Menu Close

Mengapa kampanye anti-konsumsi daging satwa liar di era COVID-19 gagal?

Babi hutan mati yang ada kapal kecil
Babi hutan yang baru saja diburu dan dibawa pulang ke desa di Kalimantan. Paul Hasan Thung, Author provided

COVID-19 kemungkinan berasal dari virus yang berpindah dari binatang liar ke manusia.

Sehingga, beberapa organisasi konservasi menggunakan pandemi ini sebagai bagian kampanye melawan perburuan dan konsumsi satwa liar untuk mencegah transmisi penyakit zoonosis di masa depan.

Namun, riset kami dengan masyarakat adat di Indonesia menemukan bahwa beberapa kampanye anti-konsumsi satwa liar saat ini mengacuhkan satu persoalan utama.

Banyak masyarakat adat melihat COVID-19 sebagai isu baru dan modern, yaitu sebuah masalah yang berhubungan dengan kehidupan baru dan tidak terkait perburuan tradisional.

Atas alasan ini, pesan anti-satwa liar yang terinspirasi dari fenomena COVID-19 tidak bisa meyakinkan kelompok tersebut, dan sangat mungkin tidak berhasil.

Salah satu peneliti dari tim kami, Paul Thung, sedang melakukan studi lapangan bersama dengan masyarakat adat Dayak di pulau Kalimantan, sejak akhir 2019.

Organisasi konservasi di daerah tersebut mencoba membujuk masyarakat pedesaan menghentikan perburuan dan konsumsi satwa liar seperti babi hutan, rusa, luwak, landak atau bahkan orang utan.

Poster berbahasa Indonesia dengan kartun orang gua makan daging.
Poster peringatan bahaya mengonsumsi daging liar. Paul Hasan Thung, Author provided

Poster ini adalah contoh yang baik.

Dimulai dengan peringatan soal virus corona (“WASPADA terhadap penularan penyakit coronavirus [COVID-19]”), lalu adanya bahaya umum tentang penyakit zoonosis (“Apakah Anda tahu ada banyak penyakit yang menular ke manusia melalui konsumsi hewan liar? Salah satunya CORONAVIRUS”), lalu saran untuk berhenti makan satwa liar (“Dengan semua risiko ini, apakah Anda masih ingin mengonsumsi daging hewan liar?”).

Contoh serupa dapat dilihat pula di tempat lain di Kalimantan dan di seluruh dunia.

Saat ini, belum banyak informasi tentang efek dari COVID-19 yang berhubungan dengan kampanye konservasi di lapangan.

Akan tetapi, di beberapa tempat di Kalimantan setidaknya, pesan ini tidak berpengaruh.

Sebaliknya, masyarakat dan penjaga hutan di tempat Paul meneliti melaporkan peningkatan perburuan beberapa bulan belakangan.

Untuk memahami hal ini, kita harus menganalisa persepsi lokal terhadap COVID-19.

Percakapan tentang pandemi

Selama observasi lapangan, Paul berpartisipasi dan merekam berbagai percakapan tentang asal dari coronavirus.

Secara mengejutkan, ia menemukan bahwa argumen zoonosis –COVID-19 berasal dari satwa liar– disambut dengan keraguan.

Sebaliknya, narasumber yang berasal dari suku Dayak banyak yang beranggapan bahwa virus ini dibuat oleh manusia, yaitu misalnya oleh ahli yang mengembangkan senjata biologis.

Mungkin mudah menyatakan klaim tersebut sebagai teori konspirasi.

Meski demikian, sebagai ahli antropologi, kami berusaha memahami logika lokal.

Dengan melakukan itu, kami dapat menemukan beberapa ketidakcocokan antara argumen zoonosis yang dipakai para konservasionis dan pengalaman pedesaan Dayak dan persepsi tentang COVID-19.

Pertama, argumen zoonosis menempatkan praktik tradisional suku Dayak sebagai sebuah permasalahan.

Argumen ini menyatakan bahwa satwa liar yang diburu Dayak selama berabad-abad mengandung banyak penyakit yang dapat membahayakan orang yang memakannya.

