Menu Close
Umat Muslim melaksanakan salat Idul Adha di depan gereja di Malang, Jawa Timur. Anom Harya/Shutterstock

Organisasi keagamaan lebih toleran pada agama lain dibandingkan agama sendiri, mengapa bisa demikian?

Kabar mengenai pembubaran pengajian yang dilakukan oleh Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) dan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) terhadap jemaah Ustadz Syafiq Riza Basalamah sempat ramai di media sosial pada Februari lalu. Pembubaran yang terjadi di Masjid Assalam, Surabaya, Jawa Timur tersebut bahkan berujung pada bentrok fisik.

GP Ansor merupakan organisasi pemuda Nahdhatul Ulama (NU) yang berdiri sejak tahun 1930, atau empat tahun setelah NU didirikan. Sedangkan Banser ialah lembaga semi-otonom dari GP Ansor. Banser menjadi organisasi yang cukup banyak menyita perhatian publik terutama sejak keterlibatannya dalam penumpasan terduga anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965.

Ini bukan pertama kalinya organisasi GP Ansor dan Banser membubarkan pengajian jika mereka menduga pengajian tersebut dibawakan oleh tokoh agama yang mereka anggap radikal atau provokatif. Beberapa kegiatan keagamaan yang dibawakan oleh tokoh agama Hanan Attaki, Khalid Basalamah, Felix Siauw, Firanda Andirja, hingga Abdul Somad, pernah menjadi sasaran pembubaran oleh kedua organisasi tersebut.

Di sisi lain, GP Ansor dan Banser secara luas dikenal sebagai organisasi yang kerap membantu penjagaan keamanan terhadap aktivitas ritual atau keagamaan agama lain. Sebagai contoh, Banser hampir selalu ikut melakukan pengamanan perayaan Natal di berbagai tempat.

Fenomena ini seakan memperlihatkan sekaligus membenarkan adanya asumsi populer bahwa kelompok beragama justru lebih toleran terhadap perbedaan agama, dibandingkan terhadap perbedaan pandangan atau penafsiran dalam satu agama yang sama.

Sebagai akademisi di bidang studi Islam, saya mencoba menjelaskan mengapa asumsi tersebut bisa terjadi. Argumentasi saya didasarkan pada beberapa sudut pandang seperti pembentukan identitas sosial, perebutan otoritas keagamaan, hingga konflik masa lalu.

Identitas dan kohesi sosial

Menurut teori identitas sosial, dalam proses pembentukan identitas sosial, seorang individu memperoleh rasa memiliki dan harga diri dari keanggotaan kelompok. Sementara itu, dalam konteks antarkelompok, ada kecenderungan untuk menganggap anggota kelompok luar sebagai ancaman terhadap identitas dan kohesi kelompoknya sendiri.

Dilihat dari sudut pandang kohesi dan identitas sosial, rasa memiliki yang kuat terhadap keyakinan bahwa merekalah yang melakukan praktik ber-Islam yang paling benar, membuat mereka merasa terancam atas pandangan-pandangan keislaman yang tidak sesuai dengan kebenaran versi mereka. Rasa seperti inilah yang mendorong suatu kelompok untuk “menertibkan” orang-orang yang tidak mengikuti pemikiran Islam yang sama.

Pada kasus GP Ansor dan Banser, misalnya, sebagian besar pemuka agama yang ceramahnya mereka bubarkan tidak terafiliasi dengan NU. Mereka meyakini bahwa para penceramah itu mempraktikkan Islam yang tidak seharusnya.

Berebut otoritas agama

Jawa Timur merupakan salah satu daerah yang memiliki otoritas keagamaan Islam, secara khusus NU, yang sangat kuat. Bisa dikatakan bahwa Jawa timur merupakan salah satu gerbong NU yang cukup besar dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia. Kiai NU memegang peranan krusial dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat di daerah tersebut..

Meski demikian, penelitian terbaru menunjukkan bahwa ke-NU-an yang dimiliki oleh masyarakat Jawa Timur tidak serta merta membuat mereka jauh lebih moderat. Mereka bisa sama atau bahkan lebih tidak toleran dibandingkan dengan muslim-muslim yang lain. Di kalangan warga NU, misalnya, penolakan terhadap pendirian gereja, atau terhadap pemimpin pemerintahan non-Muslim masih cukup tinggi.

Dalam teori konflik realistis (Realistic Conflict Theory/RCT), konflik antarkelompok seringkali terjadi karena persaingan dalam mendapatkan sumber daya atau mendapatkan kekuasaan politik, pengaruh, atau dominasi masyarakat.

