Menu Close
Dosen di Indonesia memiliki beban kerja tinggi yang tidak sebanding dengan kesejahteraan yang diperoleh. Luthfi Syahwal/shutterstock.

Pandangan moralis kaburkan masalah struktural dalam pendidikan tinggi: butuh lebih dari sekadar kejujuran untuk atasi pelanggaran akademis

Laporan-laporan The Conversation Indonesia (TCID) yang disusun bersama Majalah Tempo dan Jaring.id bertajuk Selisik Integritas Akademis menunjukkan berbagai persoalan serius dalam pendidikan tinggi di Indonesia. Sayangnya, laporan ini cenderung moralis dan apolitis dalam memahami bagaimana pelanggaran akademis terjadi. Maraknya plagiarisme, manipulasi dalam publikasi ilmiah hingga jual beli ijazah dan gelar akademis dipandang sebagai masalah integritas akademis.

Pandangan ini mirip dengan komentar Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Kemendikbudristek, Abdul Haris, yang menyebut kasus janggalnya jumlah publikasi Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nasional, Kumba Digdowiseiso, sebagai masalah integritas individu.

Cara pandang ini tidak hanya mengaburkan tetapi juga turut melanggengkan persoalan yang lebih mendasar dalam pendidikan tinggi yang menyebabkan terjadinya berbagai pelanggaran akademis. Masalah mendasar ini terutama berkaitan dengan rendahnya tingkat kesejahteraan dosen dan pekerja kampus, serta dominannya kontrol negara dan pasar dalam manajemen kampus dan produksi pengetahuan.

Riset yang saya lakukan tahun 2017 tentang plagiarisme di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) serta laporan yang disusun Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) tahun 2020 tentang plagiarisme di Universitas Negeri Semarang (UNNES), menunjukkan bahwa masalah-masalah yang disebut dalam laporan TCID sebagai pelanggaran ‘integritas akademis’ itu sesungguhnya adalah manifestasi dari persoalan struktural dan politik.

Banyak dosen memanipulasi aturan dan mekanisme publikasi bukan karena mereka tak mengerti pentingnya kejujuran dan etika akademis. Dalam banyak kasus, cara-cara itu adalah jalan keluar yang paling mungkin ditempuh untuk bertahan di tengah bobroknya sistem pendidikan tinggi di Indonesia.

Sejauh ini, ekses atas persoalan struktural dan politik pendidikan tinggi cenderung diatasi lewat anjuran-anjuran moral atau pelatihan-pelatihan peningkatan kapasitas diri yang bersifat individual. Akibatnya, alih-alih berkurang, kasus-kasus serupa justru kian marak dan makin dinormalisasi.

James Scott, seorang antropolog dari Amerika Serikat (AS), menyebut bahwa kecurangan adalah senjata orang-orang lemah, yang tidak mampu membangun perlawanan kolektif terhadap sistem yang eksploitatif dan membelenggu.

Artinya, agar para akademisi tidak mengambil jalan pintas, masalah yang mendasar terkait kesejahteraan dan birokratisasi kampus paling mungkin diatasi lewat aksi dan perlawanan kolektif dari para pekerja kampus yang berserikat.

Rendahnya kesejahteraan dosen

TCID pernah membuat laporan intensif tentang masalah kesejahteraan dosen dan pentingnya berserikat.

Namun, TCID belum mengelaborasi lebih jauh kaitan antara pelanggaran akademis dengan problem kesejahteraan dan lemahnya komunitas akademis dalam memperjuangkan hak-haknya serta melawan belenggu negara dan pasar atas pengelolaan pendidikan tinggi.

Laporan TCID yang merujuk pada riset kesejahteraan dosen yang melibatkan 1.300 reponden akademisi dari berbagai kampus di Indonesia menunjukkan bahwa 42,9% menerima penghasilan total per bulan di bawah Rp3 juta, jumlah yang lebih rendah dari upah minimum provinsi masing-masing daerah.

