Menu Close

Nobel Ekonomi 2022: Mengapa bank itu penting dan kaitannya dengan krisis

Nobel Ekonomi 2022
Kiri ke kanan: Ben S. Bernanke, Douglas W. Diamond, dan Philip H. Dybvig. Tangkapan layar dari Nobelprize.org

Pemenang Nobel bidang ilmu ekonomi – atau dikenal dengan nama Sveriges Riksbank Prize in Economic Sciences – baru saja diumumkan Senin lalu.

Tiga ekonom dari Amerika Serikat (AS) mendapat penghargaan prestisius ini: Ben Shalom Bernanke dari The Brookings Institution, lembaga riset kebijakan publik di Washington, DC; Douglas Warren Diamond dari Universitas Chicago, Illinois; serta Phillip Hallen Dybvig dari Washington University St Louis, Missouri.

Menurut komite Nobel, riset ketiganya meletakkan pondasi bagi studi perbankan modern. Resep kebijakan moneter – kebijakan yang mengatur peredaran uang – pada dasarnya bersandar pada peran sentral bank sentral sebagai penjaga stabilitas sektor keuangan. Ini membuat karya mereka relevan bagi pengambilan keputusan moneter di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Tulisan ini mengulas bagaimana kontribusi para pemenang Nobel ini penting dalam menjelaskan kaitan infrastruktur perbankan dengan krisis ekonomi, bagaimana peran bank sentral suatu negara dalam menanganinya, dan relevansinya bagi Indonesia.

Perbankan, krisis, dan perlunya institusi penjamin pinjaman

Komite Nobel Ekonomi menanyakan pertanyaan-pertanyaan penting seperti: jika perbankan runtuh dapat menyebabkan begitu banyak kerusakan, dapatkah kita mengelola perekonomian tanpa bank? Mengapa bank menjadi tak stabil? Bagaimana masyarakat dapat meningkatkan stabilitas sistem perbankan? Mengapa konsekuensi dari krisis perbankan berlangsung begitu lama?

Riset ketiganya pada era 1980-an telah memberikan fondasi ilmiah yang solid bagi studi-studi lanjutan tentang perbankan, krisis, dan keuangan.

Kolaborasi dari Diamond-Dybvig menghasilkan karya klasik, terbit pada 1983, berjudul Bank Runs, Deposit Insurance and Liquidity.

Makalah kedua profesor keuangan ini memberikan penjelasan bagaimana fungsi bank penting dalam berlangsungnya perekonomian karena menjembatani kebutuhan pendanaan melalui pinjaman jangka menengah dan panjang. Ini dilakukan dengan memutar dana tabungan dari para deposan yang berharap bunga jangka pendek sebagai sumber bagi aliran pendanaan ini.

Selain itu, makalah mereka mampu memberikan pengertian sederhana kepada para bankers dan pengambil kebijakan tentang urgensi memiliki institusi penjaminan (deposit insurance) guna mengatasi situasi panik para penabung yang menarik simpanannya pada waktu yang bersamaan (bank runs).

Dalam sistem kapitalisme finansial, krisis adalah sesuatu yang melekat secara alamiah karena kepanikan yang mungkin timbul saat munculnya guncangan ekonomi.

Akibat lesunya perekonomian, kredit macet berpotensi terjadi dan membuat dana yang seharusnya masuk ke bank hilang atau tertunda. Di sisi lain, kondisi perekonomian mendorong penabung panik dan ingin mengambil simpanan mereka secara bersamaan pada waktu yang singkat. Institusi penjaminan, di Indonesia dikenal dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), memberikan dana talangan saat krisis ekonomi mulai membuat perbankan mengalami kesulitan likuiditas – ketersediaan kas untuk memenuhi kebutuhan operasi.

Likuiditas yang dapat memenuhi kebutuhan deposan dan penabung menjadi kunci mengurangi efek negatif krisis keuangan dan perbankan. Dengan kehadiran lembaga penjamin simpanan dan instrumen mitigasi krisis lainnya, gejolak keuangan dapat dideteksi dari awal, sehingga kebijakan penanganan krisis menjadi lebih tepat sasaran dan dipahami pelaku pasar.

Model teoritis yang ditawarkan Diamond-Dybvig tak hanya mampu menjelaskan dengan sederhana – namun berdampak luas – mengapa bank merupakan keniscayaan dalam perekonomian, namun juga bagaimana peran bank dalam masyarakat membuat para bankers rentan terhadap desas-desus tentang keruntuhan yang akan datang.

Desas-desus yang beredar kencang di pasar keuangan (pasar modal dan uang) mengikuti ramalan pemenuhan diri (self-fulfilling prophecy) sebagaimana sosiolog kenamaan AS Robert K. Merton telah memaparkannya sejak 1948.

Secara sederhana, kita menemui self-fulfilling prophecy saat kita mempercayai zodiak dalam keseharian kita. Dengan mempercayai karakter zodiak tertentu, maka perilaku yang bersangkutan akan bergerak sesuai dengan apa yang diramalkan dan menjadi kebenaran.

Merton mendefinisikan konsep ramalan pemenuhan diri sebagai persepsi yang salah tentang suatu situasi yang menyebabkan perilaku yang, pada gilirannya, membuat konsepsi awal yang salah tersebut menjadi kenyataan.

Ini menjelaskan bagaimana saat krisis ekonomi mata uang negara yang bersangkutan cenderung jatuh, melemah ke titik nadir sehingga ramalan pemenuhan diri tidak berhenti sebagai ramalan, melainkan kenyataan.

