Menu Close

Mengapa umat Muslim, meski tidak semua, merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW?

Five girls in pink outfits wave excitedly among colorful streamers.
Girls chant religious slogans while celebrating Mawlid al-Nabi in Karachi, Pakistan in 2021. AP Photo/Fareed Khan

Sebagian besar umat Islam di seluruh dunia merayakan kelahiran Nabi Muhammad pada hari ke-12 bulan ketiga dalam kalender Islam, Rabi'ul Awwal. Tahun ini jatuh pada tanggal 28 September 2023. Bagi umat Muslim, perayaan yang biasa disebut Maulid Nabi ini, seperti banyak perayaan Islam lainnya, merupakan tanda penghormatan dan pemujaan terhadap Nabi Muhammad, yang diyakini sebagai utusan Tuhan.

Menurut tradisi Islam, Muhammad adalah sosok yang saleh, lahir sekitar tahun 570 Masehi, yang ditetapkan Allah sebagai nabi terakhirnya. Dia menghafal pesan-pesan Tuhan dan melafalkannya. Kemudian, ayat-ayat tersebut dituliskan untuk dilestarikan dalam bentuk teks–yang sekarang menjadi Al-Quran.

Sebagian besar negara dengan mayoritas penduduk Muslim, mulai dari Pakistan, Malaysia, hingga Sudan, memperingati Maulid Nabi setiap tahunnya. Perayaan paling meriah pernah dilakukan di Mesir, dengan menampilkan dzikir Sufi untuk memperingati sang Nabi, disertai dengan pembagian mainan dan permen berwarna-warni kepada anak-anak.

Meski demikian, ternyata tidak semua umat Muslim merayakan hari raya ini. Di beberapa negara, seperti Arab Saudi, perayaan ini sama saja seperti hari-hari lainnya.

Fokus dari penelitian saya adalah bagaimana hubungan masyarakat Muslim dengan keyakinan mereka, termasuk rasa keadilan sosial dan harapan mereka terhadap pemerintah. Saat sebagian besar negara Muslim mendorong peringatan Maulid Nabi, hal sebaliknya terjadi di masyarakat yang dibentuk oleh mazhab Islam Wahabi yang ultra-konservatif, yang pengaruh globalnya telah meluas dengan cepat dalam beberapa dekade terakhir.

Penolakan Wahabi

Gerakan Wahhabi dimulai pada tahun 1744, diinisiasi oleh Muhamed Ibn Abdel Wahab, seorang ulama dan pembaharu di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Arab Saudi. Muhamed Ibn Saud, seorang pemimpin politik yang dianggap sebagai pendiri dinasti Saud, melegitimasi kekuasaannya dengan mencari pendapat keagamaan Ibn Abdel Wahab. Ibn Saud sangat ingin merebut lebih banyak kekuasaan dari Kekaisaran Ottoman, yang menguasai sebagian besar semenanjung pada masa itu.

Sejak saat itu, Wahabisme menyebar ke seluruh dunia Muslim, di negara-negara seperti Yaman, negara-negara pasca-Soviet, Tunisia dan Mesir–terutama setelah Revolusi Iran 1979, yang memicu kebangkitan Iran sebagai kekuatan regional dan mencoba menyaingi Arab Saudi.

Sebagai aliran Islam garis keras, Wahabisme sering kali mendorong penafsiran harfiah terhadap Al-Quran dan sangat mencurigai praktik-praktik yang mereka anggap sebagai penyembahan berhala.

Sebagai contoh, pihak berwenang Saudi telah menindak tegas pemujaan di makam para wali dan meratakan beberapa tempat suci secara keseluruhan. Dalam kasus-kasus ekstrem, Salafi–sebuah aliran Islam serupa–mengklaim bahwa peninggalan dan patung-patung Mesir kuno harus dihancurkan. Di Arab Saudi, polisi agama, yang disebut mutaween, menjaga tempat pemakaman Nabi Muhammad di Madinah selama musim ziarah untuk mencegah pengunjung menyentuhnya atau berdoa di dekatnya.

Seorang laki-laki melihat tempat suci yang dihias dengan hiasan di dalam masjid saat petugas keamanan berdiri di dekatnya.
Umat Muslim mengunjungi makam Nabi Muhammad di Masjid Al-Nabawi di Madinah, Arab Saudi. Ashraf Amra/Anadolu Agency via Getty Images

Kaum konservatif tidak menyukai pemujaan terhadap Nabi. Kaum puritan Wahabi menganggap Maulid Nabi sebagai bid'ah. Mereka kerap mengutip hadis Nabi yang mengatakan: Setiap bid'ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan akan berakhir di neraka. Kata “bid'ah” di sini sering digunakan untuk mengutuk praktik-praktik Muslim yang dianggap sebagai inovasi, seperti merayakan hari kelahiran Nabi.

Merayakan dengan rasa kagum

Para pengkritik Wahabi berpendapat bahwa paham ini justru merendahkan hubungan manusia dengan Tuhan, karena melarang perilaku naluriah manusia seperti keinginan untuk menghormati Nabi.

Padahal, berbeda dengan fokus harfiah dan konservatif pada keesaan Tuhan yang ditekankan oleh kaum Wahabi, sebagian besar Muslim merayakan Maulid Nabi sebagai tanda cinta, rasa hormat, dan kekaguman terhadap Nabi Muhammad.

Di negara-negara mayoritas Muslim, Maulid Nabi dirayakan dengan berbagai cara dan bentuk, baik secara diam-diam dengan berpuasa dan membaca Al-Quran, atau oleh anak-anak yang berdandan dengan warna-warna cerah dan membawa kuda-kudaan atau boneka yang terbuat dari gula. Bentuk perayaannya bervariasi, tetapi satu hal yang hendak mereka tunjukkan adalah betapa sosok Nabi Muhammad begitu dikagumi dan sangat dicintai oleh para pengikutnya.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now