Menu Close

Menjaga kesehatan mental di tengah pandemi

Menjaga kesehatan mental di tengah pandemi

Pandemi COVID-19 yang menerjang seluruh dunia telah melahirkan kecemasan dan tingkat stres yang meningkat. Pandemi ini bukan hanya “meruntuhkan” ketahanan sebuah negara, tapi juga mengoyak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.

Banyak bisnis rontok sehingga ada banyak orang kehilangan pekerjaan secara mendadak, pemotongan upah dan jam kerja, hingga kesulitan mencari pekerjaan bagi angkatan kerja baru.

Pendidikan juga lebih banyak dilakukan secara daring sehingga orang tua lebih banyak terlibat proses pembelajaran anak-anaknya. Banyak orang pun kehilangan anggota keluarga karena terinfeksi virus corona.

Keadaan ini merupakan keadaan yang lebih dari cukup untuk menyebabkan masalah kesehatan mental bagi kita.

Kesehatan mental sendiri tidak seperti dua sisi koin yang secara jelas menunjukkan kita sehat atau tidak, melainkan sebuah garis spektrum, di mana keadaan mental kita bisa senantiasa berubah-ubah sepanjang garis tersebut — dengan berbagai faktor penentu dari genetik hingga lingkungan.

Kata kuncinya ada pada kemampuan kita mengendalikan keadaan yang mampu kita kendalikan.

Jika kita merasa stres dengan pekerjaan, saatnya melakukan aktivitas rekreasi yang bisa mengurangi beban tersebut seperti mengambil cuti dan lebih banyak berolahraga. Namun, apabila meringankan penyebab stres belum berhasil, ada baiknya kita mencoba mendapatkan pertolongan profesional dari psikolog dan psikiater.

Untuk mendalami ini, kita berbincang dengan Diana Setiyawati, Direktur Pusat Kesehatan Mental Masyarakat di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Di antaranya, Diana menjelaskan beberapa indikasi kesehatan mental yang baik, bahaya diagnosis mandiri gangguan mental tanpa bantuan profesional, peningkatan kasus selama pandemi, hingga berbagai strategi yang bisa diterapkan pemerintah untuk memperkuat layanan kesehatan mental di Indonesia.

Dengarkan obrolan lengkapnya di podcast SuarAkademia - ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now