Persaingan inilah yang kemudian menimbulkan ketegangan antar kelompok agama. Menurut sebuah penelitian tahun 2020 mengenai tumbuh kembang organisasi militan di berbagai pulau di Indonesia, struktur lokal otoritas agama menjadi alasan penentu kuat atau tidaknya kelompok Islam militan di Jawa. Jika sebuah daerah memiliki otoritas agama yang kuat, maka sulit bagi organisasi-organisasi militan atau Islamis untuk bisa berkembang di daerah tersebut.

Oleh karena itu, melalui teori ini kita bisa membaca kemungkinan bahwa pembubaran yang dilakukan oleh GP Ansor dan Banser tersebut didorong rasa kekhawatiran akan kehilangan pengaruh atau kontrol atas masyarakat.

Banyak otoritas agama di Jawa timur menolak organisasi-organisasi militan atau Islamis bukan karena tujuan yang akan dibawa, melainkan karena takut kalah dari otoritas aliran agama lain yang baru muncul.

Konflik masa lalu

Hal lain yang menyebabkan pertentangan di antara kelompok-kelompok dalam Islam ialah unfinished business atau konflik masa lalu yang belum selesai.

Sejak pertama kali didirikan, NU memang secara tegas menyatakan perlawanan terhadap segala bentuk ekstremisme, khususnya ekstremisme dalam bidang agama. Oleh karenanya, sejarah mencatat bagaimana NU kerap berhadap-hadapan secara langsung dengan kelompok-kelompok yang mereka anggap sebagai Islam garis keras, misalnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atau penganut wahabisme—kelompok Islam dengan mazhab Islam Wahabi yang ultra-konservatif.

NU sering menganggap bahwa penganut wahabisme mencoba menduduki atau mengambil alih masjid-masjid yang sudah lama diasuh oleh NU, baik melalui jalan birokrasi maupun dengan cara menyusup ke Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) setempat.

Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD pada tahun 2022 pernah menyerukan khususnya kepada NU dan Muhammadiyah untuk menjaga masjid masing-masing agar tidak disusupi oleh Wahabi Salafi.

Salah satu contoh kasus yang ramai diperbincangkan publik ialah perebutan masjid Hidayatulah antara NU dan Wahabi di Pasuruan, Jawa Timur. Keduanya mengklaim bahwa masjid tersebut berada dalam kepengurusan mereka.

Kembali ke fondasi bermoderasi

Salah satu fondasi dari sikap moderat NU adalah trilogi Ukhwah yang diperkenalkan oleh KH Ahmad Siddiq dalam Muktamar NU ke 28 pada tahun 1989. Ini meliputi Ukhwah Islamiyah (persaudaraan sesama umat Muslim), Ukhwah Wathaniyah (persaudaraan dalam ikatan kebangsaan), dan Ukhwah Basariyah (persaudaraan sesama umat manusia).

Ukhwah Wathaniyah dan Ukhwah Basariyah mengamanatkan kepada jemaah NU dan muslim pada umumnya untuk menjaga persaudaraan sebangsa dengan keberagaman suku, adat, ras, budaya dan agama yang dimiliki. Lebih dari itu, Muslim sejati semestinya menyadari bahwa setiap manusia memiliki hak kemanusiaan yang tidak bisa diintervensi, yang di dalamnya adalah keyakinan dalam beragama atau cara beragama.

Ukhwah Islamiyah, di sisi lain, merupakan ajakan agar kita saling menghormati berbagai perbedaan pandangan di dalam komunitas Muslim. Poin ketiga inilah yang seharusnya dipegang teguh oleh GP Ansor, Banser, dan kita semua serta seluruh organisasi keagamaan.

Tradisi ulama-ulama NU ialah selalu bersikap terbuka terhadap semua perbedaan, lalu melakukan tabayun (bermusyawarah mencari kebenaran sesungguhnya) untuk sebisa mungkin menemukan jalan tengah yang mendamaikan. Inilah yang harus dipertahankan dan ditonjolkan kembali.

Sikap toleransi atau bermoderasi dalam beragama tidak hanya ditujukan untuk perbedaan agama, namun juga perbedaan pendapat dalam satu agama yang sama. Dengan catatan bahwa perbedaan tersebut tidak menyebabkan kekerasan dalam beragama.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 185,400 academics and researchers from 4,982 institutions.

Register now