Menu Close

Perpeloncoan masih saja terjadi: apa solusinya?

Praktik perpeloncoan masih mewarnai masa orientasi mahasiswa baru di Indonesia. MDV Edwards/Shutterstock.

Praktik perpeloncoan masih ditemukan setiap tahun ajaran baru di Indonesia. Pada 2011 silam, seorang mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hassanudin, Sulawesi Selatan, meninggal setelah mengikuti ospek. Di tahun 2017, kasus lain menimpa siswa tingkat satu Sekolah Tinggi Ilmu Pembangunan yang tewas setelah dihajar seniornya di dalam asrama..

Adanya kondisi pandemi dan perubahan moda pembelajaran tak lantas mengakhiri fenomena ini. Tiga tahun lalu, misalnya, perpeloncoan daring terjadi di Universitas Negeri Surabaya, Jawa Timur.

Setelah perkuliahan kembali ke sistem luring pun, tetap muncul laporan terjadinya perpeloncoan. Seperti misalnya yang terjadi pada 2022 di Universitas Jember, Jawa Timur. Universitas tersebut menyelenggarakan kegiatan orientasi hingga dini hari dan menyebabkan 51 mahasiswa baru jatuh sakit.

Di tahun yang sama, ada pula kasus perpeloncoan di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, yang mengakibatkan sejumlah mahasiswa muntah-muntah dan dehidrasi setelah dijemur oleh seniornya dalam satu sesi kegiatan.

Terbaru, bulan Juni 2023 kemarin, terdapat kasus tenggelamnya mahasiswa Politeknik Caltex Riau setelah diminta senior mandi di sungai dengan mata tertutup.

Meskipun sudah sering terjadi, perpeloncoan adalah hal yang tak boleh terus dinormalisasi. Lingkungan pendidikan perlu dikembalikan pada tujuannya sebagai sebuah ruang yang aman bagi para peserta didik. Bagaimana caranya?

1. Mengganti kegiatan orientasi

Menurut Therese I. Poirier, profesor sekaligus Wakil Dekan Akademik Sekolah Farmasi Southern Illinois University, Amerika Serikat (AS), salah satu cara mengakhiri praktik perpeloncoan adalah menggantinya dengan kegiatan orientasi yang mempromosikan rasa saling menghormati, saling percaya, dan saling dukung dalam lingkungan pendidikan.

Contoh positif bisa diambil dari negara tetangga, Singapura, melalui Kindness Campaign yang diselenggarakan oleh Nanyang Technological University (NTU). Dalam program ini, mahasiswa baru diberikan tugas untuk membuat proyek sosial dalam rangka membahagiakan orang di sekitarnya. Proyek dilakukan secara sederhana namun berdampak, seperti membersihkan fasilitas umum atau membantu pekerja senior.

Di Indonesia pun, sejumlah kampus telah membiasakan aktivitas serupa. Misalnya kegiatan orientasi yang dilakukan oleh Universitas Nusa Cendana, Kupang, Nusa Tenggara Timur, melalui aksi donor darah. Kegiatan bakti sosial seperti yang dilakukan Institut Agama Islam Lubuklinggau, Sumatera Selatan, juga patut dicontoh. Program seperti ini tak hanya mempererat angkatan dan melatih kepekaan mahasiswa, namun juga membantu mereka mengenal lingkungan baru.

Menapak jenjang pendidikan baru harusnya diawali dengan semangat kolaborasi, bukan dengan intimidasi. Hal ini akan sangat membantu mahasiswa baru, karena menurut salah satu artikel di Forbes, kemampuan untuk berkolaborasi adalah salah satu kemampuan yang paling dicari di masa depan.

2. Memaksimalkan peran mentor sebaya

Orientasi kampus bisa memposisikan hubungan senior dan junior sebagai mentor sebaya. John M. Chase/shutterstock.

Perpeloncoan umumnya terjadi karena adanya penyalahgunaan kekuasaan dari senior kepada juniornya. Untuk mencegahnya, orientasi bisa diarahkan untuk membangun relasi sehat antara senior dan junior, misalnya melalui program mentor sebaya (peer-mentorship).

Melalui program ini, senior berperan sebagai relawan untuk membantu transisi juniornya. Sebelum menjadi mentor, senior dapat diseleksi dan diikutkan pelatihan singkat untuk dapat menjalankan tugas sebaik mungkin.

Program ini telah terbukti sukses di beberapa negara, misalnya di Australia melalui O-Week, di mana senior dilatih sebagai relawan untuk menjawab berbagai pertanyaan dari mahasiswa baru. Pertanyaan tersebut tak hanya seputar kehidupan akademik, namun juga terkait adaptasi di lingkungan baru.

Kampus-kampus di Indonesia pun dapat mengadopsi pola ini. Misalnya dengan menerapkan buddy system di mana seorang senior diberi tanggung jawab untuk membimbing sekelompok juniornya selama satu semester. Selama masa pembimbingan itu, senior dapat ditarget untuk memberi program-program penunjang kehidupan akademik seperti tutorial menulis esai atau membuat Curriculum Vitae (CV) yaitu informasi riwayat hidup seseorang yang ditulis secara lengkap dan kronologis.

Sebagai mentor sebaya, senior wajib memiliki pola pikir bahwa mereka adalah fasilitator bagi proses adaptasi juniornya, bukan sebagai pihak yang harus ditakuti secara tak wajar. Dengan cara inilah, keakraban dan rasa hormat akan muncul secara natural.

3. Memahami dampak negatif perpeloncoan

Meskipun terbukti membawa dampak negatif, tidak sedikit yang masih percaya bahwa perpeloncoan merupakan momen pembentukan mental dan solidaritas. Untuk membongkar pandangan keliru ini, kita perlu memahami fakta-fakta tentang dampak negatif perpeloncoan dari hasil penelitian para ahli.

Kemudian, penting untuk menyebarluaskan kesadaran terkait hal ini. Dengan meningkatnya pemahaman tentang dampak negatif perpeloncoan, kita dapat mengambil langkah-langkah untuk mencegahnya dan menciptakan lingkungan di mana setiap individu dapat tumbuh dan berkontribusi tanpa takut akan perlakuan yang mengikis kepercayaan diri.

Mengedukasi siswa, pendidik, orang tua, dan masyarakat secara luas mengenai implikasi psikologis dan sosial dari perpeloncoan adalah langkah awal yang penting. Tak kalah pentingnya, pengampu kebijakan juga harus menerapkan aturan yang melarang segala bentuk perpeloncoan dan memberikan mekanisme pengaduan yang aman serta menyediakan konsekuensi bagi pelaku.


Read more: 4 fakta bagaimana perpeloncoan menyabotase pendidikan kita


Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now