Menu Close
Makna Zaezar/Antara

Mengapa ‘ambisi hijau’ proyek biodiesel dan PLTU dapat memperburuk emisi Indonesia

Konferensi iklim tahunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau COP27 di Sharm el Sheikh, Mesir, turut membicarakan persoalan energi sebagai isu utama dalam upaya global memangkas emisi gas rumah kaca.

Berdasarkan catatan Badan Energi Internasional (IEA), sektor energi dan proses industri merupakan penyebab utama perubahan iklim dengan kontribusi emisi sebesar 89% dari total emisi global selama 1990-2021.

Pemerintah pun tak mau ketinggalan untuk menanggapi momen ini. Berdasarkan komitmen pengurangan emisi terbarunya, (yang biasa disebut dengan Nationally Determined Contribution/NDC) 2022, Indonesia menargetkan pemangkasan emisi sektor energi hingga 358 juta ton setara karbon dioksida (MTCO2e) atau 12,5% dari total target pengurangan emisi nasional pada 2030. Target tersebut lebih besar dibandingkan versi NDC 2021 yang hanya sebesar 314 MTCO2e atau 11%.

Berdasarkan rencana pemerintah, pemenuhan target akan disokong oleh beberapa program. Dua di antaranya adalah program pemanfaatan bahan bakar nabati hingga 40% (B40) dari saat ini 30% (B30) untuk campuran bahan bakar solar atau biodiesel, dan pemakaian biomassa (bahan bakar dari material tumbuhan seperti kayu) maupun sampah untuk menyalakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) – dikenal sebagai program co-firing.

Sekilas, dua program ini seperti terlihat ‘hijau’ lantaran memakai sumber daya terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi di tanah air. Padahal, jika dilihat lebih dalam, program biodiesel dan co-firing PLTU justru berisiko merusak langkah Indonesia memangkas emisi gas rumah kaca.

Artikel ini akan menjabarkan alasannya.

Risiko deforestasi dari biodiesel

Uji coba program biodiesel 40% atau B40 oleh Kementerian ESDM. ESDM

Produksi biodiesel saat ini menggunakan bahan baku tunggal, yakni minyak nabati dari kelapa sawit. Melalui program B30, tahun ini pemerintah Indonesia akan menggunakan 10,1 juta kiloliter minyak nabati untuk dicampurkan ke dalam solar.

Sementara, dalam program B40, pemerintah memperkirakan kebutuhan minyak nabati akan mencapai 18 juta kiloliter pada 2030.

Namun, penggunaan program biodiesel sebagai salah satu aksi meredam emisi sektor energi sangatlah berisiko. Pasalnya, kebijakan biodiesel hanya bertumpu dari minyak sawit. Komoditas ini diketahui sebagai salah satu komoditas pendorong deforestasi terbesar.

Kajian yang kami lakukan pada tahun 2022 bahkan menemukan emisi produksi biodiesel dari hulu hingga hilir justru berpotensi lebih tinggi 6 kali lipat dibandingkan bahan bakar fosil. Pasalnya, selama ini perluasan sejumlah perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan merambah hutan dan lahan gambut. Sistem produksi dan pengelolaan limbah yang tidak berkelanjutan juga menjadi penegas jejak hitam industri sawit.


Read more: Kerusakan hutan akibat sawit bisa dipulihkan melalui praktik "jangka benah", apa itu?


Temuan di atas dipertegas dalam kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI yang menyatakan, kebutuhan minyak nabati dalam skenario B50 berpotensi mendorong pembukaan lahan sawit baru hingga 2025. Kebutuhan lahannya diprediksi sebesar 9,29 juta hektare atau setara dengan 70% dari luas areal produksi kelapa sawit tahun 2019. Ini berpotensi mendorong konversi hutan alam dan lahan gambut menjadi perkebunan sawit.

Risiko ini jelas bertentangan dengan target pemangkasan emisi sektor kehutanan dan penggunaan lahan di tingkat global maupun domestik.

Solusi semu co-firing PLTU

Sejak beberapa tahun silam, pemerintah gencar mengkampanyekan metode bahan bakar ganda (co-firing) PLTU untuk menambah penyerapan karbon oleh hutan sekaligus mengurangi emisi dari pembakaran batu bara.

Penyerapan karbon dilakukan dengan penanaman komoditas hutan tanaman energi seperti akasia, sengon, dan kaliandra. Setelah dewasa, tanaman ini ditebang untuk diolah menjadi bahan bakar berupa pelet kayu demi mengurangi penggunaan batu bara dari PLTU.

Pembangkit listrik berbasis biomassa di University of Missouri, AS. Kyle Spradley/Flickr

Berdasarkan rencana PT PLN, ada 52 PLTU berkapasitas 18.895 MW yang akan menerapkan co-firing. Targetnya, 10% listrik yang dihasilkan dari PLTU berasal dari bahan bakar non-batu bara.

