Menu Close

Perlindungan konsumen: bagaimana sebetulnya etika klaim kesehatan dalam memasarkan produk pangan?

Produk makanan sehat dijajakan di supermarket.
Kini, makin banyak produsen yang memasukkan klaim kesehatan pada label produk pangan. Nyanews/shutterstock

Dokter Yunani Kuno Hippokrates pernah bersumpah bahwa ia akan menggunakan langkah-langkah diet sebagai pengobatan, sesuai kemampuan dan penilaiannya.

Sementara di Cina pada 2070 sebelum Masehi (S.M.), sebuah kitab membukukan 365 obat yang berasal dari mineral, tumbuhan, dan hewan – dipercaya disusun oleh kaisar dan sosok mitologi, Shennong. Di Asia Selatan, Ayurveda – “ilmu kehidupan” yang menawarkan program peremajaan tubuh melalui diet dan nutrisi – dikembangkan antara tahun 2500 and 500 S.M

Konsep “makanan sebagai obat” telah ada selama berabad-abad. Namun, filosofi ini mendapatkan momentumnya kembali pada abad ke-20. Saat itu, perusahaan buah tropis asal Amerika Serikat The United Fruit Company menggunakan istilah superfood untuk memasarkan pisang sebagai sumber nutrisi harian yang murah dan mudah dicerna.

Komunitas ilmiah Jepang pun menciptakan terminologi “makanan fungsional” pada 1980-an, yang memiliki tiga fungsi yakni mencukupi kebutuhan energi dan enam nutrisi dasar, memenuhi kepuasan indrawi, dan meningkatkan kualitas kesehatan.

Pada 1991, Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang memperkenalkan peraturan makanan fungsional yang disebut dengan istilah “makanan untuk penggunaan kesehatan tertentu” (FOSHU). Penjualan bersih produk FOSHU mencapai US$ 6,2 miliar (Rp 93,5 triliun) pada 2007. Sebagian besar dengan klaim kesehatan terkait dengan peningkatan kesehatan sistem pencernaan dengan menggunakan probiotik.

Namun, kita tak hanya harus mempertanyakan soal keabsahan klaim superfood atau pun makanan fungsionalm tapi juga pertanggungjawaban produsen saat menjual produknya sambil menyertakan klaim kesehatan yang tidak atau belum terbukti kebenarannya. Pandangan mereka terhadap kesehatan dan keselamatan konsumen yang membeli produknya, juga perlu jadi perhatian.

Klaim makanan fungsional dalam label makanan

Selama dan pascapandemi COVID-19, berbagai klaim atas istilah makanan fungsional hingga makanan super ini semakin santer. Bahkan banyak penelitian terbaru menyarankan berbagai produk makanan sebagai alternatif pengobatan infeksi virus.

Makanan-makanan fungsional atau makan super tersebut sering diasosiasikan produk makanan berlabel organik, makanan atau minuman alamiah (natural food), non-MSG, bebas gluten, fermentasi, hingga yang mengandung senyawa aktif yang berperan sebagai antikanker, penyembuh diabetes, dan sebagainya.

Sebaliknya, yang menjadi kambing hitam adalah produk makanan olahan, instan, berpengawet, cepat saji, ber-MSG atau mengandung gluten. Tidak jarang klaim-klaim tersebut dikeluarkan tanpa didukung oleh bukti ilmiah melainkan dari opini atau testimoni saja.

Label makanan adalah salah satu rujukan konsumen untuk memperoleh informasi terkait makanan, sehingga dapat mengambil keputusan dalam membeli produk tersebut. Label mendeskripsikan nilai nutrisi. Informasi khusus juga perlu ditulis pada label, misalnya alergen atau kandungan yang menjadi pantangan dari suatu agama tertentu.

Konsumen yang memperhatikan kesehatan perlu mencermati informasi label makanan sehingga dapat menjaga kesehatan serta dapat mengatur diet berdasarkan arahan ahli gizi.

Etika pangan dalam label makanan
Konsumen harus memperhatikan label dan kemasan produk makanan agar dapat mengelola diet dan asupan yang baik untuk kesehatan. Stokkete/shutterstock

Label makanan kerap memberi informasi klaim manfaat kesehatan. Ini berarti memberikan informasi relasi antara kandungan gizi dengan penyakit atau kondisi kesehatan. Kandungan gizi memberikan klaim terkait jumlah atau nilai gizi yang terkandung dalam makanan. Sementara itu klaim fungsi memberikan ilustrasi peran fisiologis dari senyawa gizi tertentu dalam tubuh.

Tak jarang, label ini jadi strategi pemasaran. Pada 2021, misalnya, mencuat klaim pada kemasan produk permen jahe yang diklaim memiliki kandungan yang dapat melarutkan virus corona.

