Menu Close

Mengapa negara-negara ASEAN perlu mengumpulkan dana bersama untuk memberantas penangkapan ikan ilegal?

IUU fishing di ASEAN.
Jaring ikan menutupi terumbu karang di taman nasional laut Thailand. Suwat Sirivutcharungchit/shutterstock

Di wilayah kemaritiman Asia Tenggara, terdapat lebih dari sepuluh juta nelayan berpotensi terimbas praktik perikanan ilegal.

Penggunaan alat tangkap ilegal dan bom untuk aktivitas perikanan tanpa izin menghantui nelayan-nelayan lokal yang harus menghadapi dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan dari praktik tersebut.

Pada Mei, Indonesia menjadi tuan rumah dari perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang ke-42 yang diselenggarakan di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Pertemuan regional tersebut menghasilkan kesepakatan untuk melindungi pekerja migran, mencegah perdagangan manusia, dan mengatasi praktik perikanan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU fishing) di wilayah ASEAN.

Namun demikian, kesepakatan dan pembahasan terdahulu untuk mengatasi praktik perikanan ilegal di kawasan nyatanya masih sangat kurang efektif akibat terganjal berbagai macam tantangan.

Pemberantasan praktik perikanan ilegal membutuhkan langkah konkret ketimbang hanya kesepakatan yang bersifat normatif antarelit. Sebagai seorang peneliti yang fokus pada kebijakan maritim, energi dan isu regional, saya menyarankan agar ASEAN membentuk dana bersama (joint fund) untuk mengatasi praktik perikanan ilegal. Lewat mekanisme ini, ASEAN dapat mewajibkan setiap anggotanya berkontribusi secara finansial untuk membiayai program-program yang dibutuhkan untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut.

Besarnya kerugian ekonomi, sosial, dan lingkungan

Perjuangan untuk melawan praktik perikanan ilegal di ASEAN menghadapi beberapa rintangan, termasuk kepentingan nasional antara sepuluh negara anggota yang kerap bertabrakan.

Sulit untuk mengukur kerugian secara kuantitatif kerugian yang timbul dari praktik perikanan ilegal di negara-negara Asia Tenggara, terlebih lagi memberikan solusi efektif untuk mengatasinya.

Jumlah kerugian ekonomi dari perikanan ilegal di kawasan diperkirakan mencapai angka mencengangkan, yakni US$6 miliar (Rp 91,08 triliun) pada 2019. Kerugian ini melebihi keseluruhan pendapatan dari sektor perikanan di Asia Tenggara, yang diperkirakan mencapai US$48,65 juta (Rp 738,19 milir) pada 2020.

Namun demikian, perlu dicatat bahwa cukup susah untuk memverifikasi perkiraan kerugian tersebut. Setiap negara mengadopsi metode yang berbeda untuk mengukur kerugian dari praktik perikanan ilegal. Belum lagi, mengingat potensi kerugian biasanya diukur berdasarkan pada ukuran tonase kapal dan potensi volume muatan. Sangat sulit untuk mengidentifikasi keseluruhan nilai kerugian pada setiap kapal ikan ilegal.

Sementara itu, setiap negara juga memiliki luasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), wilayah perairan laut tempat nelayan lokal bisa berlayar dan mencari ikan, yang beragam dan dengan perbedaan signifikan. Sebagai contoh, Indonesia dengan perairan paling luas di kawasan berpotensi menderita kerugian paling besar dibandingkan negara anggota ASEAN lainnya.

Di luar implikasi ekonomi, praktik perikanan ilegal turut menyebabkan dampak sosial yang berat. Hal ini utamanya berasal rekrutmen ilegal yang menyasar para nelayan dari Asia Tenggara. Tanpa perlindungan, para pekerja kerap terjebak dalam berbagai macam bentuk penyiksaan. Dampak sosial – seperti beban psikologis terhadap awak kapal yang mengalami penyiksaan selama mereka berlayar – sangat sulit diukur dari perspektif keuangan.

Tak hanya itu, IUU fishing juga erat dengan kerusakan lingkungan dan polusi laut. Sebab, praktik dalam perikanan ilegal kerap melibatkan metode dan penangkapan ikan secara berlebih, yang turut menambah permasalahan yang harus diselesaikan ASEAN.

Tanpa mengetahui secara pasti dampak dari IUU fishing, baik dari segi biaya ekonomi maupun dampak nonekonomi, akan sulit untuk mencapai solusi praktis karena tidak adanya kesamaan indikator yang bisa digunakan untuk mengukur total kerugian.

Kepentingan nasional yang tak sejalan

Setiap negara anggota tentu memiliki kepentingan nasional masing-masing, sehingga sulit untuk fokus pada kepentingan regional.

