Menu Close
POJ THEVEENUGUL / shutterstock

Mengapa manusia berevolusi dengan penis yang besar tapi testisnya kecil?

Manusia memiliki penis yang jauh lebih panjang dan lebih lebar daripada kera besar lainnya. Bahkan gorila terbesar sekalipun, yang beratnya dua kali lipat manusia, memiliki penis hanya sepanjang 2,5 inci (6,35 cm) saat ereksi.

Namun, testis kita lumayan kecil. Testis simpanse memiliki berat lebih dari sepertiga berat otaknya, sementara testis kita kurang dari 3%. Ukuran relatif penis dan testis kita tergantung pada strategi perkawinan kita, dan dapat memberikan beberapa wawasan mengejutkan ke dalam budaya manusia purba.

Primata menunjukkan berbagai macam perilaku kawin, termasuk monogami, poligini - jantan memiliki banyak pasangan - dan multijantan-multibetina. Salah satu indikator perilaku mana yang terjadi pada suatu spesies adalah perbedaan ukuran antara jantan dan betina. Semakin besar dimorfisme (ciri perbedaan jenis kelamin) seksual ini, semakin besar kemungkinan perkawinannya adalah poligini atau multi jantan dan multi betina. Hal ini dapat ditunjukkan dengan mengamati simpanse dan gorila, kerabat terdekat kita yang masih hidup.

Organ seksual kera besar, dibandingkan dengan ukurannya (bonobo berdada rata hingga hamil). Mark Maslin, The Cradle of Humanity, Author provided

Simpanse jantan jauh lebih besar daripada betina, dan mereka memiliki sistem perkawinan multi-jantan dan multi-perempuan. Pada dasarnya, simpanse jantan melakukan hubungan seks setiap saat dengan betina mana pun dan dengan alasan apa pun. Oleh karena itu, seekor betina dapat mengandung sperma dari beberapa pasangan pada satu waktu, yang membuat sperma itu sendiri - dan bukan hanya hewan yang memproduksinya - berkompetisi secara langsung. Karena alasan ini, simpanse telah berevolusi dengan testis yang besar untuk menghasilkan sperma dalam jumlah besar, beberapa kali sehari.

Gorila jantan juga jauh lebih besar daripada betina, tapi mereka memiliki sistem perkawinan poligini atau harem, yakni banyak betina hidup dengan satu jantan. Dengan sedikit atau bahkan tidak ada persaingan di dalam rahim, gorila tidak memerlukan perlombaan testis untuk memfasilitasi produksi lebih banyak sperma. Oleh karena itu, testis mereka relatif kecil. Hal ini mirip dengan manusia modern, yang testisnya juga berukuran sangat kecil dan memproduksi sperma dalam jumlah yang relatif sedikit. Bahkan jumlah sperma manusia berkurang lebih dari 80% jika laki-laki berejakulasi lebih dari dua kali sehari.

Simpanse memiliki testis yang sangat besar untuk ukuran mereka. Steffen Foerster / shutterstock

Penis manusia berukuran besar jika dibandingkan dengan milik kerabat terdekat kita: simpanse, gorila, dan orang utan. Namun, ahli primata Alan Dixson dalam bukunya yang sangat rinci, Primate Sexuality, menyatakan bahwa jika kita melihat semua primata, termasuk monyet, hal tersebut hanyalah angan-angan belaka.

Pengukuran komparatif menunjukkan bahwa penis manusia tidak terlalu panjang. Babon Hamadryas, misalnya, yang berasal dari Tanduk Afrika, memiliki penis ereksi dengan panjang 5,5 inci (hampir 14 cm) - sedikit lebih pendek dari rata-rata penis manusia jantan, tapi beratnya hanya sepertiga dari berat kita.