Namun, kesimpulan bahwa masyarakat Dayak harus berhenti berburu dan mengonsumsi satwa liar tidak sejalan pengalaman mereka yang lebih panjang dan nampaknya tidak pernah mengalami masalah.

Hal ini juga bersinggungan dengan mata pencaharian mereka karena daging satwa liar adalah sumber penting protein dan pendapatan.

Seorang pria memotong daging di pinggir sungai ditemani oleh anjing dan ayam.
Porsi tangkapan setelah perjalanan berburu. Paul Hasan Thung, Author provided

Kedua, beberapa penduduk di area ini melihat COVID-19 sebagai fenomena modern yang berpusat di daerah urban dan lebih makmur.

Masyarakat di Kalimantan, dan tempat lainnya, sangat peka akan manfaat dan kerugian dari “kemajuan” dan modernitas.

Meskipun semua orang ingin kemajuan –untuk mendapatkan uang, menikmati fasilitas dan infrastruktur “modern”–, perubahan seperti ini membawa masalah dan risiko.

Infrastruktur transportasi, misalnya, meningkatkan mobilitas pengusaha dan wisatawan, tapi juga mengundang pengerukan sumber daya alam yang berlebihan, pencuri dan virus.

Seperti yang dikatakan seorang narasumber kepada Paul: “Corona naik pesawat juga.”

Maka, ketika pandemi terjadi, banyak masyarakat Dayak pedesaan menanggapinya dengan kembali ke tradisi, bukan meninggalkannya. Banyak orang yang telah bekerja atau belajar di kota-kota kembali ke desa mereka.

Pekerjaan fisik di hutan dan lahan dan mengkonsumsi makanan alami, termasuk satwa liar, digambarkan sebagai cara untuk menjaga kesehatan.

Dari beberapa orang yang berbicara dengan Paul, mereka berargumen bahwa virus, yang tampaknya berkembang di tempat lebih dingin dan kota-kota dengan AC, akan mati di luar ruangan di bawah Matahari.

Mengubah pembicaraan

Kegagalan penerjemahan ini memberikan pelajaran penting bagi para konservasionis.

Yang krusial, ini mengingatkan kita bahwa konservasi harus dipandu oleh pihak dan pengalaman lokal di lapangan.

Ketimbang sekadar mengedukasi orang lain, pihak konservasi perlu lebih dahulu mendidik diri sendiri tentang kondisi dan perhatian spesifik masyarakat lokal.

Ini berarti mencari tahu apa yang masyarakat lokal menganggap sebagai masalah (COVID-19 sebagai penyakit urban dan modern, misalnya) sebelum bekerja bersama mereka untuk menemukan solusi melalui pendekatan yang lebih sesuai.

Dalam kasus ini, konservasionis mungkin bisa mengubah perhatian dari asal COVID-19 ke kekhawatiran masyarakat lokal tentang kondisi (modern) yang membuatnya menular.

Mereka juga bisa menentukan cara untuk memitigasi dampak yang timbul, misalnya kesulitan ekonomi.

Upaya tersebut tidak akan mencapai tujuan langsung untuk mengurangi perburuan dan konsumsi satwa liar. Tapi, mereka bisa saja memiliki dampak jangka panjang yang lebih produktif.

Di pedesaan Kalimantan, konservasionis terkadang disebut-sebut lebih peduli terhadap satwa ketimbang manusia. Masyarakat bisa mengenali kampanye konservasi oportunis dengan sangat mudah.

Namun, pandemi COVID-19 ini menjadi peluang bagi konservasionis untuk membuktikan komitmen mereka pada kesejahteraan masyarakat lokal.

Membangun hubungan jangka panjang berbasis rasa saling percaya dan menghormati membuat konservasi punya peluang yang jauh lebih besar untuk berhasil dalam jangka panjang.


Artikel ini diadaptasi dari Pokok, sebuah blog tentang konflik manusia-orangutan di Kalimantan.


Wiliam Reynold menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now