Menu Close

Penggunaan AI semakin masif, tetapi tidak banyak mengubah lanskap kampanye politik di Indonesia

Ilustrasi para capres dan cawapres Pilpre 2024 yang dibuat menggunakan AI oleh akun Instgram @farisalmn.

Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 telah usai. Apabila Pilpres 2014 dan 2019 ditandai dengan partisipasi dan kampanye politik menggunakan media sosial, Pilpres tahun ini ditandai dengan masifnya penggunaan AI dalam strategi kampanye para calon presiden (capres).

Beberapa catatan muncul terkait perkembangan teknologi digital dalam bentuk kecerdasan artifisial (AI) yang semakin masif dirasakan dalam kehidupan politik. Di negara-negara yang melaksanakan pemilihan umum (pemilu) tahun ini, termasuk Pilpres 2024 di Indonesia, kehadiran AI setidaknya berkontribusi pada tiga hal: 1) gaya komunikasi kampanye yang baru, 2) micro targeting dan 3) disinformasi yang semakin masif.

AI dalam kampanye Pilpres 2024

Saya terlibat dalam kelompok riset tentang Populisme, Teknologi Digital, dan Pemilu 2024-risetnya belum dipublikasi. Dalam riset tersebut, kami mengonfirmasi ketiga tim kampanye dari masing-masing pasangan calon (paslon) tentang keterlibatan AI dalam strategi kampanye pilpres.

Temuan sementara adalah penggunaan AI telah memberikan warna baru dalam kampanye politik. Varian AI yang akhir-akhir ini menyeruak ke publik adalah generative AI (“GenAI”) yang merupakan sistem AI yang dapat menghasilkan teks, gambar, video dan suara sesuai perintah user.

Billboard gambar capres-cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang dibuat menggunakan AI dipasang di Jakarta. Toto Santiko Budi/Shutterstock

Hadirnya GenAI dianggap sebagai upaya untuk mendemokratisasi teknologi AI agar semua orang dapat menggunakan AI tanpa harus memiliki keahlian spesifik dan sumber daya tertentu. Mudahnya penggunaan GenAI menjadi awal dari kampanye berbasis AI yang menciptakan gaya kampanye baru pada Pilpres 2024.

Ketiga tim kampanye mengakui bahwa mereka menggunakan AI dalam kampanyenya, baik yang sifatnya top-down (arahan dari tim kampanye) atau bottom-up (inisiatif relawan). Salah satu tujuannya adalah untuk memoles citra politik para capres guna menggaet pemilih muda dan memobilisasi dukungan dari pemilih tersebut.

Produk AI yang mereka gunakan di antaranya adalah gambar dan video AI yang serupa anak kecil yang menggemaskan dan video selfie (swafoto) bersama pasangan capres-cawapres untuk mendekatkan pemilih Gen-Z dengan calonnya.

Tidak hanya itu, penggunaan AI juga mereka gunakan untuk microtargeting warganet di media sosial. Jauh sebelum kita mengenal terminologi “AI”, media sosial yang kita gunakan sebenarnya telah menggunakan AI dalam operasionalisasinya.

Penggunaan algoritme data oleh perusahaan media sosial, misalnya, bertujuan untuk menyortir data atau konten yang tersedia dengan menyuguhkan data berdasarkan analisis dari aktivitas user di media sosial. Sistem algoritma ini kemudian menjadi basis data untuk dianalisis oleh berbagai bentuk AI (machine learning/ML, deep learning/DL, dan natural language processing/NLP) untuk menyebar iklan, personalisasi konten, dan memonitor percakapan di dunia nyata untuk diterjemahkan di dunia maya.

Sebagai contoh, platform Pemilu.ai menyediakan jasa strategi microtargeting dengan analisis algoritme untuk mengetahui aspirasi masyarakat hingga di level kecamatan. Selain itu, aplikasi berbasis NLP digunakan untuk membantu user membedah visi-misi serta berdiskusi dengan chatbot.

Terakhir, AI digunakan untuk membagikan informasi yang merugikan dengan tujuan untuk merekayasa opini. Perangkat penghasil GenAI seperti Midjourney dapat menghasilkan konten visual dengan mudah, menghasilkan apa yang disebut sebagai “political deepfakes” atau konten politik berupa foto atau video yang mudah diproduksi dengan tujuan mengaburkan fakta politik dari yang sebenarnya.

Pada Pilpres 2024, “deepfake” digunakan pada konten video mendiang mantan Presiden Suharto yang mengajak pemilih untuk memilih calon presiden dan wakil presiden yang didukung Partai Golkar.

