Menu Close

Pakar Menjawab: korban begal Amaq Sinta bersalah atau tidak, hakim yang berhak memutuskan, bukan penyidik kepolisian

Amaq Sinta (kanan) didampingi kuasa hukumnya memberi keterangan kepada wartawan di Mapolda NTB, Mataram.
Amaq Sinta (kanan), korban begal yang sempat ditetapkan menjadi tersangka kasus pembunuhan terhadap pelakunya. Dhimas Budi Pratama/Antara Foto

Setelah diprotes masyarakat, akhirnya polisi menghentikan penyidikan terhadap Amaq Sinta (AS), korban begal di Mataram, NTB.

AS sempat ditetapkan tersangka karena terpaksa membunuh dua begal yang mencoba merampas sepada motornya.

Padahal sebelumnya polisi sangat percaya diri menetapkan AS sebagai tersangka atas perbuatan penganiayaan hingga menyebabkan kematian sesuai pasal 338 sub 351 ayat (3) juncto pasal 49 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Wakil Kepala Polisi Resor Lombok bahkan menegaskan bahwa membunuh siapapun dalam keadaan apapun layak dipidana.

Polisi menjelaskan bahwa penghentian penyidikan kasus AS berdasarkan pada pertimbangan bahwa yang bersangkutan bertujuan melakukan pembelaan diri.

Namun, beberapa pakar pidana menyatakan bahwa selain Hakim yang nanti memutuskan apakah AS terbukti melakukan pembelaan diri dan layak dibebaskan atau tidak, hanya jaksa yang, dengan asas oportunitasnya, berwenang menghentikan perkara ini demi alasan kepentingan umum.

Hal ini kemudian memunculkan kecurigaan yang mengarah pada minimnya pengetahuan dan kompetensi penyidik kepolisian terkait proses penyidikan.

AS bersalah atau tidak, hakim yang memutuskan

Menurut Nefa Claudia Meliala, Dosen Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, penghentian penyidikan melalui penerbitan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) dapat dilakukan atas beberapa alasan yang tertera dalam KUHAP.

Penyidikan dapat dihentikan demi hukum jika penyidikan yang sedang berjalan ternyata sudah pernah dilakukan (Pasal 76), tersangka atau terdakwa meninggal dunia (Pasal 77), dan habis tenggang waktu penuntutan pidana atau kasus sudah kadaluarsa (Pasal 78). Sebab lainnya adalah karena tidak adanya pengaduan dalam delik aduan (Pasal 72), dan telah dilakukannya pembayaran denda secara sukarela (Pasal 82).

Jika suatu peristiwa yang disidik ternyata bukan tindak pidana, maka biasanya peristiwa tersebut termasuk pelanggaran hukum perdata atau administrasi.

Sementara itu, jika alasannya tidak cukup bukti atau tidak terpenuhinya syarat minimum dua alat bukti, maka penyidik dapat menyatakan bahwa tidak terdapat cukup bukti atas dugaan pembunuhan atau penganiayaan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Hal ini diatur dalam Pasal 183 dan 184 KUHAP yang ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014.

Yang menjadi masalah adalah, menurut Nefa, penyidik menggunakan alasan adanya pembelaan terpaksa, yang diatur dalam Pasal 49 KUHP, sebagai dasar diterbitkannya SP3 untuk menghentikan penyidikan.

Padahal, jika mengacu pada syarat penerbitan SP3 sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, pembelaan terpaksa jelas tidak bisa menjadi alasan penghentian penyidikan.

Penghapusan pidana dari pembelaan terpaksa, kata Nefa, hanya bisa dilakukan oleh hakim yang memeriksa perkara.

Dalam ilmu hukum pidana, alasan penghapus pidana terdiri dari alasan pembenar dan alasan pemaaf.

Alasan pembenar adalah alasan yang meniadakan sifat melawan hukum suatu perbuatan. Artinya, perbuatan melawan hukum yang dilakukan seseorang tersebut dapat “dibenarkan”.

Sedangkan alasan pemaaf adalah alasan yang meniadakan kesalahan dalam diri pelaku, artinya kesalahan pelaku “dimaafkan”.

Dalam Pasal 49 Ayat 1, pembelaan terpaksa dapat menjadi alasan pembenar. Sementara di Ayat 2, disebutkan tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang bisa menjadi alasan pemaaf.