Rendahnya penghasilan dengan beban kerja administratif yang besar juga terus dinormalisasi lewat narasi-narasi pengabdian.

Memang benar bahwa berbagai tunjangan gaji berkontribusi menambah jumlah upah. Namun, itu hanya mungkin dicapai setelah melewati sekian tahun masa pengabdian dengan tambahan beban administratif dan prosedur yang kompleks yang kerap mendistraksi dosen dari kerja-kerja akademis.

Akibatnya, banyak dosen melakukan pekerjaan sampingan, mulai dari menjadi wirausahawan hingga mengajar di berbagai kampus. Kerja-kerja semacam ini bahkan seringkali tidak berhubungan dengan bidang keahlian akademis dosen. Dalam banyak kasus, mereka yang melakukan kerja sampingan sebagai konsultan, staf ahli di birokrasi pemerintahan atau menjadi saksi ahli di persidangan, justru harus menggadaikan idealisme akademis.

Sementara di dalam kampus, sebelum adanya ketentuan beban kerja dosen maksimal 16 SKS per semester, banyak dosen mengampu mata kuliah sebanyak-banyaknya untuk memperoleh tambahan penghasilan dari kelebihan jam mengajar. Ini dilakukan seringkali tanpa memperhatikan kualitas pengajaran.

Hibah riset dan pengabdian juga menjadi incaran. Namun karena pengelolaan hibah lebih banyak memberi beban administratif ketimbang keleluasaan meneliti dan menulis, banyak laporan riset dan luaran publikasi dibuat ala kadarnya.

Namun, di saat publikasi internasional menjadi syarat administratif kenaikan pangkat, dosen yang kurang cakap dalam menulis karena disibukkan oleh beban administratif dan kerja-kerja sampingan, terpaksa mengambil jalan pintas.

Kontrol negara dan pasar atas kampus

Dominannya kontrol negara dan pasar dalam pengelolaan kampus adalah faktor lain yang memungkinkan normalisasi kecurangan atau pelanggaran akademis. Negara mengontrol kampus melalui penentuan rektor dan pengaturan sistem kepegawaian di bawah Badan Kepegawaian Negara.

Sejak era Orde Baru, komposisi persentase penentuan rektor oleh kekuasaan eksekutif tidak banyak berubah, sebesar 35%. Akibatnya, akademisi yang berambisi menjadi rektor harus membangun dan mempertahankan hubungan dengan penguasa.

Mengobral gelar-gelar akademik kehormatan kepada pejabat negara dan politisi adalah salah satu cara yang ditempuh untuk memperoleh restu dari penguasa. Hubungan semacam ini dibangun dengan menggadaikan kemerdekaan kampus.

Rektor UNJ Komarudin, misalnya, pada 2021 pernah berupaya memberikan gelar kehormatan kepada Wakil Presiden Ma'ruf Amin dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Tohir. Hal itu disinyalir sebagai bagian dari upaya Komarudin, yang juga berambisi menjadi salah satu kandidat dalam pemilihan rektor berikutnya, membangun hubungan dengan penguasa.

Pekerja kampus tidak punya suara signifikan dalam penentuan rektor, selain melalui senat akademik yang biasanya juga telah dikontrol oleh pejabat petahana. Hubungan dengan penguasa di dalam kampus sendiri juga dimungkinkan oleh rendahnya kesejahteraan dosen yang membuat sebagian dari mereka berambisi mengejar jabatan ketimbang meneliti dan menulis artikel ilmiah.

Manifestasi intervensi pasar, terutama dalam bentuk privatisasi dan komersialisasi kampus, merupakan respons atas besarnya kontrol negara yang dianggap telah mendistorsi sirkulasi kapital dan tenaga kerja di bidang pendidikan tinggi secara global. Akan tetapi, dominannya kepentingan aliansi politisi-pengusaha-birokrat yang senantiasa berupaya memonopoli kontrol dan akses atas lembaga-lembaga publik untuk akumulasi kekayaan dan kekuasaan, tidak sepenuhnya melenyapkan campur tangan negara dalam pengelolaan kampus.

