Menu Close
Deklarasi Kampanye Pemilu Damai 2024 di kompleks Kantor KPU, Jakarta, Senin (27/11/2023). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.

Panduan membaca janji-janji capres-cawapres secara kritis untuk pemilih pemula

Memasuki masa kampanye Pemilu 2024, calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), banyak membanjiri publik dengan janji-janji politik lewat visi-misinya.

Capres-cawapres nomor urut 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, misalnya, menjanjikan penambahan kuota haji hingga pengesahan RUU perampasan aset.. Sementara pasangan nomor urut 2, Prabowo dan Gibran, antara lain mendorong hilirisasi dalam bidang ekonomi dan dana abadi pesantren. Pasangan nomor urut 3, Ganjar dan Mahfud, juga menjanjikan banyak hal, terutama distribusi pupuk dan pembangunan desa.

Dengan banyaknya paparan janji yang diterima publik, bagaimana caranya agar pemilih, terutama pemilih pemula yang belum memiliki pengalaman memilih sebelumnya, dapat menilai janji-janji tersebut secara kritis?

1. Lihat rekam jejak calon (track record)

Sifat politik praktis sebagai arena dan proses negosiatif dengan tujuan utama meraih kekuasaan dan mempertahankannya menjadikan janji-janji politik menjadi tidak pasti.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memprediksi nasib janji-janji politik adalah dengan melihat track record. Dalam hal ini, para pemilih, perlu melihat track record sikap, pandangan, dan kebijakan yang pernah diambil oleh pasangan capres-cawapres.

Lihat bagaimana Anies Baswedan, misalnya, ketika memimpin Kementerian Pendidikan dan Budaya (2014-2016), menjadi gubernur DKI Jakarta dan menjadi Rektor di Paramadina (2007-2015).

Lihat juga bagaimana kebijakan Gibran ketika menjadi Wali Kota Solo (2021 s.d. sekarang), atau bagaimana Ganjar ketika menjadi Gubernur Jawa Tengah (2013 s.d. 2023).

Gagasan apa yang terlontar dan praktik baik apa yang dijalankan oleh mereka selama periode tersebut?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini dapat kita jadikan modal untuk memprediksi apakah janji yang ditawarkan sekarang berpeluang untuk terpenuhi atau tidak.

2. Cek sikap politik tokoh dan partai pendukung

Bendera partai-partai politik peserta Pemilu 2024 dalam kirab Kampanye Pemilu Damai di Jalan Imam Bonjol, Jakarta (27/11/2023). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.

Cara lain untuk menilai janji-janji pemilu adalah dengan meninjau sikap politik dari para tokoh dan partai penyokong ketiga capres-cawapres. Produk kebijakan apa yang didukung dan diperjuangkan oleh mereka? Adakah kebijakan yang benar-benar memihak publik?

PDI-Perjuangan, contohnya, sebagai pendukung utama pasangan calon (paslon) nomor tiga, selama berkuasa di parlemen memberikan dukungan pada penghapusan Ujian Nasional (UN).

Sementara pada tahun 2019, lima partai yaitu PDI-Perjuangan, Partai Golkar, PPP, PKB, dan Partai NasDem merupakan pengusul revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang justru berisiko melemahkan lembaga anti korupsi.

Tinjauan atas sikap politik ini dapat dilakukan tidak hanya di level legislatif tapi juga eksekutif. Kita bisa melihat bagaimana sikap pemerintah pusat maupun daerah, yang dalam beberapa kasus memunculkan kebijakan kontroversial seperti jam masuk sekolah pukul 05.00 WITA di Nusa Tenggara Timur (NTT) , ajakan untuk minum arak pagi dan malam salat berjamah berhadiah, dan lain sebagainya.

Data dan fakta track record tersebut lebih bisa kita jadikan bahan pertimbangan daripada slogan dan jargon partai.

3. Gunakan rasio, bukan emosi

Namun, tetap perlu diingat bahwa di Indonesia, batas ideologis antar-partai sering tidak jelas. Partai-partai cenderung lebih mengutamakan kepentingan politik praktis.

Contohnya, partai yang mengklaim ideologinya kerakyatan, dalam praktiknya bisa membiarkan mekanisme pasar bebas (neoliberalisme) menguasai pendidikan tinggi, (sebagaimana temuan riset saya di tahun 2016 & dan 2022).

Selain itu, perubahan situasi dan pergeseran relasi kuasa merupakan praktik lazim dalam politik Indonesia, sehingga track record juga perlu dipahami keterbatasannya. Hal ini sesuai dengan temuan riset dari Christian Staerklé, peneliti dari University of Lausanne, Swiss tentang psikologi politik. Artinya, tetap terdapat kemungkinan bahwa capres-cawapres terpilih tidak melakukan hal-hal sesuai track record mereka.

Karena itu, setelah melihat track record dan mengecek sikap politik tokoh dan partai pendukung, pemilih perlu mengutamakan pertimbangan rasional-ilmiah ketimbang sikap suka dan tidak suka secara subjektif.

Caranya adalah dengan mengkaji secara kritis janji-janji yang terlontar. Janji politik seperti makan siang dan minum susu gratis di sekolah, satu keluarga miskin satu sarjana , dan dana desa Rp 5 miliar perlu direspons dengan pertanyaan-pertanyaan kritis seperti: Dananya dari mana? Dana yang akan diambil apakah akan mengurangi alokasi dana lain? Program mana yang akan diprioritaskan? Prediksi dampaknya seperti apa?


Read more: Cek Fakta: benarkah 76 negara punya program makan siang dan susu gratis untuk anak sekolah?


Pertimbangkan juga apakah perumusan janji-janji politik tersebut menggunakan pendekatan ilmiah atau lebih pada usaha untuk meraup suara belaka.

Mengingat bahwa pilihan kita menentukan bagaimana negara ini dijalankan setidaknya dalam lima tahun ke depan, para pemilih perlu mencermati dan memahami mana janji-janji yang realistis dan mana yang tidak.

Dengan membaca janji-janji politik capres-cawapres secara kritis dan rasional, pemilih tidak sekadar menjadi objek pasif sasaran meraih suara, melainkan pelaku aktif yang berkontribusi dalam keberlangsungan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now