Menu Close

Nobel Ekonomi 2023: Bagaimana sejarah ekonomi dan kontrasepsi menerangkan perkembangan kesenjangan gender

Nobel ekonomi
Para pekerja perempuan Badan Aeronautika Amerika Serikat mengikuti kontes mengetik. Everett Collection/shutterstock

Senin, 9 Oktober 2023, Akademi Sains Swedia menganugerahkan penghargaan prestisius Nobel Ekonomi kepada Claudia Goldin, profesor bidang ekonomi dari Departemen Ilmu Ekonomi di Harvard University, Amerika Serikat (AS). Goldin menjadi perempuan ketiga yang mendapat Hadiah Nobel Ekonomi dan perempuan pertama yang memperoleh hadiah sebesar 11 juta Kroner Swedia (setara lebih dari Rp15 miliar) seorang diri tanpa berbagi dengan kolega laki-laki.

Goldin menyabet Nobel Ekonomi karena riset-risetnya dianggap telah meningkatkan pemahaman perihal hasil pasar (market outcome) tenaga kerja perempuan.

Melalui tulisan ini, saya akan membahas pemikiran-pemikiran kunci Goldin sebagai seorang sejarawan ekonomi serta ekonom tenaga kerja yang tekun meneliti evolusi dan dinamisnya pasar tenaga kerja, kesenjangan gender, dampak pil kontrasepsi bagi karier perempuan, dan keputusan berkeluarga.

Kesenjangan penghasilan berbasis gender

Secara faktual, perempuan cenderung kurang terwakili dalam pasar tenaga kerja global dan, ketika mereka bekerja, mereka memperoleh penghasilan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Untuk menunjukkan bagaimana dan mengapa pendapatan dan penyerapan tenaga kerja berbasis gender berubah seiring berjalannya waktu, Goldin menelusuri arsip-arsip dan data selama lebih dari 200 tahun di AS.

Claudia Goldin. Niklas Elmehed/Nobel Prize Outreach

Goldin disebut bekerja seperti detektif dengan melihat lebih dekat, lebih teliti, juga lebih kreatif untuk mengidentifikasi pola inovatif yang tidak hanya menantang pengetahuan yang ada, namun juga telah mengubah pandangan mengenai peran historis dan kontemporer perempuan di pasar tenaga kerja.

Temuan kunci risetnya tentang kesenjangan penghasilan karena gender terdokumentasi dalam Understanding the Gender Gap: An Economic History of American Women (1990). Dalam buku itu, ia menelusuri evolusi angkatan kerja perempuan di AS, membahas isu perbedaan gender di tempat kerja, dan menyangkal anggapan umum bahwa peningkatan lapangan kerja bagi perempuan merupakan respons terhadap revolusi sosial dan bukan karena kemajuan ekonomi jangka panjang.

Goldin menunjukkan adanya hubungan positif yang jelas antara pertumbuhan ekonomi dan partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja. Artinya, seiring dengan pertumbuhan ekonomi, semakin banyak perempuan yang bekerja. Sayangnya, karena data lama yang tidak diteliti dengan kehati-hatian, maka hubungan pertumbuhan ekonomi dan jumlah perempuan pada pekerjaan berbayar hubungan keduanya tetap samar.

Misalnya saja, partisipasi kerja perempuan di AS mengalami penurunan selama revolusi industri karena bergesernya produksi rumahan ke pabrikan, dan meningkat kembali di awal 1900-an karena berkembangnya sektor jasa dan meningkatnya lulusan sekolah menengah atas. Temuannya ini membuktikan bahwa sejarah partisipasi perempuan dalam angkatan kerja AS dapat digambarkan dengan menggunakan kurva berbentuk U untuk periode dua ratus yang ia teliti, yakni sejak akhir abad ke-18.

