Menu Close
Anak-anak bermain sepeda di depan spanduk gerakan pencengahan COVID-19 di Desa Ilie Ulee Kareng, Banda Aceh, 22 Mei 2021. ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/foc.

Mengapa kasus COVID-19 pada anak naik drastis? Ini 5 faktor penyebabnya

Peningkatan angka kasus infeksi dan kematian akibat COVID-19 pada anak sangat mengkhawatirkan. Direktur Eksekutif Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) Henrietta Fore bahkan mengatakan saat ini di dunia setiap menit ada sekitar empat anak usia di bawah lima tahun meninggal akibat dampak langsung dari COVID-19.

Di Indonesia, secara nasional hingga Juni 2021, angka kematian anak akibat SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19, mencapai 676 kasus (1,2% dari total kematian). Sedangkan jumlah anak yang telah terinfeksi sekitar 250 ribuan anak (12,6% dari total kasus).

Artinya, sejak SARS-CoV-2 pertama kali masuk ke Indonesia, pada Maret 2020, hingga akhir Juni 2021, rata-rata setiap harinya ada 500-an anak yang terinfeksi dan 1-2 anak yang meninggal akibat COVID-19 di Indonesia.

Kondisi yang lebih mengkhawatirkan, menurut hasil riset terbaru Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), adalah tingginya risiko kematian anak yang memiliki gejala berat hingga 40%.

Persentase jumlah kasus dan kematian anak akibat COVID saat ini memang belum setinggi yang terjadi pada kelompok usia lainnya. Namun, jika masalah ini tidak diwaspadai, bom waktu lonjakan kasus infeksi dan kematian pada anak bisa meledak.

Setidaknya ada lima faktor yang dapat memicu ledakan kasus COVID pada anak yakni:

  1. tren peningkatan kasus secara umum,
  2. mutasi virus,
  3. tingginya kasus klaster keluarga,
  4. anak sebagai populasi rentan yang tidak terlindungi, dan
  5. kapasitas fasilitas kesehatan bagi anak yang terbatas.

Tren peningkatan

Saat ini jumlah kasus positif pada anak usia 0-18 tahun terus memperlihatkan tren naik. Pada Juli 2020, pemerintah melaporkan kasus infeksi pada anak hanya 5% dari total kasus.

Jumlah ini lalu meningkat pada Desember 2020 menjadi 11,3%. Selanjutnya pada akhir Juni 2021 naik lebih tinggi menjadi 12,6% dari total kasus.

Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah tercatat sebagai daerah dengan angka kasus infeksi yang melebihi rata-rata persentase nasional. Di Jawa Barat, ada lebih 53 ribu anak yang telah terinfeksi atau 15,2% dari total kasus.

Sedangkan di Jawa Tengah, persentase kasus pada anak tercatat sebesar 12,8% atau hampir 30 ribu anak.

Pada pertengahan Juni, di DKI Jakarta sekitar 16% atau 661 kasus dari 4.144 kasus aktif pada hari itu terjadi pada anak-anak. Sebanyak 144 kasus di antaranya anak di bawah usia lima tahun.

Pada kelompok anak jumlah kasus terbesar terjadi pada usia 7-12 tahun dan 16-18 tahun. Namun angka kematian terbesar terjadi pada kelompok umur 0-2 tahun, diikuti oleh kelompok usia 16-18 tahun.

Tidak hanya di Indonesia, saat ini peningkatan jumlah kasus infeksi virus corona pada anak juga terjadi di berbagai negara.

Sebuah studi dari Imperial College of London menemukan bahwa pada periode 20 Mei hingga 7 Juni di Inggris jumlah kasus COVID-19 pada anak usia 5-12 tahun naik lima kali lipat dibanding periode waktu sebelumnya.

Fenomena yang sama terjadi di Amerika Serikat.

Menurut American Academic of Pediatrics, sejak pandemi dimulai, kasus infeksi pada anak mewakili 14,2% dari total akumulasi kasus di sana.

Namun pada Juni hingga pekan kedua, telah terjadi lonjakan kasus yang sangat signifikan. Selama dua pekan tersebut, kasus COVID pada anak-anak mencapai 24,6% dari kasus COVID-19 mingguan baru yang dilaporkan.

Mutasi virus

Seiring dengan perkembangan pandemi COVID-19, beberapa mutasi virus corona telah muncul dan terus berlanjut. Saat ini, menurut Badan Kesehatan Dunia, varian delta menjadi kasus dominan di seluruh dunia.

Varian delta kini telah menyebar ke 92 negara, termasuk Indonesia. Varian delta saat ini telah menyebabkan lebih dari 60% kasus baru di Inggris dan 10% di Amerika Serikat.

Sebuah studi menunjukkan varian delta sekitar 60% lebih menular daripada alfa, padahal varian alfa lebih menular daripada jenis asli yang muncul pertama di Wuhan, Cina, pada akhir 2019.