Etika pangan dalam klaim label makanan

Dalam memproduksi makanan, manusia tidak dapat melepaskan diri dari masalah etika pangan. Etika pangan meliputi cara memilih dan memperoleh bahan pangan, memilih metode pengolahan dan penyajian, hingga bagaimana makanan atau minuman tersebut dikonsumsi sesuai apa yang dianggap baik dan benar.

Aspek fisik, biologis, budaya, hingga sosial memainkan peran dalam hubungan antara konsumen dan makanan. Ketika konsumen menjadi semakin tergantung pada industri makanan, akibatnya adalah naiknya ekspektasi pada industri untuk mengutamakan kepentingan dan hak konsumer dalam penyediaan makanan.

Pada titik tersebut, perusahaan dihadapkan pada konflik kepentingan antara usaha untuk meningkatkan penjualan dan usaha untuk berperilaku etis terhadap konsumen. Hal ini bisa mendorong perusahaan untuk memasang klaim pada label makanan berdasarkan asumsi nilai gizi, terlepas dari terbukti atau tidaknya klaim tersebut.

Etika pangan juga berkaitan dengan kepercayaan pada industri pangan dan retailnya. Kepercayaan tersebut merupakan suatu keyakinan bahwa seseorang atau entitas adalah baik, jujur, dan bertanggung jawab. Ini artinya konsumen yang begitu saja mempercayai penyedia pangan berpotensi dieksploitasi lewat label makanan.

Tak hanya gizi, label harus mengkomunikasikan risiko

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pernah mengimbau masyarakat untuk membiasakan diri membaca label makanan pada kemasan makanan untuk mencegah diabetes.

Sebagai contoh susu kental manis yang mengandung tambahan gula yang tinggi dan protein yang sangat rendah – 45 gram susu kendal manis yang diencerkan hingga 150 mililiter air untuk satu kali minum bisa mengandung kurang lebih 20 gram gula. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menekankan asupan gula orang dewasa dibatasi tidak lebih dari 25 gram per harinya.

Ini risiko yang tinggi karena masih banyak orang tua yang memberikan susu kental manis ke anak, karena dianggap bergizi dan memiliki hanya kandungan baik seperti yang tertera pada label.

Konsumen menghadapi ketidakpastian ketika mereka tidak dapat mengantisipasi risiko dari tindakan pembelian mereka. Guna mengurangi risiko tersebut, pencarian informasi mengenai produk merupakan strategi yang digunakan konsumen.

Demi melindungi konsumen, pemerintah harus mulai menerapkan aturan untuk menambahkan potensi risiko pada label makanan. Penggunaan terminologi yang dapat dimengerti dan format pelabelan yang menyatakan potensi risiko kesehatan secara jelas kepada konsumen memfasilitasi komunikasi risiko yang lebih efektif dan membuat pelabelan menjadi lebih etis.

Indonesia bisa mencontoh beberapa negara yang sudah melakukan hal ini.

Di Chili, label peringatan warna hitam pada kemasan telah dikenalkan pada 2016 untuk menandai produk makanan dan minuman yang melebihi batas gula, garam, lemak jenuh atau kalori.

Di Asia Tenggara, Singapura mulai menerapkan perubahan peraturan pelabelan produk pada akhir 2022, bertujuan untuk membantu konsumen mengidentifikasi minuman yang lebih tinggi gula dan lemak jenuhnya. Kanada juga telah berancang-ancang menerapkan peringatan wajib mulai 2026.

Label risiko makanan di Chili.
Label risiko pada produk makananan di Chili. Informasi yang dicantumkan memuat bahwa makanan tersebut tinggi gula, lemak jenuh, sodium, dan kalori. Aaveraal/wikimedia.org, CC BY

Perlu kesadaran konsumen

Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, hak konsumen yang paling mendasar terkait pelabelan pangan adalah mengetahui apa yang mereka konsumsi. Namun, hak dan tanggung jawab konsumen untuk meningkatkan etika pelabelan makanan perlu diperhatikan juga.

Konsumen mungkin kurang yakin akan hak mereka untuk mendorong pelabelan makanan yang etis. Oleh karena itu, perlu ada diseminasi informasi bagaimana mereka dapat turut serta berpartisipasi dalam mendorong produsen memenuhi etika pelabelan.

Sementara, UU tersebut juga telah menggariskan kewajiban konsumen untuk membaca informasi dalam label pangan. Langkah selanjutnya yang perlu ditempuh adalah mendorong konsumen untuk membiasakan membaca label dan memahami jumlah asupan yang bermanfaat maupun berisiko bagi kesehatan.

Konsumen dapat menegakkan haknya untuk memilih apa yang ingin mereka konsumsi dengan tidak membeli produk makanan yang tidak memenuhi etika seputar label pangan. Tindakan semacam itu dapat memberikan tekanan lebih lanjut pada industri makanan dan regulator untuk berinvestasi dalam pelabelan makanan yang etis.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now