Menu Close

Pembiayaan jumbo transisi energi Indonesia harus menjamin keadilan agar tak merugikan pekerja dan masyarakat

Transisi energi perlu berkeadilan.
Aktivitas pertambangan batu bara di Kalimantan Selatan. Pembiayaan transisi energi perlu diarahkan untuk meredam dampak pada para pekerja tambang. dominik vanyi/unsplash, CC BY-SA

Pemerintah Indonesia meluncurkan Energy Transition Mechanism (ETM) country platform di acara G20 di Bali pada November 2022. Platform ini berfungsi sebagai mekanisme koordinasi untuk pembiayaan campuran pemerintah dan nonpemerintah demi mempercepat transisi energi fosil ke energi yang lebih ramah lingkungan.

Isu pembiayaan merupakan urusan krusial karena transisi energi memerlukan dana yang cukup besar. Selain itu, upaya memastikan transisi berjalan secara berkeadilan (just transition), yakni dapat dinikmati semua orang tanpa merugikan siapapun, juga menjadi tantangan tersendiri.

Dalam rangka mendukung mekanisme yang ambisius ini, International Partners Group (IPG) – terdiri dari Uni Eropa, Prancis, Jerman, Inggris Raya, dan Amerika Serikat – secara bersamaan dalam acara G20 meluncurkan Just Energy Transition Partnership (JETP), dengan komitmen pendanaan awal senilai US$20 miliar (Rp 300,28 trilun). Dana tersebut akan dikucurkan dalam waktu tiga sampai lima tahun.

Ini adalah skema JETP kedua setelah skema JETP pertama di Afrika Selatan yang diluncurkan tahun 2021. ETM diharapkan menjadi mekanisme penyaluran dana dari JETP ini.

Saat ini, mekanisme penyaluran dana dari platform ETM masih belum pasti. Pemerintah baru merencanakan penggunaan dana tersebut untuk dua hal: pembiayaan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan investasi energi baru dan terbarukan.

Dua aktivitas tersebut, sayangnya, tidak mengatasi isu sosial dan ekonomi dari penutupan dini PLTU batu bara. Untuk merealisasikan transisi energi yang adil, pemerintah perlu memperluas cakupan ETM ke pekerja sektor energi fosil maupun masyarakat yang terdampak.


Read more: Target pengurangan emisi Indonesia memang lebih ambisius, tapi ratingnya paling rendah


Keadilan sebagai isu inheren dalam transisi energi

Infrastruktur memang kunci utama dari transisi energi, tapi pemerintah perlu memperluas perspektifnya. Salah satu hal yang penting tapi kadang terlupakan dalam perbincangan transisi energi adalah pemerataan (equality) dan keadilan (justice).

Pemerataan dan keadilan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari transisi energi. Kedua aspek ini perlu disinggung secara serius karena dapat mempengaruhi skala dan laju transisi.

Sebagai contoh, kebutuhan pekerja yang terdampak penutupan dini PLTU – seperti ketersediaan lapangan kerja alternatif dan kompensasi – harus dipenuhi. Jika tidak, maka para pekerja dapat menentang kebijakan transisi energi sehingga menghambat kecepatan penerapannya.

Dampak transisi juga akan terpusat di wilayah tambang batu bara. Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan, sebagai provinsi yang bergantung kepada pertambangan batu bara, memiliki risiko terdampak yang sangat besar. Beberapa kabupaten di dua provinsi tersebut, seperti Kabupaten Paser dan Muara Enim, menggantungkan lebih dari setengah perekonomiannya pada sektor pertambangan.

Dapat dibayangkan, bagaimana dampak ekonomi dan sosial jika tambang-tambang di daerah tersebut tutup karena permintaan batubara dari PLTU berkurang. Bahkan, tanpa adanya kebijakan transisi energi, konflik sosial sudah terjadi di daerah tersebut. Misalnya, pada September 2022, massa dari Lawang, Kecamatan Kidul, Muara Enim berunjuk rasa ke PT Bukit Asam untuk memprotes perekrutan tenaga kerja yang dianggap tidak transparan.

