Menu Close
A person plants a mangrove tree surrounded by saplings at high tide.

Mengapa restorasi kawasan pesisir tak bisa diandalkan untuk menebus emisi karbon kita

Dewasa ini penyerapan ratusan miliar ton emisi karbon menjadi langkah penting agar kita bisa menghindari dampak terburuk perubahan iklim. Penggunaan solusi alami untuk mencapai tujuan ini, dengan mengusahakan habitat alami tumbuh kembali, sepertinya menjadi solusi win-win bagi lingkungan dan iklim Bumi.

Endapan di bawah hutan mangrove, rawa air asin, dan padang lamun menyimpan begitu banyak karbon yang sudah terpendam di sana selama ratusan tahun. Pelaku usaha dan pemerintah, yang ingin sekali menebus emisi gas rumah kaca (carbon offsets) seperti karbon dioksida atau CO2, sedang mencari cara untuk mendanai proyek pemulihan ekosistem yang disebut sebagai habitat karbon biru ini.

Banyak akademikus dan kelompok swasta menyokong gagasan tersebut. Asumsinya, mereka bisa memprediksi dengan akurat berapa banyak CO2 yang bisa diserap dari atmosfer di masa depan.

Kami adalah ilmuwan yang mempelajari bagaimana hubungan antara kehidupan laut, kimia, dan iklim bumi. Setelah meneliti proses yang dilakukan habitat pesisir dalam menyerap (dan melepaskan) gas-gas penyebab pemanasan global, kami malah meragukan pemulihan habitat ini berfaedah bagi iklim bumi.

Manfaat penanaman mangrove, misalnya, masih jauh dari kepastian. Ada juga risiko bahwa skala mitigasi perubahan iklim yang bisa dilakukan proyek-proyek restorasi sudah terlalu berlebihan.

Analisis terbaru kami menemukan beberapa alasan mengapa dengan kondisi saat ini, sangat sukar bagi kita memperkirakan jumlah karbon yang bisa dikumpulkan oleh ekosistem pesisir. Karena itulah dasar perhitungan jumlah penebusan karbon dari proyek-proyek restorasi pesisir ini, selama 50-100 tahun ke depan, sangatlah lemah.

Tangan yang bersarung tangan menangani inti sedimen yang dikelilingi oleh vegetasi yang tergenang.
Inti sedimen yang diambil dari rawa asin saat air pasang. Stephanie Nolte/University of East Anglia, Author provided

Sebab ketidakpastian

Begitu banyak perkiraan seputar berapa jumlah karbon biru yang bisa diserap dari atmosfer. Dari ratusan studi ilmiah, perbedaan angka penyimpanan karbon di rawa air asin di antara angka tertinggi dan terendahnya bisa mencapai 600 kali lipat. Di padang lamun, perbedaannya 76 kali lipat, dan mangrove 19 kali lipat.

Penggunaan nilai rata-rata dari ratusan studi untuk habitat tertentu adalah jalan pintas termudah untuk memperkirakan jumlah penyerapan karbon yang bisa dicapai dari suatu proyek restorasi baru. Namun, jomplangnya perbedaan data juga berarti usaha penebusan emisi karbon ini bisa salah besar.

Karena kami melihat begitu banyak nilai rendah yang dilaporkan dalam studi, dan hanya sedikit nilai penyerapan karbon yang sangat tinggi, kemungkinan besar manfaat iklimnya juga dilebih-lebihkan.

Perbedaan penyerapan karbon muncul bahkan dari perbedaan jarak beberapa kilometer saja. Untuk menghitung karbon secara kredibel, kita memerlukan begitu banyak tahap yang memakan waktu dan tenaga. Akibatnya, ongkos proyek restorasi juga meningkat.

Masalah sebenarnya lebih runyam. Angka penyimpanan karbon yang dilaporkan dalam berbagai riset biasanya ditentukan secara tidak langsung oleh sampel sedimen dari berbagai kedalaman untuk memperkirakan usianya.

Nah, ada organisme penggali yang mengganggu dengan mencampurkan lapisan di kedalaman sedimen muda maupun tua. Hal ini bisa membuat sedimen tua tampak lebih muda, sehingga tingkat penyimpanan karbonnya dapat lebih besar dari angka sebenarnya.

Foto udara dari lahan basah pesisir dengan kolam dan air mengalir.
Rawa asin pesisir di Stiffkey, North Norfolk, Inggris. Dronegraphica/Shutterstock

Banyak karbon yang terkubur di sedimen pesisir juga datang dari mana saja, misalnya dari tanah daratan yang terangkut oleh sungai. Besaran karbon dari luar ekosistem pesisir ini bisa 10% atau bahkan sampai 90% (dari total endapan di kawasan pesisir).

‘Karbon impor’ ini haruslah dikeluarkan dari perhitungan penebusan karbon untuk memperjelas: berapa banyak yang sudah tersimpan sebagai hasil pemulihan suatu habitat, dan berapa banyak karbon yang memang terkubur begitu saja.

