Menu Close
Digitalisasi dalam politik. Freepik, CC BY

Pemilu 2024: Mengenal “partai digital” dan peran pentingnya dalam meningkatkan partisipasi politik publik

Tingginya intensitas masyarakat Indonesia dalam menghabiskan waktu di dunia maya, terlepas apapun status ekonomi dan sosialnya, turut berdampak pada praktik politik.

Berbagai partai politik kini berusaha untuk menjangkau publik dengan memanfaatkan media sosial. Hampir semua partai memiliki akun media sosial dan aktif di dunia maya untuk menggaet suara pemilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Di negara Barat, fenomena digitalisasi politik mendorong kelahiran partai digital, konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh Paolo Gerbaudo, seorang akademikus dari King’s College London, Inggris.

Paolo mendefinisikan partai digital sebagai partai yang menerapkan filosofi digital, yakni mengutamakan penggunaan teknologi untuk berkomunikasi dengan kader partai maupun masyarakat luas.

Mengingat pentingnya penguatan peran masyarakat dalam berpolitik, maka partai-partai di Indonesia perlu segera berubah menjadi partai digital. Apalagi, pemilik suara dominan untuk Pemilu 2024 berasal dari generasi milenial dan generasi Z (Gen Z) yang aktif bermedia sosial.

Karakteristik partai digital

Partai digital memiliki setidaknya lima karakteristik:

Pertama, infrastruktur berbasiskan perangkat lunak yang tersimpan di sistem awan (cloud). Perangkat lunak yang dapat diakses secara daring ini portal untuk mengakses beragam informasi maupun fitur.


Read more: Jelang Pemilu 2024, saatnya media sosial jadi panggung kampanye yang berkualitas


Salah satu contoh perangkat ini adalah aplikasi digital, sebagai wujud alternatif dari partai digital. Pasalnya, bangunan fisik tidak lagi mutlak dibutuhkan. Dengan cloud system, siapapun bisa mengakses informasi dan pelayanan terkait masing-masing parpol di mana saja dan kapan saja.

Kedua, partisipasi sebagai napas partai.

Keberadaan partai digital akan kehilangan esensi bila tidak ada partisipasi di dalamnya. Karena itu, infrastruktur digital atau aplikasi yang diciptakan partai politik harus memberikan ruang memadai bagi publik untuk bersuara. Aplikasi ini juga mesti mampu merekam dan mencatat aspirasi masyarakat. Ini akan dapat memudahkan politikus untuk merumuskan kebijakan belandaskan data serta keinginan dan kebutuhan publik.

Ketiga, partai digital perlu memiliki satu hyperleader (tokoh sentral).

Contoh praktiknya ada pada perusahaan teknologi besar. Jack Ma, misalnya, sebagai tokoh sentral Alibaba (e-commerce raksasa asal Cina). Ada juga Mark Zuckerberg sebagai ikon Meta (dulunya Facebook), dan Elon Musk sebagai ‘patron’ di Tesla. Partai sebesar apapun tidak akan bertahan tanpa sosok pemimpin yang kuat.

Namun, sosok dalam konteks digital agak berbeda dengan figur sentral dalam partai konvensional, yang jumlahnya bisa dua atau lebih dan masih berpotensi untuk terus muncul wajah-wajah baru. Di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), misalnya, ada Megawati Soekarnoputri yang dianggap penerus trah Soekarno. Namun, ada pula wajah Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, yang mulai menjadi ikon. Di partai digital, sosok sentral biasanya hanya mengerucut pada satu figur utama.

Keempat, butuh superbase atau kelompok pendukung.

Di era dengan beragam pilihan aplikasi, publik memiliki kecenderungan untuk tidak loyal pada satu aplikasi. Sebagai contoh, untuk aplikasi belanja daring, para pelanggan akan memilih berdasarkan seberapa besar insentif, berupa diskon, yang diberikan. Prinsip yang sama dapat terjadi dengan partai digital. Karena itu, penting untuk tidak hanya membangun ikatan emosional baik para kader partai maupun publik sasaran, tapi juga membangun infrastruktur digital yang nyaman digunakan masyarakat.

Kelima, mengarah pada demokrasi plebisit.

Konsep plebisit mirip seperti referendum, yakni publik terlibat dalam pengambilan keputusan dengan memberi sebuah pertanyaan dan memilih jawaban antara ‘setuju’ dan ‘tidak setuju’. Sistem seperti ini memungkinkan aspirasi publik dapat tertampung dan jadi modal politik.

Bibit partai digital di Indonesia

Beberapa partai politik di negara Barat yang telah bertransformasi menjadi partai digital adalah Pirate Party dari Swedia, the Five Star Movement dari Italia, the France Insoumise dari Prancis, dan Momentum dari Inggris. Salah satu kemiripan dari partai-partai digital tersebut adalah anggota mereka rata-rata berasal dari kalangan anak muda. Mereka kebanyakan digital natives (tumbuh dengan kebiasaan mengakses teknologi digital), dengan rentang usia 18-34 tahun.