Kota Sawahlunto menjadi salah satu contoh pahit karena ekonomi yang terpuruk akibat penutupan tambang batubara. Sebelum tahun 2000, mata pencaharian penduduk kota ini sangat didukung oleh keberadaan PT Bukit Asam, satu-satunya perusahaan tambang batu bara di sana.

Namun, setelah penutupan tambang tersebut, Sawahlunto mengalami resesi yang signifikan hingga 11.622 orang meninggalkan kota ini.

Keadilan juga harus ditegakkan di sektor-sektor yang mendukung transisi energi, seperti pertambangan nikel. Rencana pemerintah mengembangkan industri nikel di dalam negeri untuk mendukung pasar kendaraan listrik masih belum lepas dari konflik sosial. Sebagai contoh, warga Kepulauan Wawonii, Sulawesi Tenggara, menghadapi ancaman kriminalisasi dari perusahaan tambang yang ingin mengeksploitasi nikel di pulau mereka.

Ringkasnya, Indonesia mesti menjadikan aspek keadilan sebagai bagian tak terpisahkan dari transisi energi. Tanpa keadilan, kebijakan transisi energi menjadi ‘tidak sah’ di mata masyarakat sehingga berisiko menghambat pelaksanaannya.

Aspek keadilan perlu tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang ada, termasuk kebijakan pembiayaan.

ETM sebagai kendaraan utama transisi energi yang adil

Pembiayaan adalah salah satu kunci transisi energi yang adil dan berkeadilan. Sebab, upaya mewujudkan transisi yang adil tidaklah murah.

Pemerintah perlu merancang jaring pengaman sosial sebagai kompensasi langsung atas pendapatan yang hilang akibat penutupan sejumlah sektor energi fosil.

Ada kebutuhan untuk membangun sistem ekonomi hijau yang lebih berkelanjutan dalam jangka panjang. Investasi besar-besaran untuk infrastruktur, pelatihan, dan insentif ekonomi, tentu diperlukan untuk membangun sistem ekonomi alternatif tersebut.

Untuk mewujudkan hal tersebut, paradigma ‘pembiayaan iklim’ (climate financing) saat ini harus diperluas menjadi ‘pendanaan transisi yang adil’ (just transition financing). Harapannya, pembiayaan tidak terbatas pada upaya memangkas emisi gas rumah kaca, tapi juga pengembangan sistem ekonomi alternatif yang lebih berkelanjutan dan lebih adil.

Walau skema ETM belum pasti, pembiayaan pensiun dini dari PLTU batubara dan investasi energi baru terbarukan memang perlu menjadi prioritas karena Indonesia memiliki PLTU batubara yang relatif muda, rata-rata berusia antara 12-13 tahun. Sementara, perjanjian daya beli biasanya berlangsung selama 30 tahun . Namun, pemerintah perlu mengingat bahwa dampak ekonomi dan sosial dari transisi energi akan besar, dan dana yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut juga besar.

Indonesia dapat mencontoh JETP Afrika Selatan yang mempertimbangkan aspek keadilan dalam penggunaan dana dari JETP.

Dalam rencana investasi JETP-nya, Afrika Selatan berencana mengucurkan $750.000, dari $8,5 juta yang dijanjikan oleh IPG, untuk program non-fisik yang mencakup kapasitas perencanaan dan implementasi, pengembangan keterampilan, diversifikasi dan inovasi ekonomi, serta investasi inklusi sosial. Alokasi dana tersebut mencakup sekitar 20% dari kebutuhan investasi. Program-program ini akan dipusatkan di Provinsi Mpumalanga yang merupakan rumah bagi 83% produksi batubara nasional.

Saat ini, narasi ETM masih terfokus pada kompensasi biaya bagi investor yang menutup PLTU secara dini. Pensiun dini memang mahal bagi investor terutama dalam bentuk aset terdampar, yakni aset PLTU yang tidak terpakai karena transisi energi.

Namun, mengingat aspek keadilan yang tak terpisahkan dari transisi energi dan dampak yang mungkin muncul jika tak terpenuhi, cakupan platform ETM seharusnya tak hanya berfokus pada infrastuktur mitigasi iklim namun juga menjamin hak masyarakat dan pekerja.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now