Sayangnya, karbon impor ini mungkin lebih sulit terurai. Dalam sebuah studi di salah satu rawa air asin, proporsi 50% karbon impor yang terendap di dekat sedimen permukaan justru naik menjadi 80% di lapisan terdalam.

Karena nilai yang lebih dalam mewakili tingkat penguburan karbon yang lebih lama di suatu habitat, peran habitat yang kita pulihkan dalam penyerapan karbon secara langsung mungkin tidak sepenting yang kita perkirakan.

Proses lainnya yang juga susah diukur dapat meningkatkan ketimbang mengurangi manfaat pemulihan habitat karbon biru terhadap iklim planet kita. Sisa-sisa tanaman dari habitat pesisir yang justru tersapu ke laut—alih-alih tersimpan di sedimen—mereka masih bisa terkubur di tempat lainnya di waktu yang lama.

Sisa tanaman tersebut, misalnya, dapat tenggelam ke perairan dalam di laut lepas. Sejauh ini saja, para ilmuwan tidak memiliki pengetahuan yang cukup seputar jumlah karbon yang mengalami proses tersebut—apalagi menghitungnya dengan tepat.

Peralihan kebun sawit di pesisir menjadi hutan mangrove, ataupun membanjiri kawasan pesisir untuk membuat rawa air asin bisa saja meningkatkan penyimpanan karbon di suatu kawasan. Namun, pada saat yang sama, kawasan ini bisa melepaskan lebih banyak gas metana (atau dikenal sebagai gas rawa) dan dinitrogen oksida. Keduanya merupakan gas rumah kaca yang kuat sehingga proyek ini tidak bermanfaat bagi iklim.

Hal di atas bisa terjadi karena gas-gas dapat terbentuk ketika tidak ada cukup oksigen dalam tanah ataupun sedimen. Kondisi ini juga dapat mengarah pada penyimpanan karbon. Secara teknis, kita membutuhkan pengukuran lebih jelas untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Tabung plastik menyilangkan anakan pohon di pantai berpasir.
Peralatan yang mengukur pertukaran gas di sedimen rawa mangrove Australia. Judith Rosentreter/Southern Cross University, Author provided

Kemudian, ada juga hewan dan tumbuhan berkalsium yang tumbuh di habibtat-habitat ini, khususnya di padang lamun. Daun lamun yang berbentuk tali ini sering kali ditutupi oleh lapisan putih cacing bercangkang dan alga koralin. Ketika organisme ini membuat lapisan kalsium karbonat, mereka melepaskan CO2.

Di salah satu padang lamun di Florida, Amerika Serikat, pelepasan CO2 justru lebih banyak terjadi dibandingkan penyimpanannya. Di tempat lain, kondisi dapat mempengaruhi reaksi kimia antara CO2 terlarut dan karbonat di sedimen, sehingga penyerapan karbonnya lebih tinggi. Karena itulah, pengukuran canggih diperlukan di setiap lokasi untuk menentukan pentingnya dampak ini.

Hutan lamun di bawah air dengan daun berbintik-bintik putih.
Lamun Mediterania dilapisi ganggang koralin dan cacing dengan cangkang karbonat. David Luquet/CNRS & Sorbonne Universit, Author provided

Akhirnya, ada masa depan yang harus kita pertimbangkan. Apakah ekosistem pesisir yang pulih dapat bertahan dari dampak perubahan iklim seperti gelombang panas, badai, dan kenaikan muka air laut? Apakah ekosistem-ekosistem ini akan dikelola dengan baik dan dilindungi dari aktivitas pertanian, budi daya perikanan, pariwisata, dan industri serta aktivitas lainnya yang memang sejak awal menyebabkan habitat tersebut menghilang?

Setiap upaya harus kita lakukan untuk menahan kehilangan vegetasi pesisir dan membalikkan keadaannya di manapun itu. Habitat karbon biru bukan hanya penyerap karbon, tapi juga pelindung masyarakat pesisir dari badai, menjaga keberagaman hayati dan spesies target oleh sektor perikanan tangkap, dan meningkatkan kualitas air.

Kita sungguh berharap upaya perlindungan ekosistem karbon biru di masa depan lebih efektif. Kita juga menginginkan pemanasan global dapat kita tahan di bawah batasan yang kita anggap kritis bagi kelangsungan hidup mereka, yakni sekitar 2,3°C - 3,7°C di atas era praindustri.

Sayangnya, sejauh ini kemajuannya meragukan. Sekalipun batas temperatur itu terlampaui, karbon yang baru tersimpan di ekosistem dapat terlepas lagi ke atmosfer apabila sudah tak ada lagi vegetasi untuk mencegah luruhnya sedimen di pesisir.

Karena skala penyerapan dan penyimpanan karbon jangka panjang yang sangat tidak pasti, terlalu berisiko bagi kita untuk mengandalkan habitat karbon biru sebagai alat untuk menebus emisi gas rumah kaca di tempat lain.

Jika gagal, konsekuensinya sangat besar. Oleh karena itu, prioritas kita seharusnya adalah melipatgandakan pemangkasan emisi. Kami meyakini, pemakaian metode penghilangan karbon untuk membantu mencapai nol emisi (net zero) akan berhasil.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now