Menu Close

Perang Gaza: melaporkan dari garis depan konflik selalu menimbulkan pertanyaan etis yang sulit dijawab

Picture taken from Jeremy Bowen's twitter feed of the BBC correspondent reporting from Syria
Koresponden asing veteran BBC, Jeremy Bowen, melaporkan dari Suriah, 2014, Twitter

Siapa yang mau menjadi jurnalis yang meliput konflik di Gaza? Setiap hari ada saja tuduhan-tuduhan tentang bias media yang muncul di media sosial.

Pelaporan atau pemberitaan langsung memang rentan terhadap bahaya spekulasi, kesalahan, dan jebakan disinformasi, terutama bagi mereka yang tidak waspada. Jika kamu dihadapkan pada jadwal tayang yang sangat cepat di tempat berbahaya, tuduhan bias akan semakin meningkat.

Di sisi lain, Phil Chetwynd, direktur berita global di AFP, kantor berita Prancis, mengatakan: “Pekerjaan kami tidak pernah terasa lebih penting.”

Di masa konflik seperti ini, sebagian besar pemberitaan berbahaya atau melaporkan langsung dari zona perang telah dilakukan oleh para jurnalis Palestina yang tinggal di Gaza, sementara koresponden asing memiliki akses terbatas untuk bisa masuk dan meliput langsung dari dalam wilayah Israel maupun Tepi Barat. Hingga saat ini, lebih dari 40 jurnalis dilaporkan telah terbunuh dalam pertempuran, 35 di antaranya adalah warga Palestina.

Jon Donnison, koresponden BBC, dituduh bias anti-Israel ketika melaporkan ledakan di Rumah Sakit Al-Ahli pada 17 Oktober. Donnison mengatakan bahwa ia telah menghubungi pihak militer Israel untuk meminta tanggapan dan Israel mengaku masih melakukan penyelidikan: “Namun, mengingat besarnya ledakan tersebut, sulit untuk melihat kemungkinan lain yang bisa menyebabkan itu selain serangan udara Israel.”

Setelah Israel menyangkal bertanggung jawab atas ledakan tersebut, wakil pimpinan eksekutif BBC News Jonathan Munro mengatakan bahwa “bahasanya kurang tepat” namun “tidak ada satu pun yang mengatakan bahwa hal itu disebabkan oleh Israel”.

BBC juga dikecam karena tidak menggunakan kata “teroris” untuk menyebut para militan Hamas. Tradisi BBC yang sudah berlangsung lama untuk tidak melabeli satu pihak atau pihak lain dalam sebuah konflik sebagai teroris, telah dikecam oleh beberapa media dan bahkan oleh Westminster (parlemen Inggris). Akan tetapi, para koresponden kawakan, termasuk John Simpson, gigih membela BBC.

“Kami tidak memihak. Kami tidak mau menggunakan kata-kata yang sarat akan muatan seperti "jahat” atau “pengecut”. Kami tidak berbicara tentang “teroris”. Dan kami bukan satu-satunya yang menggunakan cara ini. Beberapa organisasi media yang paling dihormati di dunia memiliki kebijakan yang sama.

Terlibat dengan figur-figur antagonis

Sebulan setelah serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023, beberapa media yang disegani ini juga diserang karena dianggap mencurigakan. Sebab, kebetulan para pekerja medianya tengah berada di lokasi terkait dan memberitakan serangan dengan sangat cepat. Situs web pro-Israel, Honest Reporting yang berbasis di Amerika Serikat (AS) menyebutkan media-media tersebut di antaranya adalah The New York Times, CNN, AP, dan Reuters. Semua media itu telah membantah keras tuduhan tersebut.

AFP, yang banyak dicurigai di media sosial karena telah lebih dulu datang ke lokasi kejadian tempat terjadinya serangan itu, menyangkal bahwa mereka telah “bersekutu” dengan Hamas. Phil Chetwynd dari AFP mengancam akan mengambil tindakan hukum atas pencemaran nama baik. Ia mengatakan tentang para fotografernya di Gaza bahwa:

“Mereka terbangun oleh suara tembakan artileri dan roket dan menuju ke arah pagar pembatas antara Gaza dan Israel. Masing-masing dari mereka jelas diidentifikasi sebagai jurnalis, sehingga mereka mengenakan helm dan rompi antipeluru. Foto-foto pertama di dekat tembok pembatas wilayah diambil lebih dari satu jam setelah serangan dimulai… Kami meliputnya sebagaimana kami meliput berita-berita besar lainnya.