Demikian pula halnya, bila para bankers percaya sentimen pasar bahwa perekonomian suatu negara akan memasuki masa-masa sulit, maka apa pun tindakan pemerintah untuk menyelamatkan ekonomi menjadi mustahil dan sulit. Karena tidak mendapat dukungan pelaku bisnis sektor perbankan yang terlanjur percaya dengan ramalan yang menjadi kenyataan.

Depresi karena krisis bank tekankan pentingnya bank sentral

Melalui analisis statistik dan penelitian sumber sejarah, artikel Bernanke menunjukkan betapa kegagalan bank memainkan peran yang menentukan dalam depresi global tahun 1930-an, krisis ekonomi terburuk sejarah modern dunia. Runtuhnya sistem perbankan menjelaskan mengapa penurunan tidak hanya dalam, tetapi juga tahan lama.

Untuk itu, Bernanke menganggap menemukan pengetahuan bagaimana mitigasi krisis perbankan dan keuangan ibarat mencari cawan suci (holly grail) dalam disiplin makroekonomi atau studi ekonomi secara keseluruhan.

Artikel Bernanke terbit pada tahun yang sama dengan model Diamond-Dybvig. Ia menggambarkan bagaimana antara Januari 1930 dan Maret 1933, indeks produksi AS turun 46% dan pengangguran naik menjadi 25%.

Krisis menyebar layaknya bola liar dan mengakibatkan penurunan ekonomi yang menggoncang dunia. Di Inggris Raya, pengangguran meningkat menjadi 25% dan menjadi 29% di Australia selama periode tersebut. Di Jerman, produksi industri hampir setengahnya dan lebih dari sepertiga tenaga kerja tidak bekerja. Di Chili, pendapatan nasional turun sebesar 33% antara 1929 dan 1932.

Bank-bank runtuh di mana-mana, orang-orang terpaksa meninggalkan rumah mereka, dan kelaparan yang meluas terjadi bahkan di negara-negara yang relatif kaya. Ekonomi dunia perlahan mulai pulih hanya menjelang pertengahan dekade.

Sebelum Bernanke menerbitkan makalahnya, kebijaksanaan konvensional di antara ekonom adalah bahwa depresi dapat dicegah jika bank sentral AS menaikkan suku bunga. Kenaikan suku bunga membuat orang-orang menahan pengeluaran dan menurunkan likuiditas.

Sebaliknya, Bernanke menunjukkan bahwa penyebab utama berlarutnya krisis adalah menurunnya kemampuan perbankan untuk menyalurkan tabungan ke dalam investasi yang produktif akibat minimnya likuiditas. Likuiditas dapat dianalogikan seperti darah yang sangat dibutuhkan tubuh, kekurangan darah sangat berbahaya bagi tubuh untuk kembali fit. Alih-alih melakukan kebijakan relaksasi, langkah Bank Sentral AS kala itu untuk menaikkan suku bunga justru mengakibatkan keringnya likuiditas di pasar finansial.

Penelitian Bernanke menunjukkan bahwa krisis bank berpotensi memiliki konsekuensi bencana. Wawasan ini menggambarkan pentingnya regulasi bank yang berfungsi dengan baik, dan juga menjadi alasan di balik elemen-elemen penting dari kebijakan ekonomi selama krisis keuangan 2008–2009.

Pada masa krisis global yang berawal dari kredit perumahan (subprime mortgage) ini, Bernanke adalah Gubernur bank sentral AS, Federal Reserve atau erat dengan sebutan The Fed, dan mampu menempatkan pengetahuan dari penelitiannya ke dalam kebijakan.

Perlu menjadi catatan bahwa krisis keuangan 2008-2009 memiliki pusat episentrum yang berada pada bank investasi, yang operasinya berbeda dengan bank komersial. Bank investasi, seperti Goldman Sachs, menjual produk investasi berisiko tinggi kepada investor sehingga kondisi kebangkrutan tidak terhindarkan. Di bawah Bernanke, The Fed pun menurunkan suku bunga untuk memompa likuiditas dan mengembalikan ekonomi AS kepada jalur amannya.

Ini menjadi pelajaran ketika pandemi melanda pada 2020, langkah-langkah signifikan pun ditempuh untuk menghindari krisis keuangan global.

Relevansi bagi Indonesia

Arsitektur keuangan dan perbankan nasional telah mengalami perubahan drastis menuju penyempurnaan. Mandat Bank Indonesia, misalnya, adalah sebagai bank sentral yang memiliki kemandirian dan akuntabilitas dalam menjalankan operasi moneternya.

Pembagian tugas dan tanggung jawab otoritas moneter dan fiskal – kebijakan terkait belanja dan penerimaan negara, termasuk pajak – melalui Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KKSK), yang melibatkan lembaga seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan mampu meningkatkan koordinasi penanganan krisis.

Selain koordinasi, kredibilitas kebijakan pada akhirnya tergantung dan berpulang kepada kredibilitas pengambil kebijakan dalam memandu, serta memberikan sinyal yang solid kepada pasar dan pemangku kepentingan lainnya.

Pendirian dan operasi sigap Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), serta kebijakan pemerintah untuk mem-bail out bank yang “sakit” saat krisis ekonomi dunia 2008-2009 adalah khazanah empiris dari riset-riset teoritis yang dilakukan ketiga peraih hadiah Nobel Ilmu Ekonomi untuk mengenang Alfred Nobel dari Bank Sentral Swedia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 185,700 academics and researchers from 4,983 institutions.

Register now