Menu Close

Mengapa militer lekat dengan citra represif? Menelisik sejarah militerisme Indonesia, Myanmar dan Thailand

Prajurit Kopasus TNI AD mengikuti kegiatan Peleton Beranting Yudha Wastu Pramuka Jaya di Temanggung, Jawa Tengah, Senin 18 Desember 2023. Anis Efizudin/Antara Foto

Bagi beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Myanmar, militer memegang peranan besar dalam perkembangan politik di dalam negeri.

Sejarah Indonesia menjadi contoh yang mencolok, dengan rezim militer yang berkuasa selama tiga dekade akhirnya mengalami proses transisi menuju demokrasi pada akhir tahun 1990-an.

Thailand juga menjadi salah satu contoh negara yang militernya terlibat dalam perubahan konstitusi, sebuah bentuk kudeta yang cenderung “halus” untuk membuat diri mereka bisa turut masuk dalam proses pengambilan keputusan politik. Hal ini menciptakan dinamika politik yang unik di negara tersebut, yang membuat militernya memainkan peran penting dalam politik nasional.

Di sisi lain, ada negara seperti Myanmar yang militernya (junta militer) jelas memperlihatkan tindakan represif, menggunakan kekerasan demi mengintervensi pengambilan keputusan nasional. Kini pasukan bersenjata di Myanmar telah memegang kendali politik dan menekan oposisi politik serta perlawanan sipil dengan kekerasan, yang berujung pada pelanggaran prinsip demokrasi.

Rezim militer pada dasarnya tidak memiliki fondasi politik yang kokoh, sering kali cenderung mengarah pada pemerintahan otoriter yang mengekang kebebasan sipil dan politik. Inilah mengapa militer maupun angkatan bersenjata lekat dengan citra represif dan pelanggaran HAM, meskipun fungsi militer tetap krusial sebagai alat pertahanan negara.

Penting untuk dicatat bahwa peran militer dalam kekuasaan suatu rezim, khususnya pada periode pasca-Perang Dunia II, tidak bersifat monolitik atau kaku. Variasi peran militer terlihat secara jelas dalam konteks regional Asia Tenggara.

Hal ini yang menunjukkan bagaimana meski pernah atau masih dikuasai rezim militer, Indonesia dan Thailand-yang tergolong dalam ASEAN 5 (lima negara dengan ekonomi paling maju di ASEAN)-memiliki stabilitas politik dan ekonomi yang berbeda dibandingkan dengan Myanmar.

Era militer Orde Baru di Indonesia

Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada akhir pemerintahan kolonial Belanda dan pendudukan Jepang pada 1945. Sejak itu, negara ini telah mengalami serangkaian peristiwa reformasi dan transformasi yang signifikan, termasuk perkembangan angkatan bersenjatanya.

Tentara Nasional Indonesia (TNI), sebelumnya dikenal sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), didirikan pada 1945 dengan tugas utama melindungi dan mempertahankan negara. Peran ini sangat penting selama perjuangan dalam melawan invasi Belanda setelah Jepang meninggalkan Indonesia. Situasi ini membentuk dasar indoktrinasi keterlibatan militer-sipil dalam politik Indonesia.

Namun, ketika TNI gagal mendapatkan peran yang memuaskan sesuai dengan aspirasinya, krisis politik dan ekonomi selama masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) menjadi peluang bagi militer Indonesia untuk terlibat dalam politik.

Peristiwa ini bertepatan dengan serangkaian ketegangan antara militer, kelompok Muslim radikal dan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965.

Krisis ini mencapai puncaknya melalui kudeta yang dipimpin oleh Suharto pada tanggal 30 September 1965. Apa yang sebenarnya terjadi dalam pemberontakan tersebut dan bagaimana keterlibatan militer di dalamnya masih menjadi perdebatan, namun hal ini sukses menaikkan Suharto, yang kala itu menjabat Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad), ke tampuk kekuasaan dan menggeser Sukarno.

Suharto kemudian berkuasa sebagai presiden pada 1967. Ia berkuasa selama 32 tahun dan menjadi penguasa terlama sepanjang sejarah Indonesia. Masa pemerintahan Suharto, sebagai sebuah rezim otoriter, beroperasi dengan kultur politik dan birokrasi yang kental akan dominasi militer di Indonesia.

Represifnya rezim militer Suharto terlihat dari rentetan pembungkaman, baik terhadap masyarakat sipil maupun media massa, atas kritik-kritik progresif.

Selama masa Suharto, militer memainkan peran kunci sebagai tulang punggung negara dan organisasi politik terbesar di Indonesia. Melalui Konsep “dwifungsi ABRI”, militer dilibatkan secara kuat, tak hanya dalam pertahanan namun juga dalam urusan sipil dan birokrasi negara.

Ini berlangsung hingga periode awal era refomasi tahun 1998 yang ditandai dengan jatuhnya rezim Suharto.

Rezim militer di Thailand

Sejak pengakhiran monarki absolut pada 1932, militer menjadi faktor penting dalam perkembangan sejarah politik Thailand. Negara tersebut menyaksikan serangkaian kudeta militer dan ketegangan politik yang memengaruhi perjalanan demokrasi di negara ini.

