Menu Close
Bakteriofag di bawah pengamatan mikroskop. Wikimedia Commons

Mengenal bakteriofag: virus baik yang melawan infeksi bakteri mirip antibiotik

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan resistensi antibiotik (antimicrobial resistance atau AMR) saat ini menjadi penyebab utama kematian di dunia, lebih tinggi dari HIV/AIDS atau malaria.

Pada 2019, misalnya, jumlah kematian global yang disebabkan oleh kasus AMR adalah 1,3 juta jiwa. Tidak heran jika beberapa pihak menyebut saat ini sebagai post-antibiotic era.

Pada 85 tahun silam, Alexander Fleming, profesor bakteriologi di St Mary’s Hospital London menemukan antibiotik sebagai obat yang efektif untuk mengendalikan infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Ini merupakan salah satu penemuan terbesar dalam sejarah medis dalam satu abad terakhir.

Namun, dalam perkembangannya penggunaan antibiotik yang berlebihan di bidang medis ataupun industri, dan penggunaan yang tidak sesuai regulasi mempercepat terjadinya resistensi bakteri.

Fenomena ini memaksa para ilmuwan mencari zat antimikrobial alternatif. Salah satu entitas yang menunjukkan potensi yang signifikan adalah bakteriofag.

Bakteriofag virus yang menginfeksi bakteri

Virus biasanya menginfeksi sistem tubuh manusia sehingga menyebabkan sakit seperti virus corona penyebab COVID-19. Virus corona menyerang sistem pernapasan.

Namun, jenis virus ini berbeda.

Bacteriophage (bakteriofag atau fag) adalah jenis virus yang secara spesifik menginfeksi bakteri dalam tubuh manusia dan lingkungan. Secara harfiah, bakteriofag artinya ‘pemakan bakteri’.

Bakteriofag secara alami ada di dalam tubuh manusia dan lingkungan. Bahkan, bakteriofag adalah entitas biologi terbanyak di bumi. Jumlahnya sebanyak 1031 macam jenis di bumi.

Virus bakteri ini ditemukan oleh dua ilmuwan Prancis Frederik Twort dan Felix d’Herelle pada 1917. Kedua ilmuwan ini menemukan bahwa sebuah entitas yang mirip dengan virus memiliki kemampuan untuk menghentikan pertumbuhan bakteri. Seperti antibiotik, bakteriofag bisa diproduksi dengan mudah di luar tubuh manusia.

Bakteriofag pernah menjadi metode penyembuhan infeksi bakteri patogen di negara-negara Barat pada masa Perang Dunia II. Namun, karena adanya penemuan antibiotik yang cenderung satu antibiotik menyelesaikan banyak infeksi bakteri (one kill for all), bakteriofag mulai ditinggalkan.

Cara kerja bakteriofag

Meski termasuk ke dalam golongan virus, bakteriofag hanya menginfeksi bakteri dan tidak dapat menginfeksi manusia, sehingga aman untuk mengobati penyakit infeksi pada manusia.

Secara efektif, bakteriofag dapat membunuh bakteri yang menjadi targetnya. Seperti virus lainnya, bakteriofag juga terbagi menjadi dua jenis berdasarkan siklus hidupnya, litik dan lisogenik. Bakteriofag litik menghancurkan sel bakteri dan memperbanyak diri. Sedangkan bakteriofag lisogenik ‘membajak’ sistem metabolisme dari bakteri dan mengintegrasikan materi genomnya.

Bakteriofag litik adalah jenis yang digunakan untuk tujuan terapi. Oleh karena itu, bakteriofag sangat efektif untuk menghentikan infeksi yang disebabkan oleh bakteri patogen. Seperti infeksi pada saluran pernafasan, disentri, infeksi saluran kemih, dan infeksi bakteri secara luas.

Bakteriofag juga telah digunakan untuk mengobati penyakit infeksi bakteri pada pasien dengan imunitas lemah (misalnya pasien cystic fibrosis, penyakit keturunan yang menyebabkan lendir dalam tubuh jadi lengket).