Kurva ‘U’ pekerja perempuan di AS. The Royal Swedish Academy of Sciences

Tak hanya itu, ia juga melihat bagaimana pekerjaan perempuan sering dicantumkan secara keliru dalam data yang ada. Contohnya adalah bagaimana pada akhir abad ke-18, pekerjaan perempuan kerap didata hanya sebagai “istri” dalam sensus dan catatan publik. Padahal, status pernikahan tak berarti serta merta mereka tidak melakukan pekerjaan lain selain pekerjaan rumah tangga. Penelitiannya kemudian mengungkap bahwa persentasi pekerja perempuan AS pada 1890-an nyatanya lima kali lebih tinggi daripada yang terdata dalam sejarah.

Peran kontrasepsi

Pengalaman AS serta banyak negara industri lainnya menunjukkan bahwa permintaan pasar tenaga kerja perempuan berubah pada akhir tahun 1960-an ketika pil kontrasepsi diperkenalkan. Pil kontrasepsi mudah digunakan dan dapat dikontrol secara mandiri oleh perempuan.

Dengan adanya pil ini, perempuan muda dapat mengelola ekspektasinya. Ekspektasi perempuan ini berkaca pada masa lalu, pada nenek dan ibunya yang bekerja secara mandiri di ranah domestik atau di luar rumah, sehingga membentuk bagaimana perempuan melihat kesempatan masa depan. Misalnya di awal ke-20, sebagian besar perempuan hanya diharapkan bekerja selama beberapa tahun sebelum menikah dan kemudian keluar dari pasar tenaga kerja setelah menikah, sehingga hal ini memengaruhi pilihan pendidikan mereka.

Goldin dan rekan penulis sekaligus suaminya, Lawrence Katz, menunjukkan kekuatan pil dalam penelitian mereka. Keduanya menemukan bahwa pil tersebut menyebabkan perempuan menunda pernikahan dan melahirkan. Mereka juga membuat pilihan karier lain, dan semakin banyak perempuan yang mulai belajar ekonomi, hukum, dan kedokteran.

Penelitian Goldin dan Katz menunjukkan bahwa antara tahun 1967 dan 1979, jumlah perempuan berusia 20 dan 21 tahun yang diperkirakan akan bekerja pada usia 35 tahun melonjak dari 35% menjadi 80%.

Artinya, kekuatan pil kontrasepsi memudahkan perempuan untuk merencanakan masa depan mereka dengan lebih baik dan dengan demikian juga menjadi lebih jelas mengenai apa yang mereka harapkan, memberikan insentif baru untuk berinvestasi dalam pendidikan dan muaranya kepada karier.

Relevansi untuk Indonesia

Berbeda dari pemenang Nobel Ekonomi 2019, Esther Duflo, yang pernah meneliti tentang dampak pendidikan bagi upah melalui program Sekolah Instruksi Presiden (Inpres) tahun 1973-1978, Goldin memang tidak meneliti khusus Indonesia. Namun demikian, gagasan serta hasil kerja akademiknya tetap relevan bagi negeri kita.

Salah satunya ialah pentingnya partisipasi aktif sebagai orang tua (parenthood). Sebagaimana ditunjukkan dalam pelbagai tulisan dan buku-bukunya, kesenjangan pendapatan antara perempuan dan laki-laki di negara-negara berpendapatan tinggi berkisar antara 10-20%.

Karena perempuan sering kali mengambil tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan laki-laki dalam hal pengasuhan anak, misalnya, kemajuan karier dan peningkatan pendapatan perempuan menjadi terhambat, bahkan meskipun banyak dari negara-negara tersebut memiliki undang-undang upah yang setara dan perempuan sering kali lebih berpendidikan dibandingkan laki-laki.

Oleh karenanya, pembuat kebijakan yang ingin memengaruhi perbedaan kesenjangan upah berbasis gender harus terlebih dahulu memahami mengapa perbedaan-perbedaan ini ada dan bertahan lama.

Investasi di bidang informasi dan pendidikan, atau undang-undang yang menghilangkan hambatan seperti kesempatan yang setara untuk profesi pelayanan publik, mungkin mempunyai dampak yang signifikan dalam jangka waktu tertentu.

Melalui risetnya, Claudia Goldin telah memberi kita pemahaman yang lebih baik tentang pasar tenaga kerja kemarin, hari ini, dan masa depan–utamanya bagi perempuan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now