Masa penting dalam politik Thailand adalah saat Thaksin Shinawatra menjadi Perdana Menteri (PM) pada akhir tahun 1990-an. Selama era kekuasaannya, terjadi penurunan tajam dalam upaya demokratisasi, termasuk krisis keuangan tahun 1998 dan kemenangan partai Thai Rak Thai yang dipimpin Thaksin dalam Pemilu 2001.

Kemenangan ini menciptakan perpecahan sosial yang memicu konflik antara kelompok pro-monarki, seperti People’s Alliance for Democracy (PAD), dan kelompok pro-demokrasi, seperti United Front for Democracy Against Dictatorship (UDD).

Tegangan politik berujung pada kudeta militer pada 2006, pertama kalinya militer langsung mengintervensi untuk menghentikan proses pemilu yang dianggap akan membawa Thaksin kembali berkuasa.

Konflik sosial ini menghambat stabilitas politik dan pemilu selama beberapa tahun. Baru pada tahun 2011, melalui kesepakatan antara kelompok antirezim, militer, dan monarki, Yingluck Shinawatra, saudara perempuan Thaksin, naik menjadi PM.

Krisis politik tahun 2013-2014, termasuk protes antipemerintah Shinawatra dan munculnya gerakan seperti People’s Democratic Reform Committee (PDRC) yang mendukung monarki, memaksa pembubaran parlemen dan pemilu lebih awal.

Namun, pemilu tidak terlaksana karena kudeta militer oleh National Council for Peace and Order (NCPO) yang dipimpin oleh Jenderal Prayuth Chan-o-Cha. Thailand kemudian berada di bawah rezim militer hingga tahun 2019.

Penting untuk dicatat bahwa kudeta tahun 2014 berbeda dari kudeta tahun 2006 karena peran kuat militer dalam pemerintahan dan perubahan konstitusi tahun 2017 yang memberikan keuntungan besar kepada militer dalam pemilihan PM. Ini mencerminkan evolusi peran militer dalam proses politik Thailand.

Peran militer yang signifikan ini masih terlihat dalam Pemilu 2019 dan 2023, yang menunjukkan bagaimana pemilihan PM tetap bergantung pada Senat yang memiliki anggota yang banyak berasal dari militer dan polisi. Ini mencerminkan keberlanjutan peran kuat militer dalam politik Thailand dan kerumitan lanskap politik di negara ini.

Apa yang berbeda dari rezim militer di Myanmar

Pada 1962, pemerintahan PM Myanmar pertama, U Nu, dijatuhkan melalui kudeta oleh militer. Sebabnya, kebijakan ekonomi U Nu dianggap sebagai pengkhianatan terhadap prinsip sosialisme yang seharusnya menjadi landasan ideologis rezim tersebut.

Pascakudeta, Myanmar mengalami perubahan sistem politik menjadi rezim satu partai yang dikuasai oleh militer. Selama berlakunya sistem ini, militer memegang peran signifikan dalam mengendalikan aspek ekonomi negara.

Hari ini, peranan politik militer Myanmar tampak semakin kompleks dengan serangkaian kudeta dan kekerasan yang dilakukan Junta militernya.

Hal inilah menyebabkan Myanmar cenderung sulit membangun perekonomiannya dan menjadi salah satu negara yang tertinggal di Asia Tenggara karena masih harus terjebak dalam konflik domestiknya.

Memang, Indonesia dan Thailand pun mengalami kudeta militer. Lalu mengapa keduanya mengalami perkembangan ekonomi yang jauh lebih baik daripada Myanmar?

Perlu digarisbawahi bahwa peran militer di antara ketiga negara tersebut memiliki dinamika yang berbeda.

Di Indonesia dan Thailand, peran militer cenderung berubah dari “penjaga” menjadi “penguasa”. Di Myanmar, militernya dari awal, dan selalu, tetap memegang peran praetorianisme alias memberikan pengaruh politik yang berlebihan dan cenderung kejam.

Apalagi, Myanmar juga mengalami rentetan kegagalan dalam memperbaiki maupun menjamin kestabilan politik, terutama pada masa pemerintahan Aung San Suu Kyi, terkait isu serius genosida yang melibatkan etnis Rohingya.

Di Indonesia dan Thailand, militer tidak hanya berperan sebagai penjaga keamanan tetapi juga dapat mengemban peran dalam birokrasi. Sementara di Myanmar, peran militer murni bersifat praetorian, menunjukkan kecenderungan untuk mempertahankan status quo tanpa adanya dialog yang substantif dengan pihak oposisi.

Meski begitunya, ketiganya sama-sama memiliki pengalaman kudeta militer. Artinya, aktor militer mengambil tindakan tanpa persetujuan institusi sipil demokratik.

Lekatnya militer dengan penggunaan senjata membuat mereka tampak selalu menyelesaikan persoalan dengan unjuk kekuatan dan praktik represif, mengabaikan proses demokrasi, kerap mengesampingkan hak-hak sipil dan mudah terjerumus ke dalam pelanggaran HAM ketika masuk ke ranah politik.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now