum, dan buruknya kondisi jalan semakin menyulitkan masyarakat untuk datang ke kantor Disdukcapil yang biasanya berada jauh di kota dan kabupaten.

Warga penghayat kepercayaan menunjukan kartu identitas yang telah diperbaharui pada kolom Agama menjadi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Balai Desa Singolatren, Singojuruh, Banyuwangi, Jawa Timur. ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/nz

Status sebagian warga yang bekerja sebagai petani atau buruh harian juga menghambat karena artinya mereka tidak bisa mendapatkan upah jika harus ke kantor Disdukcapil untuk mengurus dokumen kependudukan.

Ini kemudian mengapa menyediakan layanan ini lebih dekat kepada masyarakat melalui pemerintah desa adalah salah satu solusi.

Melihat keberhasilan pendekatan tersebut, Bupati Aceh Barat mengeluarkan Peraturan Bupati Aceh Barat Nomor 26 Tahun 2017 agar pemerintah desa mengalokasikan biaya Rp75.000 per dokumen. Ini untuk biaya jasa transportasi petugas khusus untuk jemput bola warga yang hendak mengurus akta kelahiran dan akta kematian di desa-desa di Aceh Barat.

Selain mendekatkan layanan kepada warga, kehadiran petugas khusus di desa juga membantu memberikan pemahaman soal pentingnya dokumen kependudukan bagi warga dan memastikan warga mengetahui cara dan persyaratan untuk mengurus dokumen kependudukan.

Fasilitasi serupa di tingkat desa juga terjadi di Jawa Tengah, tepatnya di Kabupaten Pekalongan.

Melalui Peraturan Bupati Nomor 7 Tahun 2021 , pemerintah desa setempat dapat menggunakan anggaran desa untuk mengangkat satu orang petugas khusus di desa yang bertugas memberikan fasilitas dokumen kependudukan bagi warga yang membutuhkan.

Pemerintah desa di Kabupaten Pekalongan juga menyediakan layanan secara daring.

Namun untuk untuk beberapa desa yang belum terjangkau akses internet, petugas khusus di desa hadir untuk memberikan layanan secara manual. Mereka mengantar berkas permohonan dokumen kependudukan secara manual ke kantor Dinas Kependudukan Kabupaten Pekalongan.

Dasar kebijakan sudah ada, tapi belum cukup

Inisiatif di desa-desa di atas bukan tanpa dasar.

Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menetapkan bahwa desa harus memberikan layanan pelayanan administrasi untuk memenuhi standar pelayanan minimum di desa.

Sementara itu, Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2019 tentang Strategi Nasional Percepatan Administrasi Kependudukan untuk Pengembangan Statistik Hayati telah mendorong pendekatan layanan administrasi kependudukan ke desa dan kelurahan melalui pelayanan yang cepat, terpadu, dan murah, dan keterhubungan pengelolaan dan pemanfaatan data penduduk.

Petugas Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Denpasar melayani warga yang mengurus dokumen administrasi kependudukan dalam Pelayanan Jemput Bola (JB) Pelayanan Langsung Jadi (Pelangi) di Kantor Lurah Pedungan, Denpasar, Bali, ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/wsj.

Pengalokasian anggaran khusus untuk layanan administrasi kependudukan di desa sudah diatur dalam Peraturan Kementerian Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.

Sementara itu Peraturan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2020 juga telah menetapkan prioritas penggunaan dana desa untuk pemutakhiran data kependudukan di desa.

Dasar-dasar hukum di atas adalah bekal yang cukup, namun pemerintah perlu menerjemahkannya dalam praktik dan memperkuat dengan peraturan-peraturan di tingkat daerah.

Misalnya dengan aturan yang dikeluarkan oleh bupati untuk mengatur tentang alokasi anggaran desa dan memberi kewenangan kepada desa.

Dengan adanya peraturan di tingkat daerah yang mengatur teknis maupun kewenangan desa yang lebih spesifik, maka akan lebih mudah bagi pemerintah desa untuk menjalankan layanan administrasi kependudukan di tingkat desa.

Perkuat dukungan pada desa

Meskipun sudah ada beberapa desa yang memberikan layanan administrasi kependudukan kepada warga, masih ada beberapa kendala yang hadir.

Studi PUSKAPA yang dilakukan pada 2019 menemukan bahwa sumber daya manusia dan infrastruktur pendukung layanan masih menjadi hambatan untuk menjangkau seluruh penduduk terutama penduduk di perdesaan.

Sebagai contoh, kebijakan pelayanan administrasi kependudukan secara daring masih terkendala untuk diterapkan di desa-desa yang akses jaringannya belum baik.

Pelayanan keliling oleh Disdukcapil yang seharusnya menjawab permasalahan jarak, waktu, dan biaya belum dilakukan secara lebih rutin.

Untuk daerah-daerah yang memiliki hambatan, pemerintah melalui Disdukcapil perlu menambah anggaran untuk bisa menjangkau masyarakat dan memaksimalkan peran dari pemerintah desa.

Petugas memotret seorang anak saat proses pembuatan Kartu Identitas Anak (KIA) di mobil Layanan Keliling Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil di Desa Muntung, Candiroto, Temanggung, Jawa Tengah. ANTARA FOTO/Anis Efizudin/kye/17

Selain itu, desa juga perlu mengoptimalkan peran dari program-program desa seperti Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos) untuk menghubungkan dengan warga yang membutuhkan layanan pencatatan sipil untuk menerbitkan dokumen sekaligus melengkapi data penduduk.

Kelompok masyarakat seperti Karang Taruna dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), atau lembaga kemasyarakatan lainnya, dapat turut membantu pemerintah desa menjangkau warga yang belum berdokumen untuk kemudian mengurusnya.

Jika kita tidak mengoptimalkan peran dan kewenangan desa dengan baik untuk memperkuat layanan administrasi kependudukan, maka akan selalu ada warga yang tertinggal dan terlambat diakui negara.

Studi-studi dan program yang berkaitan dengan artikel ini terselenggara atas kerja sama PUSKAPA dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan dukungan Pemerintah Australia lewat program KOMPAK (Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan). Sebelumnya, studi terkait juga didukung oleh AIPJ (Kemitraan Indonesia-Australia untuk Keadilan).

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now