Beberapa penis kompleks yang ditemukan pada primata yang kawin dengan banyak jantan dan banyak betina, seperti simpanse (h), lemur coklat (a) atau kera (d, e, f). Alan F. Dixson, Primate Sexuality

Penis manusia sebenarnya sangat tumpul - tidak memiliki benjolan, tonjolan, flensa (pinggiran luar yang menonjol seperti pipa gas), kekusutan, atau fitur menarik lainnya yang dimiliki oleh primata lain. Pada primata, kurangnya kerumitan penis ini biasanya ditemukan pada spesies monogami.

Misteri monogami

Pengamatan ini berbenturan dengan fakta bahwa laki-laki secara signifikan lebih besar daripada perempuan. Hal ini menunjukkan latar belakang evolusi kita melibatkan perkawinan poligini yang signifikan, bukan hanya monogami. Hal ini didukung oleh data antropologi yang menunjukkan bahwa sebagian besar populasi manusia modern terlibat dalam pernikahan poligini. Antropolog Clellan Ford dan Frank Beach dalam buku mereka yang berjudul Patterns of Sexual Behaviour menyatakan bahwa 84% dari 185 budaya manusia yang mereka data terlibat dalam poligini.

Primata dengan penis yang lebih sederhana cenderung monogami seperti tamarind (a) atau poligini seperti gorila (g). Alan F. Dixson, Primate Sexuality

Meski demikian, bahkan dalam masyarakat seperti ini, kebanyakan orang tetap monogami. Pernikahan poligini biasanya merupakan hak istimewa yang hanya diperuntukkan bagi laki-laki berstatus tinggi atau kaya. Perlu dicatat bahwa masyarakat pemburu-pengumpul di seluruh dunia hanya mempraktikkan monogami atau monogami serial yang menunjukkan bahwa nenek moyang kita mungkin telah menggunakan sistem perkawinan ini.

Namun, sekilas, tampaknya masuk akal bagi pejantan untuk bereproduksi dengan sebanyak mungkin betina. Monogami pada manusia telah lama membingungkan para antropolog, dan banyak upaya telah dilakukan untuk mencari tahu apa yang membuat jantan tetap bertahan.

Tiga teori utama telah diajukan. Pertama, kebutuhan akan pengasuhan dan pengajaran dari orang tua dalam jangka panjang, karena anak-anak kita membutuhkan waktu yang lama untuk menjadi dewasa. Kedua, para pejantan perlu menjaga betinanya dari pejantan lain. Ketiga, anak-anak kita rentan untuk waktu yang lama dan pembunuhan bayi bisa menjadi risiko dari pejantan lain. Jadi, untuk memastikan bahwa anak-anak dapat mencapai kedewasaan, pejantan cenderung tetap tinggal untuk melindungi mereka, baik secara sosial maupun fisik. Ini mungkin alasan mengapa jantan mempertahankan ukuran relatif mereka yang lebih besar.

Babon Hamadryas memiliki penis yang sangat panjang. المُصوّر: مُعتز توفيق إغباريّة, CC BY-SA

Jika kita melihat evolusi sistem perkawinan monogami pada manusia melalui lensa masyarakat manusia, jelas bahwa dibutuhkan upaya sosial yang sangat besar untuk mempertahankan dan melindungi lebih dari satu pasangan pada satu waktu. Hanya ketika pejantan memiliki akses ke sumber daya dan kekuatan tambahan, mereka dapat melindungi beberapa betina, biasanya dengan memastikan pejantan lain melindungi mereka. Jadi, monogami tampaknya merupakan adaptasi untuk melindungi pasangan dan anak-anaknya dari pejantan lain. Monogami ini diperkuat oleh tingginya biaya sosial dan stres yang ditimbulkan jika mencoba melakukan hal ini untuk beberapa pasangan, dan telah didukung oleh norma-norma budaya.

Jadi, ketika hidup dalam masyarakat manusia yang kompleks, organ seksual terbesar dan terpenting adalah otak. Di suatu tempat pada masa lalu evolusi kita, seberapa cerdas dan sosial kita menjadi kontrol utama pada akses kita ke pasangan seksual - bukan seberapa besar atau mewahnya penis laki-laki.


Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now