Menu Close

Meredupnya popularitas BEM: gairah aktivisme mahasiswa makin menurun, mengapa dan bagaimana solusinya?

Bendera BEM KM UGM yang dikibarkan saat Aksi Nasional Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla pada 2017. Author provided

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) telah menjadi salah satu gerakan mahasiswa yang berperan sebagai kelompok yang tampil secara konsisten menekan kekuasaan rezim, mulai dari sebelum kemerdekaan, pascakemerdekaan dan era reformasi, hingga berlanjut sampai saat ini.

Kelompok penekan di sini artinya kelompok yang memberikan tekanan terhadap lembaga politik formal, demi memperjuangkan kepentingan publik dan mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Dalam sejarahnya, istilah BEM lahir ketika Senat Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) mengadakan Kongres Senat Mahasiswa UGM II di Kaliurang, Yogyakarta, pada 1992. Kongres ini merumuskan gerakan mahasiswa UGM dalam bentuk student government (pemerintahan mahasiswa) bernama Keluarga Mahasiswa (KM). Organisasi ini terdiri dari senat mahasiswa yang menjalankan fungsi legislatif, dan BEM yang menjalankan fungsi eksekutif, baik di tingkat universitas maupun fakultas.

Inilah cikal bakal penggunaan nomenklatur “BEM” secara luas sebagai wajah gerakan mahasiswa pada periode menjelang reformasi dan pascareformasi.

Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, gairah aktivisme mahasiswa untuk tergabung dalam BEM menurun secara drastis. Ini dapat terlihat dari minimnya partisipasi dan kurangnya kandidat dalam pemilihan umum mahasiswa (pemilwa), seperti yang terjadi di Universitas Diponegoro hingga Universitas Negeri Padang, serta terbatasnya diskusi-diskusi kritis.

Sebagai akademisi bidang ilmu politik dan pemerintahan sekaligus peneliti yang fokus, salah satunya, pada isu aktivisme mahasiswa, saya berpandangan bahwa pandemi COVID-19 dan kebijakan Merdeka Belaja Kampus Merdeka (MBKM) menjadi salah dua faktor eksternal – selain beberapa faktor tren aktivisme mahasiswa lainnya – yang mempengaruhi turunnya minat dan antusiasme pada gerakan mahasiswa.

Lantas apa yang harus dibenahi BEM untuk tetap menjadi kelompok penekan dan mengawal kekuasaan agar tak “ugal-ugalan”?

Tantangan eksistensi BEM

Pandemi COVID-19 telah menyebabkan kampus sepi dari kegiatan pergerakan. Diskusi, perdebatan, dan aksi yang memantik kesadaran politik untuk mengawal kekuasaan nyaris tak lagi ditemukan. Selama pandemi, kesempatan mahasiswa untuk berkumpul sangat terbatas karena pembatasan sosial, ditambah sistem daring yang membuat para mahasiswa tidak bisa bertemu tatap muka dan berinteraksi secara langsung.

Tren ini semakin gencar seiring munculnya program MBKM gagasan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim mulai tahun 2020.

Program ini membuka kesempatan magang untuk mahasiswa dari seluruh perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, dengan adanya insentif dan tanpa batasan minimal semester yang harus ditempuh. Program yang memberikan pengalaman kerja dan uang ini dianggap lebih menggiurkan bagi mahasiswa ketimbang gerakan mahasiswa yang tidak menawarkan kemewahan apapun. Ini pemikiran realistis.

Namun, selain dua faktor eksternal tersebut, ada tiga masalah krusial lainnya yang menyebabkan kualitas BEM menurun dan perlu dibenahi oleh penggawanya.

Pertama, lemahnya kemampuan BEM tiap kampus dalam membaca dinamika sosial-politik dan advokasi kebijakan publik.

Perlu dipahami bahwa kekuasaan negara kini telah mengalami desentralisasi dari pemerintahan terpusat ke regional. Artinya, penting bagi BEM di setiap perguruan tinggi untuk turun ke lapangan dan melihat realitas sosial yang terjadi di sekitar daerah kampus, serta mendengarkan mereka yang selama ini suaranya kurang terdengar oleh pemerintah.

Cara ini akan membuat BEM memahami dengan detail isu apa yang harus mereka advokasikan dan suarakan, guna mendorong perubahan kebijakan yang lebih baik.

Misalnya, BEM KM UGM di Yogyakarta fokus mengawal isu relokasi pedagang kaki lima (PKL) sekitaran Rumah Sakit Sardjito (2015), relokasi parkir Malioboro (2016-2017), hingga isu pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA) Piyungan (2021).

Contoh baik lainnya adalah BEM UI di Jakarta yang pada 2013 pernah mengawal penggusuran PKL di Stasiun UI. Ada juga BEM PM Udayana di Bali yang sejak 2014 ikut menyuarakan penolakan terhadap reklamasi Teluk Benoa.

Kedua, adanya kesulitan membangun titik temu dalam relasi-relasi dan kegiatan BEM.