Di Indonesia, salah satu partai politik yang mulai menunjukkan filosofi digital adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Pascapemilu 2019, PSI meluncurkan Aplikasi Solidaritas untuk memperkuat komunikasi politik mereka di ranah digital, terutama dalam bidang penerimaan laporan dan pengawasan kinerja anggota dewan terpilih PSI.

Aplikasi Solidaritas PSI menawarkan berbagai fitur yang memungkinkan masyarakat mengawasi dan memberikan masukan atas kerja-kerja legislasi, agenda kegiatan. Aplikasi ini juga memungkinkan publik menilai kinerja anggota dewan, mengakses dokumen draft Raperda (karena PSI hanya menempatkan wakilnya di parlemen daerah, belum sampai ke DPR), hingga memberi masukan. Ada juga serta fitur untuk menyerap aspirasi masyarakat dan menampung aduan publik yang berbasis sistem pelacakan.

Fitur-fitur tersebut memperlihatkan upaya PSI untuk melibatkan dan memberdayakan masyarakat dalam berpolitik. Masyarakat bukan lagi sebagai objek politik yang hanya diperebutkan suaranya setiap Pemilu.

Semangat PSI ini layak ditiru oleh partai politik lainnya, tentunya dengan penyesuaian dengan ideologi partai masing-masing.

Bila praktik partai digital seperti ini bisa diterapkan lebih luas dan menjadi hal yang normal, maka para politikus akan tertuntut untuk benar-benar bergerak sesuai aspirasi rakyat. Publik pun akan mudah mengawasi dan menilai tolak ukur kinerja para wakil rakyat.

Dengan menjadi partai digital, berbagai program kontroversial DPR dapat dikurangi karena masyarakat bisa betul-betul memantau. Bila ada anggota dewan yang memaksa untuk mendorong sebuah program kontroversial maka publik bisa langsung memberikan rating jelek. Rating yang buruk dapat menjadi sanksi sosial, dan dapat berdampak untuk penilaian diri mereka di Pemilu selanjutnya. Pada akhirnya, partai politik melalui para kader-kader terpilihnya dapat sepenuhnya menjadi penyambung lidah rakyat.

Namun, meski menunjukkan filosofi digital dengan Aplikasi Solidaritas, PSI belum dapat disebut sebagai partai digital.

Ini terjadi karena, dari sisi internal, belum tampak keseriusan para kader untuk aktif menggunakan aplikasi ini. Selain itu, belum ada strategi kampanye yang jelas untuk memperkenalkan aplikasi ini kepada publik. Menurut dokumen PSI perihal Aplikasi Solidaritas,per Februari 2022, jumlah penggunanya hanya sebesar 1.540 orang.

Salah satu faktor krusial yang menjadi penghambat bagi PSI untuk bertransformasi menjadi partai digital adalah masalah finansial. PSI tidak memiliki dukungan dana yang kuat sehingga sulit untuk mengembangkan aplikasi secara berkala dan mempromosikannya.

Apa yang bisa dilakukan pemerintah pusat?

Ide partai digital ini bisa menjadi angin segar bagi demokrasi dan perpolitikan di Indonesia.

Pemerintah perlu mewadahi serta mendorong para partai politik bertransformasi menjadi partai digital. Pemerintah bisa mencoba untuk mengalokasi anggaran melalui dana bantuan parpol atau pos anggaran baru.

Apabila belum mencukupi, maka solusi alternatif bisa dengan cara menggandeng pihak swasta atau menginisiasi pendanaan kolektif (crowdfunding). Prinsipnya bisa seperti suntikan dana swasta untuk pembangunan infrastruktur.

Alih-alih infrastruktur fisik, swasta bisa diperdayakan untuk membangun infrastruktur politik digital. Hal ini umumnya dikenal sebagai public private partnership (PPP). Swasta hanya mendanai pembuatan platform digital. Namun, untuk hal ini, memang perlu aturan ketat untuk mencegah pihak swasta mengatur arah politik.

Akses internet dan literasi digital juga menjadi penghambat untuk mewujudkan praktik partai digital. Oleh karenanya, pemerintah perlu menjamin ketersediaan akses internet di seluruh pelosok Indonesia, sementara partai politik, akademisi, aktivis, maupun elemen masyarakat lainnya dapat berkontribusi menggenjot literasi digital masyarakat.

Walaupun masih lemah, PSI sudah menjadi bibit untuk kelahiran partai digital. Bagaimana bibit itu dan bibit lainnya bisa tumbuh, tergantung pada keseriusan berbagai pihak untuk melakukan transformasi digital.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now