Meski demikian, setelah kejadian tersebut, AP dan CNN "memutuskan hubungan” dengan “wartawan lepas” mereka yang bernama Hassan Eslayeh yang saat kejadian pun berada di lokasi tetapi tidak mengenakan jaket pers.

Tangkapan layar dari X yang menunjukkan jurnalis foto asal Palestina, Hassan Eslayeh, dipeluk oleh pemimpin Hamas, Yahya SInwar.
CNN dan AP telah memutuskan hubungan dengan jurnalis foto asal Palestina, Hassan Eslayeh (yang sebelumnya bekerja untuk Quds Net News, organisasi media Palestina). Tangkapan layar dari X (sebelumnya Twitter)

Sebuah foto seorang laki-laki sedang dipeluk oleh pemimpin Hamas Yahia Sinwar beredar di platform media sosial. Direktur hubungan media AP, Lauren Easton, mengatakan: “Kami tidak lagi bekerja sama dengan Hassan Eslaiah, yang pernah menjadi wartawan lepas sesekali untuk AP dan media lainnya di Gaza.”

Bentuk “tandem” lainnya juga tetap berada dalam pengawasan, menyusul perjalanan pers dengan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) ke Gaza pada tanggal 9 November. Perjalanan ini melibatkan wartawan dari CNN, Daily Mail, dan BBC (yang mengutus Jeremy Bowen). Channel 4 News menyusul kemudian.

Di “X”, keputusan ini dikritik secara luas. Rohan Talbot, direktur advokasi dan kampanye untuk Bantuan Medis untuk Palestina, mengatakan bahwa hal ini sama saja dengan jurnalis senior yang “secara efektif bertindak sebagai stenografer untuk menjadi mesin komunikasi militer Israel”.

Ketika saya menyampaikan hal ini kepada Bowen pada akhir pekan lalu, dia menjawab: “Omong kosong. Pertanyaannya adalah apa yang kamu lakukan dengan bahan yang ada dan bagaimana kamu menantang para narasumber yang mereka siapkan.

Penting juga untuk memberikan konteks dalam naskah. Kami juga punya pilihan–untuk tetap berada di luar Gaza atau mendapatkan akses dengan beberapa pembatasan.” IDF memang memeriksa video tersebut untuk memastikan tidak ada rincian operasional militer yang diungkapkan, tetapi baik BBC maupun Channel 4 News tidak perlu menunjukkan naskah mereka terlebih dahulu.

Praktik yang ‘menghargai waktu’

Praktik-praktik tandem semacam ini biasa dilakukan saat meliput perang. Dari perang Boer hingga perang Teluk pada tahun 1991 dan 2003, jurnalis dan fotografer internasional tandem dengan pasukan dan banyak bahan yang mereka dapat disensor jika kemungkinan berisikan informasi operasional–kadang juga disensor jika naskahnya kemungkinan akan membuat citra pasukan terlihat buruk.

Pertanyaan tentang “pertimbangan etis” lebih sering muncul jika bergabung dengan lawan suatu negara dalam perang atau mewawancarai mereka yang dianggap sebagai “musuh”. Menurut Christina Lamb, pada masa perang saudara di Spanyol, reporter AS Virginia Cowles dianggap “sangat dicurigai” oleh rekan-rekan jurnalisnya, Ernest Hemingway dan Martha Gellhorn, karena mewawancarai para pemimpin dari kedua belah pihak yang bertikai.

Dua jurnalis dan seorang pilot AS berdiri di dekat helikopter di Kamboja, 1971.
Juru kamera Australia, Neil Davis, ketika bekerja di Kamboja, 1971. Australian War Memoria, CC BY-NC

Sejarah media penuh dengan kasus-kasus jurnalis, fotografer, dan juru kamera yang meliput sisi lain. Selama perang tahun 1960-an di Indocina, juru kamera Visnews, Neil Davies, membuat film dari sisi Vietnam Selatan dan kemudian dengan Vietkong. Pada tahun 1980-an, Sandy Gall dari ITN rutin bergabung dengan Aliansi Utara Afghanistan, dan selama perang Teluk tahun 1991, tim CNN dikritik karena tetap berada di belakang garis musuh selama pengeboman sekutu di Baghdad.

Meskipun perusahaan media dapat mengadakan pertemuan untuk membahas implikasi etis dari keputusan peliputan, masalahnya saat ini adalah bagaimana mengetahui sesuatu yang substansial tentang aktivitas dan koneksi dari banyak pekerja lepas yang sering kali menggantikan pekerja media resmi di garis depan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now