Menu Close
Hannah Shaw (Kitten Lady), dengan influencer Instagram BriAnne Wills (@girlsandtheircats) pada sebuah acara promosi di New York, Feb 2018. Loren Wohl for Fresh Step/AP

Perburuan sia-sia mendapatkan likes di media sosial

Bayangkan jika saluran media sosial tidak menunjukkan jumlah likes, mentions, impresi, jumlah pengikut, keterlibatan, atau alat ukur lainnya yang menunjukkan berapa kali konten dilihat, siapa yang melihat, dan kapan mereka melakukannya.

Kini, industri yang khusus mengajarkan bagaimana meningkatkan “angka” media sosial mulai berkembang. Industri ini mengklaim cara-cara mereka adalah resep manjur menjadi populer, kaya dan terkenal.

Kita dapat membeli layanan click-farms yang secara artifisial meningkatkan jumlah likes untuk konten. Jumlah likes yang banyak berpotensi meningkatkan peluang konten muncul paling atas di newsfeeds dan muncul di saluran media lain. Jumlah likes yang banyak juga berpeluang meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengubah “kekayaan sosial online” menjadi kekayaan materi.

Pada kasus lainnya, tombol like dapat dimanfaatkan untuk membuat suatu kelompok, seorang politikus, atau sebuah kebijakan, menjadi populer atau dikecam habis-habisan dengan penggunaan bot dan teknik astroturfing, yaitu membuat ilusi seakan-akan ada dukungan populer dari akar rumput. Contohnya, lembaga riset Internet yang berbasis di Rusia telah terlibat dalam mempengaruhi opini publik dan mengubah hasil pemilihan presiden AS 2016.

Kita mungkin khawatir akan peran media sosial dalam penyebaran berita palsu dan dugaan campur tangan politik yang dilancarkan dalam kampanye digital, tapi ada bahaya lain selain itu. Salah satunya adalah upaya kampanye terkoordinasi yang lebih lokal oleh kelompok-kelompok aksi politik untuk membanjiri newsfeed media sosial dengan menggunakan kanal Twitter yang diundang secara khusus.

Like adalah kemenangan kapitalisme

Ketika tombol-tombol untuk membagi konten dan menghitung jumlah keterlibatan di platform media sosial muncul lebih dari satu dekade yang lalu, bisa dibilang tombol-tombol tersebut mengubah karakteristik media sosial dan juga motivasi para penggunanya.

Mengawasi angka yang semakin banyak di media sosial tampaknya telah tertanam dalam diri kita sekarang, dan memberikan insentif kepada kita untuk semakin aktif terlibat untuk mendapatkan penghargaan balik. Kita berlama-lama menghabiskan waktu di situs-situs ini untuk meningkatkan jumlah likes yang sebenarnya tidak memiliki arti dari segi konteks atau nilai yang dapat ditransfer secara langsung.

Entah bagaimana kita seolah-olah merasa hidup secara ajaib akan tervalidasi dengan memposting momen-momen luar biasa (dan juga momen-momen membosankan) dalam hidup kita demi mendapatkan likes.

Mendapatkan like secara online adalah perlombaan yang mungkin tidak menghasilkan apa-apa. www.shutterstock.com

Perburuan mendapatkan lebih banyak likes ini merisaukan karena tampaknya telah melemahkan aspek sosial dari media sosial. Alih-alih menjadi sosial, kita menggunakan media sosial sebagai upaya kompetitif untuk mengumpulkan lebih banyak likes.

Mengukur nilai seseorang dari seberapa tinggi “skor” mereka di media sosial bukanlah kegiatan yang sosial. Kegiatan ini lebih seperti upaya “memenangi” pertandingan popularitas di media sosial dengan cara yang menyerupai kapitalisme pasar.

Memang, yang mendapat paling banyak manfaat dari perilaku adiktif dan kompetitif ini adalah perusahaan media sosial yang mendapatkan kunjungan dari calon pelanggan untuk melihat iklan mereka.

Kompetisi yang kejam

Kita dapat menyadari betapa absurd situasi ini jika kita menerapkan gagasan memburu likes pada interaksi sosial offline kita di mana kita akan terlihat konyol jika kita berebut mendapatkan skor di antara teman dan keluarga kita. Meski demikian, perilaku kompetitif telah menjadi preseden sejak lama dalam hal pengumpulan kekayaan dalam bentuk apa pun.

Sebagai manusia, kita memang terlibat dalam permainan kompetitif dalam konteks sosial, dari papan permainan seperti Monopoli, kompetisi olahraga dan permainan online. Bagi kita yang cukup dewasa untuk mengingat permainan karambol, mungkin ada rasa puas yang cepat ketika mendapatkan skor tertinggi. Tapi permainan-permainan ini terlokalisir; kini, dengan keberadaan media sosial di mana-mana dan munculnya online game yang melibatkan banyak pemain, bahkan aspek sosial tunduk pada persaingan yang kejam.

Media sosial dilihat sebagai alat untuk menghubungkan komunitas dan menciptakan relasi. Shutterstock

Dorongan untuk menang dalam mengumpulkan skor yang semakin tinggi di media sosial tampaknya berlawanan dengan semua kebaikan media sosial sebagai alat untuk membangun dan memperdalam hubungan yang melampaui batas geografis atau untuk mengorganisir dan memobilisasi gerakan untuk memperjuangkan kebenaran.