Pada anak, varian ini diduga menjadi salah satu faktor meningkatnya kasus pada saat ini. Menurut Anthony Fauci, Direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular Amerika, anak-anak “lebih mungkin terinfeksi” dengan varian delta jika dibandingkan dengan varian alfa karena lebih mudah menular.

Klaster keluarga tinggi

Saat ini klaster keluarga masih mendominasi sumber penularan yang terjadi pada anak-anak.

Sejak awal Maret 2020 hingga 24 Juni 2021, misalnya, telah ada 4.224 anak yang dilaporkan positif COVID-19 di Kabupaten Bogor dengan klaster keluarga sebagai sumber penularan terbesar.

Selanjutnya pada periode 14 hingga 20 Juni 2021, di DKI Jakarta ada 10.967 kasus konfirmasi positif virus corona yang berasal dari klaster 912 keluarga.

Anak menjadi salah satu populasi yang rentan dalam keluarga. Aktivitas orang tua di luar rumah seharian berpotensi membawa virus masuk ke dalam rumah. Penularan mudah terjadi karena protokol kesehatan sangat rendah dijalankan di tingkat rumah tangga.

Populasi rentan yang tidak terlindungi

Berbeda dengan kelompok lanjut usia dan masyarakat dengan penyakit penyerta, anak sebagai salah satu populasi rentan saat ini memiliki risiko tertular virus corona lebih tinggi.

Setidaknya ada dua faktor utama penyebab. Pertama, sulitnya perilaku kepatuhan anak dalam menerapkan protokol kesehatan dalam aktivitas keseharian mereka. Kedua, belum berjalannya program vaksinasi pada seluruh kelompok umur anak. Saat ini izin penggunaan vaksin darurat baru dikeluarkan hanya untuk kelompok umur 12-17 tahun.

Kapasitas fasilitas kesehatan anak terbatas

Dalam perawatan kesehatan di rumah sakit, anak yang terinfeksi COVID-19 memerlukan bantuan orang tua untuk mendampingi khususnya bagi mereka yang masih bayi dan balita.

Hal ini menyebabkan perawatan anak yang terinfeksi tidak semudah perawatan orang dewasa. Rumah sakit memerlukan sumber daya yang lebih banyak, mulai dari ruangan isolasi khusus hingga keperluan alat pelindung diri yang lebih banyak.

Dalam kondisi berat, perawatan anak untuk usia 0-28 hari dilaksanakan di ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) dan anak usia 1-18 tahun di ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU).

Ketersediaan tempat tidur di ruang NICU dan PICU di rumah sakit jauh lebih sedikit dibanding ruang ICU untuk orang dewasa. Maka, akan sangat berbahaya jika terjadi lonjakan kasus anak.

Berdasar data RS Online Kementerian Kesehatan, di seluruh Indonesia, jumlah tempat tidur ICU untuk orang dewasa mencapai hampir 8.000-an tempat tidur. Sedangkan, NICU hanya ada 4.000-an dan PICU 1.000-an lebih.

Perlu diingat bahwa kapasitas tempat tidur ini tidak dapat dipakai seluruhnya karena juga digunakan oleh pasien non-COVID.

Mari kita melindungi anak

Pemerintah harus segera mengambil langkah cepat dan terukur untuk mencegah ledakan kasus COVID-19 pada anak. Mendekati dimulainya tahun ajaran baru sekolah bulan depan, pemerintah daerah perlu betul-betul memastikan kesiapan dan kelayakan daerahnya dalam melaksanakan pembelajaran tatap muka.

Daerah yang masuk Zona Hijau bukan jaminan rendah penularan COVID, mengingat kapasitas testing kita yang masih sangat rendah untuk mendeteksi kejadian kasus sebenarnya di masyarakat.

Studi nasional periode Desember-Januari menemukan bahwa kasus COVID-19 di masyarakat diperkirakan jauh lebih tinggi (15% persen dari populasi) dibandingkan angka yang dirilis oleh pemerintah melalui Kementerian Kesehatan yang kurang dari 1% populasi.

Program vaksinasi bagi kelompok anak usia 12-17 tahun juga perlu untuk segera dilaksanakan.

Selain aspek keamanan, pemerintah harus segera menyusun strategi komunikasi untuk meningkatkan kepercayaan dan penerimaan orang tua untuk vaksinasi anak. Kita berharap nantinya program vaksinasi anak tidak berjalan di tempat seperti yang terjadi pada kelompok lansia saat ini.

Peran orang tua sangat sentral. Orang tua perlu meningkatkan kepatuhan protokol kesehatan mereka khususnya pada saat mereka kembali ke rumah dari aktivitas di luar rumah.

Orang tua perlu mengurangi aktivitas anak di luar rumah dan mulai mendidik dan membiasakan anak untuk menerapkan protokol kesehatan ketika mereka terpaksa harus beraktivitas di luar rumah. Ini tidak mudah. Mari kita mulai.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now