Menu Close
Presiden Joko “Jokowi” Widodo (tengah) berjalan kaki di Lapangan Gasibu, Bandung, Jawa Barat, Minggu 4 Februari 2024. Hafidz Mubarak A/Antara Foto

Mempertanyakan kembali netralitas Jokowi dalam Pemilu 2024

Belakangan ini sikap Presiden Joko “Jokowi” Widodo kerap membuat gaduh publik. Mulai dari indikasi keberpihakannya terhadap salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) dengan cara mengotak-atik aturan, hingga pernyataannya bahwa seorang presiden boleh berpihak dan berpolitik, yang kemudian ditafsirkan oleh publik sebagai “boleh berkampanye”.

Jokowi merujuk pada Pasal 299 dalam Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye selama, seperti yang diatur dalam Pasal 281, tidak menggunakan fasilitas negara dan mengajukan cuti di luar tanggungan.

Pernyataan ini jelas menimbulkan polemik publik, membuat masyarakat bertanya-tanya kapasitas Jokowi sebagai presiden dan kepala negara.

Barangkali memang secara aturan tidak ada yang bermasalah, tetapi di luar itu semua, hal yang perlu kita nilai juga adalah perihal etika dan moral.

Dari rangkaian kontroversi yang ditampakkan Jokowi dari mulai memasuki tahun pemilu, publik perlu secara kritis mempertanyakan kembali netralitas Jokowi dalam kapasitasnya sebagai presiden.

Mempertanyakan etika

Persoalan ini sudah muncul sejak dimulainya polemik mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia capres-cawapres yang oleh publik dianggap sebagai strategi untuk bisa meloloskan anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju sebagai cawapres.

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kanan) dalam kegiatan serah terima alutsista pesawat dari pemerintah untuk TNI di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu 24 Januari 2024. Galih Pradipta/Antara Foto

Etika dan moral adalah dua aspek yang sama-sama melingkupi hukum. Artinya, hukum tidak bisa dipahami secara leksikal atau lateral apa adanya.

Beberapa minggu lalu, Mahfud MD, kandidat cawapres yang juga mantan hakim MK, sempat mengeluarkan kutipan ikonik bahwa hukum harus diletakkan pada konteks sosial untuk menguak kebenaran sebenar-benarnya.

Lalu, apakah pernyataan Jokowi tersebut benar?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus meletakkan jabatan presiden sebagai jabatan publik. Jabatan publik bukannya tidak melibatkan aspek politik di dalamnya. Tentu ada aspek politik dalam setiap jabatan publik, termasuk presiden. Salah satunya terkait konstituennya.

Pada saat pencapresan, konstituen seorang capres adalah masyarakat dalam cakupan nasional, bukan koalisi partai politik, dan bukan segelintir kalangan atau kelompok tertentu saja. Ini karena dalam sistem pemilu elektoral, seorang capres harus memperoleh suara lebih dari 50% untuk bisa memenangkan pilpres.

Artinya, presiden dalam kapasitasnya sebagai presiden terpilih harusnya sepenuhnya sudah menjadi representasi rakyat secara keseluruhan, bukan beberapa kelompok kepentingan.

Disinilah arti dari netralitas. Netral bukan berarti buta terhadap konflik kepentingan yang terjadi di masa pemilu.

Justru dalam beberapa hal, sosok yang netral sangat paham akan benturan kepentingan dan mampu menjadi jawaban jalan tengah atas konflik kepentingan.

Dalam hal ini, semestinya presiden mampu menjadi sosok pemimpin yang paham akan kepentingan-kepentingan yang ada, mengingat semua pasangan calon (paslon) adalah mantan mitra kerjanya. Sayangnya, presiden gagal memahami pemaknaan konstituen.

Gagal paham Jokowi

Gagalnya pemahaman akan konstituen ini membuat situasi sosial politik kita saat ini porak poranda. Banyak pihak yang kemudian meradang atas pernyataan Jokowi, seolah-olah pemimpin yang seharusnya mengayomi seluruh pihak tanpa terkecuali malah berpaling kepada kepentingan tertentu.

Garis konstituen Jokowi sebagai presiden pun seakan dilanggar oleh dirinya sendiri. Hal seperti ini pernah terjadi pada masa Orde Baru, era yang dikenal lekat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme.

Wajar jika publik memperdebatkan apa yang diucapkan oleh Jokowi terkait seorang presiden boleh berpolitik. Presiden dianggap lupa diri terhadap aspek moral dan etika dalam regulasi.

Pernyataan sikap civitas academica UIN Syarief Hidayatullah atas penyelenggaraan pemerintahan dan Pemilu 2024 di Kampus UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Muhammad Iqbal/Antara Foto

Padahal, Jokowi dulunya dikenal sebagai sosok yang merakyat, peka sekali dengan keadaan sosial, humanis, dan menjadi antitesa dari oligarki.

Masih lekat di ingatan publik bagaimana Jokowi saat masih menjadi Walikota Solo melakukan pendekatan intens kepada masyarakat ketika akan melakukan relokasi pedagang kaki lima di Solo, Jawa Tengah. Ini membuat Jokowi dikenal sebagai sosok yang gemar blusukan dan mendatangi masyarakat, meskipun secara regulatif, blusukan tersebut merupakan bagian dari upaya untuk menggusur.

Sosok merakyat dan blusukan Jokowi kini makin tergerus, dan justru memunculkan kekhawatiran akan kembalinya era otoriter yang melanggengkan oligarki.

Kini nasi sudah menjadi bubur. Hal yang dapat dilakukan Jokowi, setidaknya di sisa masa jabatannya yang akan segera berakhir bulan Oktober nanti, adalah dengan pembuktian bahwa dirinya sebagai kepala negara tidak memanfaatkan fasilitas negara sebagai bagian dari kampanye.

Publik akan sulit melupakan bagaimana Jokowi mengintervensi MK untuk membangun dinasti politiknya, tapi setidaknya pembuktian tersebut akan meyakinkan publik bahwa Jokowi dalam kapasitasnya sebagai Presiden tidak menyalahgunakan fasilitas negara lebih jauh lagi.

Masih banyak masyarakat yang menganggap Jokowi sebagai pemimpin yang berkesan dan berpihak pada pembangunan-pembangunan nasional, terutama di daerah-daerah luar Jawa. Dia sebaiknya tidak menyia-nyiakan kepercayaan ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now