ASEAN telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah penangkapan ikan secara ilegal dan kegiatan kriminal lainnya yang terkait dengan IUU fishing. Hal ini termasuk membuat pedoman untuk mencegah masuknya ikan dan produk perikanan yang bersumber dari penangkapan ilegal ke dalam rantai pasokan perikanan pada 2015.

Namun, kesepakatan regional bisa kurang bertaji, terutama ketika hal tersebut bertabrakan dengan kepentingan nasional masing-masing negara anggota.

Sebagai contoh, masih ada kapal ikan asal vietnam yang menangkap Ikan di perairan kaya sumber Natuna, Indonesia, meski kedua negara telah menuntaskan diskusi intensif mengenai batas ZEE yang berlangsung hingga 12 tahun pada Desember 2022. Selain itu, temuan dari Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) menunjukkan adanya dugaan bahwa kapal penjaga perairan Vietnam melindungi kapal perikanan mereka yang melaut di Indonesia. Hal ini menunjukkan lemahnya komitmen terhadap kesepakatan yang sudah dibuat.

Pemantauan dan penjagaan laut teritorial membutuhkan anggaran yang berbeda di setiap negara. Ini menyebabkan setiap anggota ASEAN hanya menjalankan dan mengutamakan kepentingan nasionalnya.

ASEAN membutuhkan rencana aksi yang konkret, termasuk menciptakan dana bersama IUU fishing yang dapat digunakan untuk mengembangkan rencana kerja regional dalam memberantas praktik penangkapan ikan ilegal, dan membantu mengongkosi pemantauan dan penjagaan areal laut di kawasan.

Merancang skema dana bersama ASEAN

Kurangnya komitmen untuk mengumpulkan sumber daya di antara negara-negara anggota bisa jadi penyebab lambatnya progres dalam memerangi penangkapan ikan ilegal di kawasan.

Meski telah ada perjanjian untuk memerangi masuknya ikan dan produk perikanan ilegal dalam rantai pasok, tanpa adanya kewajiban keuangan, dampak dari kesepakatan ini akan sangat terbatas.

Kehadiran dana bersama kawasan berpotensi menjembatani kepentingan nasional yang saling tumpang tindih di antara negara-negara ASEAN.

Dengan mengikat anggota melalui komitmen keuangan, solusi yang ditawarkan tidak akan terlalu berpusat pada negara dan lebih fokus pada tindakan yang perlu dilakukan pada tingkat regional.

Model pendanaan bersama bisa terinspirasi dari COVID-19 ASEAN Response Fund, yang menyediakan dana keuangan untuk membuat program penanganan pandemi di antara anggota ASEAN.

Sebagai contoh, ASEAN dapat merancang dana bersama setiap tahun, mirip dengan anggaran negara, untuk mengakomodasi program-program yang diperlukan dalam memberantas IUU fishing. Dari dana tersebut, ASEAN dapat mendiskusikan dan membuat program untuk mencegah, memantau, dan mengawasi penangkapan ikan ilegal, sehingga target lebih mudah tercapai. Program-program tersebut bisa mencakup pembiayaan patroli laut, edukasi nelayan tentang praktik penangkapan ikan yang berkelanjutan, dan pemberantasan perekrutan ilegal.

Di antara skenario pendanaan yang memungkinkan untuk dilakukan adalah anggota ASEAN menyumbangkan dana berdasarkan luas wilayah laut dan kebutuhan perikanan masing-masing negara anggota. Tetapi, ini tidak berarti bahwa negara anggota yang tak memiliki atau hanya memiliki sedikit akses laut dikecualikan dari kesempatan untuk berkontribusi.

Penangkapan ikan ilegal merupakan masalah regional, dan terdapat beberapa laporan yang menunjukkan bahwa warga negara Laos dan Kamboja ditemukan di antara awak kapal penangkap ikan yang mengalami perbudakan – meskipun Laos tidak memiliki wilayah laut dan Kamboja memiliki perairan laut yang relatif terbatas.

Jika ASEAN menuntut setiap anggotanya untuk mengambil tindakan melawan IUU fishing tanpa mewajibkan komitmen keuangan dari masing-masing negara anggota, perang terhadap penangkapan ikan ilegal hanya akan menjadi pertempuran yang selalu berakhir pada kekalahan.

Artikel adalah bagian dari proyek ‘Blue Security’ yang dipimpin oleh La Trobe Asia, University of Western Australia Defence and Security Institute, Griffith Asia Institute, UNSW Canberra dan the Asia-Pacific Development, Diplomacy and Defence Dialogue (AP4D). Pandangan yang diungkapkan semata-mata dari penulis dan tidak mewakili Maritime Exchange, Pemerintah Australia, atau pemerintah negara mitra kerja sama.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now