Menurut Nefa, pembelaan terpaksa dapat dilakukan jika memenuhi tiga syarat kumulatif, yaitu adanya serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum, serangan tersebut masih atau sedang berlangsung (seketika; sudah dimulai dan belum diakhiri) dan serangan tersebut ditujukan kepada diri sendiri atau orang lain, baik terhadap tubuh (nyawa), kehormatan dan benda (harta benda) sendiri maupun orang lain.

Selain itu, pembelaan tersebut harus bersifat perlu dan patut, yakni harus adanya keseimbangan antara kepentingan hukum yang dilanggar (dalam konteks kasus AS misalnya menghilangkan nyawa orang lain) dengan kepentingan hukum yang dibela (harta benda).

Pembelaan juga hanya dilakukan apabila tidak ada cara lain menghindarkan diri dari serangan atau ancaman serangan. Misalnya, dalam kasus AS, satu-satunya cara adalah menghilangkan nyawa orang lain.

Dalam hal pembelaan terpaksa yang melampaui batas, bentuk pembelaan biasanya dilakukan sebagai akibat dari terjadinya guncangan jiwa yang hebat pada korban yang mengalami serangan atau ancaman serangan. Pembuktian ‘guncangan’ membutuhkan bantuan ahli kejiwaan.

Namun, kembali lagi, penilaian ada tidaknya alasan penghapus pidana dan apakah suatu kasus memenuhi tiga syarat pembelaan terpaksa atau tidak berada di tangan hakim dan ditetapkan melalui putusan pengadilan.

Ini juga terkait dengan fungsi pengadilan dalam meluruskan seandainya terjadi kekeliruan pada tahap penyidikan dan penuntutan oleh penyidik atau penuntut umum.

Problem kompetensi penyidik dan prinsip diferensiasi fungsional

Jika melihat pengaturan tentang kompetensi penyidik kepolisian dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2010 tentang pelaksanaan KUHAP, tidak ada persyaratan wajib bagi penyidik untuk berlatar belakang sarjana hukum.

Menurut Fachrizal Afandi, Dosen Hukum Acara Pidana dan Sistem Peradilan Pidana dari Universitas Brawijaya, hal ini menjadi salah satu faktor minimnya pengetahuan aparat kepolisian terkait prosedur penyidikan.

Fachrizal menyebutkan data Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) pada 2019 yang menunjukan bahwa dari total 43.613 penyidik di seluruh Indonesia, hanya sekitar 7.382 atau 19.92% dari total penyidik yang telah memiliki sertifikat kompetensi penyidikan.

Artinya, ada 80% lebih penyidik kepolisian dari seluruh Indonesia yang tidak memiliki kompetensi untuk melakukan penyidikan.

Dibandingkan dengan model penyidikan di hampir seluruh sistem peradilan pidana negara lain, menurut Fachrizal, memang tidak ada kewajiban bagi penyidik untuk menguasai konsep dan asas hukum pidana secara mendalam. Sebab, penyidik membutuhkan keahlian lain yang secara teknis dapat membantu mereka melakukan penelusuran dan pengumpulan bukti suatu dugaan tindak pidana.

Jaksa penuntut umumlah – yang memang berlatar belakang hukum – yang bertugas menganalisa penerapan pasal yang disangkakan kepada seorang terduga pelaku dan memutuskan apakah seseorang itu perlu didakwa atas suatu tindak pidana atau tidak berdasarkan asas oportunitas yang melekat pada kewenangan penuntutan mereka.

Masalahnya, menurut Fachrizal, KUHAP yang merupakan warisan rezim militer Orde Baru dan masih kita pakai hari ini masih menganut prinsip diferensiasi fungsional. Artinya, pembagian peran, tugas, dan kewenangan antara aparat penegak hukum (penyidik polisi, jaksa penuntut umum, dan hakim) berdasarkan tahapan proses peradilan.

Fachrizal menjelaskan bahwa dalam kerangka hukum kita, penyidik dipaksa melakukan penyidikan secara mandiri tanpa supervisi jaksa dan kontrol aktif dari hakim – yang notabene lebih menguasai pemahaman hukum.

Ke depannya, dia menyarankan perubahan KUHAP untuk memperkuat supervisi jaksa dan kontrol aktif dari hakim di tahap penyidikan oleh kepolisian.

Perubahan tersebut penting demi terciptanya proses peradilan yang sesuai hukum (due process of law) yang lebih melindungi hak asasi dan tidak akan merugikan masyarakat.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now