Meskipun memiliki karakteristik antibakteri seperti antibiotik, bakteriofag memiliki perbedaan kharaktersitik yang secara ilmiah dinilai lebih ‘menguntungkan’ dibandingkan antibiotik.

Pertama, bakteriofag sangat spesifik. Dia hanya dapat menginfeksi bakteri dari beberapa strain dalam spesies yang sama. Sangat berbeda dengan antibiotik yang dapat menarget bakteri dengan spektrum yang sangat luas, termasuk bakteri-bakteri yang menguntungkan untuk tubuh.

Kondisi ini dapat menyebabkan ‘efek samping’ berupa ketidakseimbangan mikrobioma yang ada di dalam tubuh, dan menyebabkan keluhan kesehatan lainnya.

Untuk tujuan terapi dengan beberapa jenis bakteri, biasanya bakteriofag di produksi dalam bentuk koktail. Maksudnya, beberapa jenis bakteriofag dikombinasikan untuk menarget beberapa galur atau spesies bakteri yang berbeda.

Kedua, berbeda dengan antibiotik yang merupakan senyawa kimia murni, bakteriofag adalah entitas biologi yang kompleks. Dia ikut berevolusi dengan inangnya, yaitu bakteri. Konsentrasi bakteriofag yang dibutuhkan untuk ‘menghilangkan’ bakteri dari situs infeksi juga selaras dengan jumlah bakteri yang hidup.

Sebaliknya, ketika bakteri hidup yang ditarget jumlahnya sedikit, maka bakteriofag juga akan menyesuaikan tingkat produksi progeninya.

Selain itu, meskipun resistensi terhadap bakteriofag juga dapat muncul secara alami, tapi bakteriofag adalah entitas hidup yang dapat melawan resisten tersebut dengan mekanisme atau strategi infeksi yang baru.

Mereka berbeda dengan antibiotik yang bersifat ‘pasif’ atau statis.

Kemajuan terapi bakteriofag secara global

Bakteriofag sebagai terapi penyembuhan infeksi bakteri patogen yang resisten saat ini telah diterapkan di banyak negara Barat.

Eliava Institute of Bacteriophage and the Institute of Immunology and Experimental Therapy di Wroclaw Polandia menjadi salah satu institusi terdepan yang menggunakan bakteriofag untuk menyembuhkan penyakit infeksi.

Di Prancis dan Belgia, pada kasus-kasus pasien mengalami kegagalan terapi menggunakan antibiotik, bakteriofag digunakan sebagai ‘terapi alternatif’.

Dalam beberapa kasus, bakteriofag mampu menyembuhkan penyakit infeksi bakteri yang sangat resisten dan mengancam nyawa.

Baru-baru ini di Inggris, seorang pasien penderita Cystic Fibrosis mengalami infeksi Mycobacterium abscessus yang resisten terhadap antibiotik. Setelah mendapatkan terapi bakteriofag, infeksi pun hilang dan kondisi kesehatan pasien pun berangsur membaik.

Pada aplikasinya terapi bakteriofag dapat digunakan secara mandiri ataupun dalam bentuk kombinasi dengan antibiotik. Riset juga membuktikan bahwa bakteriofag dan antibiotik, jika dikombinasikan, akan meningkatkan angka kesembuhan.

Selain itu, kombinasi ini juga memungkinkan berkurangnya konsentrasi antibiotik yang digunakan.

Di negara-negara Barat, banyak dilakukan uji klinis terapi bakteriofag. Di Indonesia, teknologi ini masih belum populer. Ilmuwan dan juga praktisi klinis membutuhkan keterbukaan terhadap inovasi baru, selain antibiotik, untuk menanggulangi masalah resistensi antibiotik di Indonesia.

Selain itu, ilmuwan yang mendalami riset terapi bakteriofag dan praktisi kesehatan perlu melakukan kolaborasi yang terbuka untuk mengembangkan inovasi ini. Hal ini penting untuk mulai memperkenalkan terapi bakteriofag sebagai teknologi alternatif kepada pasien-pasien yang membutuhkan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now