Dalam aspek manajemen dan kepegawaian kampus, kontrol negara masih dominan, tapi secara finansial, perguruan tinggi dituntut lebih mandiri dan kompetitif.

Privatisasi pendidikan tidak hanya membuat biaya kuliah makin tak terjangkau bagi kelas bawah, tetapi juga telah mengakselerasi perekrutan pekerja kampus secara kasual.

Makin banyak pekerja kampus direkrut secara kasual sebagai pegawai tidak tetap atau pegawai kontrak dengan jangka waktu tertentu (PKWT). Hal ini tentu saja memperparah kerentanan posisi pekerja kampus, terlebih karena tingkat upah yang rendah bahkan bagi pekerja tetap. Akibatnya, makin banyak akademisi yang menempuh jalan pintas untuk bisa bertahan, terutama dalam menghadapi tuntutan publikasi internasional.


Read more: Bersyukur atau berkumpul? Menilik urgensi serikat dosen di Indonesia


Pekerja kampus harus berserikat

Ada setidaknya lima bentuk pelanggaran akademis yang telah diidentifikasi dalam laporan TCID terbaru, yakni: plagiarisme, kepengarangan yang tidak sah, fabrikasi dan falsifikasi, pengajuan jamak, serta konflik kepentingan.

Sebagaimana dikemukakan di awal, pelanggaran akademis tersebut bersumber terutama dari masalah kesejahteraan dan kontrol negara dan pasar terhadap kampus—bukan semata persoalan individual terkait integritas akademis. Untuk mengubahnya, tuntutan-tuntutan moral kepada negara agar lebih memperhatikan hak-hak pekerja kampus dan menghapuskan intervensi dalam manajemen pendidikan tinggi tidaklah cukup.

Harus ada intervensi politik secara aktif oleh pekerja di sektor pendidikan tinggi. Hal itu diwujudkan dengan cara mengambil alih kendali atas manajemen kampus dan lembaga-lembaga negara yang berhubungan dengan pendidikan tinggi agar lebih berpihak kepada kepentingan pekerja kampus. Untuk itu, diperlukan aksi kolektif yang terorganisir, di antaranya melalui pembentukan serikat.

Aksi kolektif dibutuhkan untuk memperjuangkan kesejahteraan dosen. Drawlab19/shutterstock.

Inisiatif semacam ini telah ditempuh oleh pekerja kampus lewat pendirian Serikat Pekerja Kampus (SPK) tahun 2023, meskipun upaya pencatatan legalnya di Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi DKI Jakarta dan Dinas Tenaga Kerja Kota Malang masih dihambat negara hingga saat ini. Hal ini membuat SPK tidak memiliki justifikasi legal dalam menjalankan fungsi serikat baik dalam upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial hingga pembuatan perjanjian kerja.

Penghalang-halangan pencatatan ini bukan semata karena alasan teknis tidak terpenuhinya persyaratan administratif terkait status Aparatur Sipil Negara (ASN) pengurus dan anggotanya, tetapi lebih sebagai respons politik penguasa atas inisiatif pengorganisasian pekerja kampus. Terlebih, sejak penghancuran sistematis gerakan kiri tahun 1965 yang diorkestrasi oleh militer, serikat pekerja masih diasosiasikan dengan gerakan komunisme terlarang.

Adanya hambatan pencatatan itu menegaskan bahwa dalam berserikat, bukan hanya agenda ekonomi terkait kesejahteraan yang menjadi tujuan. Serikat pekerja kampus juga harus bisa menjadi kekuatan politik yang dapat secara efektif mengintervensi pengelolaan negara dan manajemen perguruan tinggi. Dengan kata lain, agenda ekonomi serikat pekerja kampus harus sejalan dengan agenda politik—membangun strategi intervensi kekuasaan secara lebih teroganisir.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now