Ekonomi-politik media di Indonesia

Apabila kita tarik lebih jauh, penggunaan AI dan media sosial ditentukan oleh seberapa baik kualitas data yang diperoleh untuk mengetahui preferensi warga negara dan untuk menghasilkan sebuah citra atau narasi politik yang baru sehingga dapat memenangkan pertarungan wacana di media sosial. Namun, arena media sosial juga dipengaruhi oleh lanskap ekonomi-politik media konvensional di Indonesia.

Ross Tapsell, peneliti yang berfokus pada media di Asia Tenggara, berargumen bahwa, penggunaan teknologi digital memungkinkan taipan media konvensional di Indonesia menjadi lebih kuat dan menjadikannya sebagai “konglomerat digital”.

Seorang perempuan mengenakan bando yang menampilkan gambar capres-cawapres Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang dibuat menggunakan AI. Toto Santiko Budi/Shutterstock

Hanya mereka yang memiliki sumber daya untuk menggunakan teknologi digital terkini yang mampu menguasai pertarungan wacana di media sosial, sedangkan media-media independen dengan limitasi sumber daya susah untuk berkompetisi dengan para “konglomerat digital”.

Struktur algoritme media sosial yang menyimpan data aktivitas pengguna dan menyediakan konten-konten yang viral semakin tersirkulasi dengan engagement seperti likes retweet dan komentar pengguna. Fenomena ini yang kemudian menjerat user media sosial di dalam echo chamber (ruang gema). Di sinilah para politikus, yang bekerja sama dengan “konglomerat digital”, membanjiri media sosial dengan konten-konten yang diinginkan.

Penciptaan ruang gema ini turut didorong oleh penyebaran jejaring pasukan siber yang dikerahkan oleh kelompok elite politik dan elite ekonomi.

Riset Ward Berenschot dan Wijayanto menunjukkan bahwa jejaring pasukan siber didukung secara finansial melalui: 1) anggaran negara; 2) politisi yang bekerja sama dengan para konglomerat digital; dan 3) pengusaha yang mendukung politikus tertentu.

Kelindan antara elite politik dan elite ekonomi ini bertujuan untuk mempromosikan kebijakan pemerintah, propaganda di media sosial, serta menggenjot popularitas dan eksistensi politikus secara daring.

Alhasil, yang menguasai arena media sosial adalah media-media yang memiliki kuasa dan akses ke sumber daya yang mampu menyebarkan jejaring pasukan siber untuk menguasai pertarungan wacana di dunia maya.

Bagaimana AI mengubah lanskap kampanye politik masa depan

Kehadiran AI tentu memberikan kemudahan dalam membaca preferensi konstituen dan efisiensi waktu dalam menghasilkan produk kampanye politik. Tetapi ia tidak banyak mengubah lanskap kampanye politik di Indonesia.

AI hanya menambah variasi alat kampanye politik dengan menghasilkan konten-konten yang murah, cepat, dan tepat, sesuai preferensi user media sosial. Meskipun AI dan teknologi digital adalah salah satu faktor pendorong partisipasi politik, para taipan media juga dapat mengontrol narasi yang bergulir di media sosial yang tidak sejalan dengan status quo.

Lebih dari itu, konglomerasi media di Indonesia telah sukses mengadopsi berbagai teknologi digital untuk menguntungkan mereka, baik secara pengaruh politik maupun ekspansi bisnis.

Pada tataran tipe-tipe strategi kampanye politik, jawaban dari ketiga tim kampanye juga menunjukkan bahwa strategi kampanye dengan AI dan media sosial diperlukan, tetapi metode-metode kampanye akar rumput tetap dibutuhkan untuk mobilisasi massa dan penguatan konversi suara.

Gambar capres-cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang dibuat menggunakan AI.

Meskipun strategi kampanye akar rumput yang dimaksud tidak eksplisit, tetapi setidaknya cara-cara pemenangan yang klientelistik (pertukaran sumber daya materi atau nonmateri) dan mengandalkan patron adalah sedikit dari banyak kampanye yang dilakukan.

Penggunaaan AI dalam kampanye politik akan semakin masif di masa depan. Bahkan bukan tidak mungkin detail tentang data pribadi kita tidak lagi bersifat personal, melainkan dapat diakses dan diketahui melalui aplikasi pemrosesan data oleh konsultan politik.

Apabila tidak ada proses pembaharuan secara bertahap, baik dari aspek legal formal maupun sosial, alih-alih berkontribusi menciptakan warga negara yang kritis, teknologi digital justru dapat merusak sistem demokrasi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 185,400 academics and researchers from 4,982 institutions.

Register now