Namun, alih-alih memanfaatkan lebih banyak limbah padat, kebijakan co-firing malah ditopang oleh pelet kayu, jumlahnya sekitar 8 juta ton per tahun. PLN menaksir pemanfaatan limbah padat yang berasal dari sampah dan limbah sawit hanya sebesar 900 ribu ton per tahun.

Strategi ini amat disayangkan karena, berdasarkan studi, biomassa pelet kayu justru memiliki faktor emisi yang lebih besar dibandingkan batu bara. Faktor emisi ini dihitung berdasarkan seluruh aktivitas terkait biomassa, mulai dari pembukaan lahan, pemanenan, hingga distribusi dan pengolahan.

Pelet kayu juga memiliki intensitas karbon yang lebih besar dari batu bara. Sebab, PLTU akan membutuhkan volume pelet lebih banyak karena material ini memiliki kadar air lebih tinggi dan nilai kalor lebih rendah.

Karena kondisi di atas, sejumlah pihak, termasuk di antaranya organisasi akademisi Eropa: The European Academies Science Advisory Council, meminta pemanfaatan energi berbasis biomassa dihentikan.

Konsesi hutan tanaman di Bengkalis, Riau. Teguh Aqsha/Wikimedia

Studi terbaru lembaga advokasi isu lingkungan Trend Asia menunjukkan, kebijakan hutan tanaman energi juga tak efektif menyerap karbon. Studi ini menyimpulkan emisi karbon yang diserap hutan tanaman energi (yang ditanam di bekas hutan alam) jauh lebih rendah dibandingkan hutan alam yang masih terjaga.

Isu ini patut dipertimbangkan karena, berdasarkan data tutupan lahan versi platform Mapbiomas Indonesia, sekitar 1,3 juta atau 38% dari total luas hutan tanaman Indonesia sebesar 3,5 juta hektare (per 2019) merupakan bekas hutan alam.

Studi berbeda juga menunjukkan bahwa pemanenan komoditas hutan energi berkontribusi pada pelepasan karbon dari tanah yang terganggu.


Read more: Deforestasi memanaskan suhu lokal hingga 4,5 ℃ dan menyebar ke sekitarnya sampai radius 6 km


Gembar-gembor pemakaian biomassa untuk PLTU juga berisiko memicu deforestasi. Ini sudah terjadi di Jambi, di mana perusahaan yang berafiliasi dengan industri bubur kertas Korea Selatan memegang konsesi hutan tanaman sebesar 32 ribu ha – sebagian di antaranya merupakan hutan alam.

Perusahaan tersebut lantas mengambil kayu dari hutan alam di konsesinya, tapi tak melakukan penanaman. Lahannya dibiarkan begitu saja. Praktek seperti ini berisiko marak apabila pemerintah menggenjot kebijakan hutan tanaman energi tanpa batasan yang jelas.

Langkah perbaikan

Berbagai upaya pemerintah untuk menekan emisi sektor energi perlu diapresiasi. Namun, harus ada strategi agar upaya pemangkasan emisi di suatu sektor tidak menambah emisi di sektor lainnya.

Seorang pekerja mengumpulkan minyak jelantah yang diperoleh dari sejumlah hotel dan restoran di Bali untuk diproses menjadi bahan bakar minyak (BBM) biosolar di Denpasar, Bali. Antara

Untuk biodiesel, pemerintah dapat mempertimbangkan diversifikasi bahan baku sebagai alternatif minyak kelapa sawit. Alternatif penggunaan limbah, seperti minyak jelantah, dapat dipertimbangkan. Material ini dapat mengurangi ketergantungan program biodiesel Indonesia terhadap minyak sawit sekaligus menghasilkan emisi yang lebih rendah..

Selain itu, pasokan minyak jelantah di Indonesia juga melimpah. Berdasarkan hasil penelitian kami pada 2022 (belum dipublikasikan), terdapat potensi ketersediaan minyak jelantah nasional sebanyak 1,2 juta kiloliter yang dapat dikumpulkan dari sektor rumah tangga dan usaha mikro. Angka tersebut bisa lebih jumbo apabila ditambahkan dengan minyak jelantah dari sektor hotel, restoran, dan cafe (horeca), serta industri makanan.

Sama dengan biodiesel, pembakaran biomassa untuk co-firing PLTU juga mesti berorientasi pada pemanfaatan limbah, misalnya cangkang sawit yang jumlahnya mencapai 11,3 juta ton setahun. Pemerintah dapat mengevaluasi kebijakan ekspor cangkang sawit untuk mengoptimalkan penggunaannya di dalam negeri.

Pemerintah Indonesia pun perlu menerapkan kebijakan safeguards untuk menjaga kelestarian hutan alam dari perambahan akibat program co-firing. Melalui kebijakan ini, pemerintah dapat menerbitkan aturan yang membatasi pengembangan hutan tanaman energi hanya di lahan kritis.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now