Menguatnya sentimen politik ketimbang argumen rasional dan akademik, telah mempengaruhi pola berpikir aktivis mahasiswa. Perbedaan ideologi dan pandangan mahasiswa telah menempatkan rasa ke-“aku”-an dan ke-“kami”-an di atas rasa ke-“kita”-an. Akhirnya, banyak mahasiswa terpenjara dalam faksi-faksi gerakan mahasiswa di dalam maupun di luar kampus.

Dalam kasus gerakan intrakampus, BEM diasosiasikan sebagai lembaga yang mulai tak relevan dan sarat akan konflik kepentingan – seperti motif beberapa mahasiswa yang ingin menjadi politikus selepas lulus.

Sementara itu, bagi gerakan luar kampus, mahasiswa kerap mengedepankan relasi patron-klien dengan partai politik tertentu. Ini misalnya terlihat dalam hubungan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Partai Golkar, serta Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Padahal, berbeda warna bukan berarti tak bisa duduk bersama. Justru mahasiswa adalah pihak yang seharusnya bisa memberikan contoh bagaimana berintegrasi meski hidup di atas ragam perbedaan latar belakang.

Ketiga, rendahnya kualitas literasi dan kesadaran politik mahasiswa.

Kurangnya pemahaman mengenai isu-isu politik dapat menyebabkan mahasiswa menjadi apatis terhadap dinamika sosial-politik di sekitarnya. Padahal, untuk memahami penyebab sesuatu, perlu kemampuan analisis yang memadai disertai pikiran terbuka untuk mau melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda.

Dalam konteks BEM, tingginya kualitas literasi dan kesadaran politik ini terwujud dalam kemampuan mahasiswa untuk membedakan mana voice (suara publik yang informatif dan dapat dipertanggungjawabkan) dan mana ‘noise’ (suara yang sebenarnya tidak mewakilkan publik dan cenderung membuat gaduh). Dengan kemampuan itu, mahasiswa diharapkan bisa berpikir bebas namun kritis sehingga mampu bertindak bijak bagi kepentingan kemanusiaan.

Presiden Mahasiswa BEM KM UGM 2017 sedang menyampaikan orasi kebangsaan pada Aksi Nasional Mengawal Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi Widodo-Jusuf Kalla di depan Istana Negara RI, Jakarta.

Menjaga kiprah BEM sebagai kelompok penekan

Menghadapi situasi politik nasional terkini, ketika politikus tidak mudah dipercaya dan cenderung hanya berebut kuasa sementara pemerintah kerap menyalahgunakan kekuasaan dan abai dengan kehendak rakyat, BEM harus tetap memonitor demokrasi.

Beberapan tahun terakhir ini kerap muncul sinisme dan pandangan negatif terhadap BEM. Ini juga diperparah dengan adanya penggembosan gerakan mahasiswa secara masif dan terstruktur, seperti peretasan media sosial dan pengumuman palsu.

Padahal, BEM sebagai gerakan ekstraparlementer (tindakan politik yang dilakukan dengan cara-cara di luar lembaga politik formal seperti parlemen) bisa menghadirkan ruang politik alternatif untuk meningkatkan kualitas pengawasan publik atas kekuasaan.

Ke depannya, BEM harus mampu menyelesaikan persoalan lokal, riil, dan menyentuh kepentingan rakyat. Kekuasaan negara yang terdesentralisasi nyatanya membuat banyak BEM kebingungan mencari “musuh bersama”. Padahal, musuh bersamanya sudah tampak jelas di depan mata: ketidakadilan. Dengan begitu, penggawa BEM perlu menginventarisasi persoalan ketidakadilan yang terjadi disekitarnya.

Kemudian, BEM bersama aliansi mahasiswa lainnya mesti bekerja sama dengan berbagai kelompok masyarakat untuk mengawal persoalan level nasional.

Semakin besarnya permasalahan menuntut hadirnya partisipasi publik yang lebih luas. Pelajaran dari aksi #ReformasiDikorupsi pada 2019, dengan salah satu fokusnya yakni penolakan pelemahan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), telah menyadarkan kita bahwa dukungan publik yang luas pun masih belum cukup untuk menekan pemerintah.

Meski tak berhasil mencegah revisi Undang-Undang KPK dan pemberhentian anggota KPK yang memiliki kredibilitas tinggi, aksi kolektif aliansi BEM dan kelompok masyarakat yang ada di Jakarta maupun di berbagai daerah seluruh Indonesia telah menunjukkan perlawanan yang sengit. Aksi tersebut semestinya dapat direplikasi untuk menghadapi isu-isu nasional lainnya.

Terakhir, setiap BEM harus memastikan kehadirannya merupakan ‘voice’, bukan noise. BEM harus menunjukkan kemampuan untuk saling memahami dan berkolaborasi dengan orang-orang yang berbeda latar belakang. Dengan cara inilah BEM akan dapat melayani rakyat dan memastikan kekuasaan tak ugal-ugalan.

Semoga nalar kritis dan aktivisme mahasiswa yang tergabung dalam BEM tetap ada dan menyala meski diberondong oleh peluru zaman.


Penulis merupakan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (BEM KM UGM) 2017

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now