Meskipun contoh-contoh penggunaan media sosial seperti itu masih ada, kita harus mempertanyakan nilai dari keberadaan media sosial ini. Alih-alih hidup di desa global sebagaimana dibayangkan peneliti ilmu komunikasi Marshall McLuhan, kita telah dihadapkan pada desa digital Potemkin, sebuah konstruksi palsu, di mana aktivitas sosial yang nyata diabaikan untuk mengejar angka-angka yang menghitung interaksi sosial.

Bagi para generasi muda yang tumbuh dengan web media sosial 2.0, perilaku mengejar status dan pengakuan sosial berdasarkan angka perlu diwaspadai. Model ini menetapkan kondisi untuk menentukan siapa pemenang dan pecundang dengan mudah.

Beberapa social media influencer telah mampu menguangkan pengaruh mereka: Instagram influencer Kelly Eden dan temannya tampil di premiere Kingdom Hearts III pada hari Jumat, 18 Mei 2018, di Santa Monica, California. (Colin Young-Wolff for Square Inix/AP)

Isyarat yang lebih akut dari runtuhnya harga diri adalah tekanan untuk menampilkan keseksian seseorang dan perilaku berisiko lainnya demi mendapatkan perhatian banyak orang. Perlombaan untuk “sharing” juga menyoroti perbedaan kelas yang semakin besar karena mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk pergi berlibur atau membeli dan menampilkan produk mewah dibuat merasa lebih rendah.

Dengan cara ini, kita menciptakan alat yang mudah, transparan, dan otomatis untuk menilai manusia lain.

Pengejaran status

Sebelum munculnya media sosial, seseorang yang berada mungkin ingin memamerkan “nilai” mereka dengan perilaku konsumsi yang mencolok, baik dengan mengendarai mobil mewah, jalan-jalan menggunakan baju desainer terkenal dan muncul di halaman-halaman majalah sosialita. Sekarang, semua orang yang memiliki akses online dapat ikut berkompetisi dalam permainan ini, dan dapat menerima kepuasan secara langsung dari upaya mereka. Sayangnya, penghitungan yang dilakukan media sosial telah “mendemokratisasi” kompetisi pengejaran status ini.

Dapatkah kita menukar likes kita dengan uang untuk membayar cicilan rumah? Atau gaji? www.shutterstock.com

Apa yang sebenarnya kita kumpulkan? Mengapa kita mengumpulkannya? Dan apa tujuannya? Beberapa pengguna media sosial yang canggih dapat memanfaatkan jumlah pengikut mereka yang sangat banyak untuk menjadi selebriti online dan mendapatkan uang (untuk sementara waktu). Namun, bagaimana dengan orang lain yang tidak memiliki keinginan seperti itu?

Apakah mereka menganggap postingan informatif mereka tentang refleksi puitis atas pagi yang indah akan lebih rendah nilainya jika tidak mendapat sejumlah likes? Dapatkah kita menggunakan jumlah pengikut kita, retweet dan likes di media sosial sebagai jaminan pinjaman utang ke bank? Dapatkah kita mengubah likes ke dalam bentuk mata uang? Sebelum berkomentar, “Itu tidak masuk akal!”, ada beberapa situs yang benar-benar memberikan nilai US$ 1 terhadap sebuah like atau memberi tahu berapa harga sebuah akun.

Apakah ini adalah bentuk dari kapitalisme “video game”? Tidak juga, karena tidak ada cara yang dapat diandalkan untuk mengubah modal menjadi, katakanlah, peralatan atau perangkat lunak (modal tetap). Pada dasarnya, kegiatan pengumpulan pengikut dan likes di media sosial adalah akumulasi primitif. Mengumpulkan likes sama tak bernilainya dengan orang-orang kaya masa lampau mengumpulkan sendok perak, sebagaimana ekonom Thorstein Veblen tunjukkan.

Kebutuhan untuk menunjukkan kemewahan hidup Anda memberikan tekanan yang tidak semestinya pada kehidupan kita. Sebastien Gabriel / Unsplash

Mari kita gunakan sebuah contoh yang sedikit absurd untuk menggambarkan hal ini. Jika saya mendapatkan 10.000 likes untuk sebuah konten, apa maknanya bagi konten tersebut? Sesungguhnya, tidak banyak artinya.

Hubungan antara jumlah likes dengan konten saya, kira-kira sama seperti jika saya menyelamatkan seekor kucing dari sebuah gedung yang terbakar, kemudian 10.000 orang lompat di satu kaki selama 76,4 detik. Tidak ada hubungan substansial antara dua peristiwa tersebut.

Kasihan juga orang-orang yang pekerjaannya mengharuskan mereka meningkatkan angka popularitas sebuah perusahaan, partai politik atau kandidat politik. Mereka tidak punya pilihan selain menggunakan taktik yang dirancang untuk meningkatkan keterlibatan orang. Kita yang tidak berada dalam posisi itu bisa mengabaikan atau bahkan mencemooh upaya-upaya untuk meningkatkan jumlah keterlibatan di media sosial. Tapi bagi beberapa orang ini adalah salah satu tugas utama mereka.

Manusia selalu bisa menemukan beberapa cara untuk menilai dan menghakimi satu sama lain, baik itu melalui kekayaan, pendidikan, kekuasaan atau kemampuan. Namun, transformasi media sosial menjadi menjadi semacam pasar ekonomi itu perlu diwaspadai. Perubahan ini menjauhkan platform media sosial dari tujuan awalnya, yaitu sebuah ruang yang sungguh-sungguh terbuka, global dan sosial.

Maka, ada baiknya kita ingat pepatah sosiolog William Bruce Cameron: “Tidak semua yang dapat dihitung memiliki arti, dan tidak semua yang memiliki arti dapat dihitung”.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now